Lihat ke Halaman Asli

Ben Baharuddin Nur

TERVERIFIKASI

Jokowi Akhirnya Maju, Lalu Siapa Calon Wakilnya?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1394956077160814894

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Siapakah gerangan yang akan mendampingi Jokowi maju dalam bursa pencalonan presiden? (sumber: suarasitaro.com)"][/caption]

Saya pernah menuliskan analisis berikut di Kompasiana :

Akan tetapi, bila Risma hanya dicegah untuk tidak mundur sampai selesainya pemilu legislatif tanggal 9 April mendatang, maka dengan segera akan terbaca bahwa PDI-P hanya berkepentingan terhadap perolehan kursi di legislatif dan tidak bersungguh-sungguh ingin merebut hati rakyat Surabaya dan Indonesia pada umumnya untuk menjadi modal merebut posisi RI 1.

Karena bagaimanapun, bila Risma pada akhirnya mundur setelah tanggal 9 April, simpati rakyat terhadap PDI-P pasti akan menurun, dan itu berarti bahwa Jokowi memang tidak pernah diwacanakan oleh elit PDI-P untuk diusung, karena memang tidak bermaksud memenangkan pertarungan politik di 2014 secara tuntas, artinya merebut legislatif dan eksekutif pada saat yang sama seperti pernah dipertontonkan oleh Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu.

Jadi orang akan berkesimpulan bahwa pantas saja nama Jokowi tidak diumumkan sebagai calon Presiden dari PDIP sebelum pemilu legislatif, meskipun desakan grass root berlatar multi partai sangat menginginkan kepastian itu.

Paragraf di atas adalah penggalan dari analisis yang saya tulis di Kompasiana pada 1 Maret 2014 lalu. Dan 14 April Kemarin Jokowi resmi mendapat mandat dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarno Putri, untuk maju bertarung memperebutkan kursi RI-1. Arti penting dari pengumuman resmi itu adalah bahwa Megawati menunjukkan kebesaran hati tunduk pada kemauan rakyat. Seperti diketahui, sosok Jokowi justru mendapat dukungan massif di lapisan grass root bukan hanya dari PDI-P melainkan multi partai.

Pengumuman itu sekaligus isyarat Megawati tidak mau menang setengah. Kursi legislatif harus direbut sebanyak mungkin dengan memanfaatkan ‘Jokowi Factor’, yang kalau itu berhasil, berarti PDIP akan memenuhi electoral treshold 20% untuk dapat mengusung calon Presiden sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Sebuah strategi politik yang brilian dan cantik yang sebenarnya sangat ditakuti oleh pesaing Jokowi bila itu diambil oleh Megawati. Makanya tidak heran bila terlihat reaksi berlebihan dari pendukung capres lain, terutama yang memiliki media untuk ‘menyerang’ kubu Jokowi pasca pengakuan resmi Jokowi dari rumah Si Pitung di Marunda Jumat Siang 14/03/2014.

Isyarat kalau Megawati akan memberikan mandat sebenarnya sudah terlihat samar-samar saat Megawati mengajak Jokowi menemui Risma di Sidorajo. Maksud dari pertemuan itu selain untuk menyampaikan dukungan moril kepada Rismaharini yang notabene bukan kader PDI-P, hanya didukung PDI-P saat maju menjadi Walikota Surabaya, juga kemungkinan untuk 'membisikkan' Risma mengenai rencana PDI-P mengusung sahabatnya, Joko Widodo, sebagai calon Presiden periode 2014-2019.

Rismaharini dan Jokowi adalah dua sahabat yang sering saling bertukar pikiran berkaitan urusan pemerintahan. Keduanya merupakan sosok pemimpin fenomenal yang mengundang perhatian publik yang besar, apapun pemberitaan tentang mereka. Bahkan pemberitaan mengenai rencana mundurnya Risma sempat menenggelamkan hiruk pikuk pemberitaan politik lainnya. Apalagi wakil Risma yang kebetulan kader PDI-P sempat dikapitalisasi oleh lawan politik PDI-P sebagai pertanda adanya perpecahan di dalam tubuh partai berlambang banteng itu. Maka dapat dipastikan begitu Rismaharini tidak jadi mundur, langsung dikaitkan dengan adanya kabar baik tentang Jokowi dan sekaligus pertanda konsolidasi internal untuk suatu tujuan yang lebih besar. Apalagi kota Surabaya dan sekitarnya adalah salah satu kantong suara PDI-P dan prestasi Risma selama memimpin Surabaya sedikit banyaknya berpengaruh terhadap pencitraan baik PDI-P di kota yang sering dijadikan salah satu barometer politik di negeri ini.

Dengan pemberian mandat kepada Jokowi untuk maju berkompetisi menjadi RI-1, bisa dipastikan wacana Risma akan mundur dapat dianulir, setidaknya dalam satu tahun kedepan atau hingga terpilihnya Presiden Ri setelah 9 Juli 2014 mendatang.

Megawati berhasil menguatkan atau mungkin meyakinkan Risma untuk tidak mundur dari kursi Walikota Surabaya, dan Megawati memenuhi janjinya memberikan mandat kepada generasi muda, dalam hal ini Jokowi untuk maju sebagai calon Presiden RI. Lalu siapakah yang akan digadang oleh Megawati maju menjadi calon Wakil Presiden? Untuk urusan yang terakhir ini, setidaknya ada satu ganjalan berkaitan kabar burung adanya kesepakatan Batu Tulis antara Megawati dengan Prabowo untuk bergantian saling mengusung pada Pemilu Presiden 2009 dan Pemilu Presiden 2014 ini.

Kalaupun kesepakatan itu memang ada, saya yakin kubu Prabowo yang selama ini sibuk menghembuskan berita itu, tidak akan berani membukanya di depan publik karena akan kontra-produktif terhadap pencitraan Partai Gerindra sendiri. Dia akan di downgrade oleh kalangan pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voters) yang akan menudingnya memainkan politik ‘pemasungan’ terhadap PDI-P. Malah kemungkinan swing voters yang kebanyakan dari kalangan generasi muda dan kaum intelektual tersebut akan balik bersimpati kepada PDI-P yang seakan-akan dipasung oleh Gerindra.

Bila skenario tadi yang terjadi, berarti secara politis Prabowo dan Megawati benar-benar tidak akan berkongsi pada pemilu kali ini dan mungkin memilih saling memaafkan lalu berkompetisi secara sehat menuju kursi RI-1. Apalagi tidak akan mungkin Prabowo mau menurunkan targetnya sekedar mendapatkan jatah calon Wakil Presiden, maklum Calon Presidennya sudah final. Lalu apakah mungkin Gerindra akan mencoba peruntungan terendah tanpa harus kehilangan muka dengan menyodorkan Basuki Tjahaja Purnama mendampingi Jokowi? Kemungkinan ini bisa saja terjadi, tergantung sepenuhnya pada Megawati yang juga memang secara personal menyukai sosok Ahok. Tetapi kalau tidak terjadi, jabatan Gubernur DKI yang ditinggalkan Jokowi kepada Ahok cukup menjadi kompensasi bagi Prabowo sebagai ajang untuk menunjukkan kualitas partainya kepada masyarakat DKI dan Indonesia pada umumnya.

Mari kita kesampingkan skenario itu. Kita prediksi kemungkinan pergulatan di dalam tubuh PDI-P sendiri yang bukan tidak mungkin terjadi dinamika berkaitan dengan pencalonan Jokowi dari kubu PDI-P dan masa depan partai berlambang banteng moncong putih ini. Megawati pasti akan meletakkan jabatan Ketua Umum pada saatnya tiba, dan boleh jadi itu dilakukan setelah Presiden RI terpilih. Selain karena pertimbangan usia, juga demi memenuhi tuntutan dinamika organisasi yang pasti tantangannya lebih berat saat nantinya menjadi the ruling party.

Lalu siapa gerangan yang bisa menggantikan Megawati saat harus lengser ke posisi sepuh partai? Patut diingat bahwa PDI-P dibangun di atas pondasi ideologi dan semangat Bung Karno, yang selain sebagai Bapak biologis juga Bapak ideologis Megawati. Trah bung Karno pasti harus tetap dijaga sebagai figur pemersatu di dalam tubuh PDI-P. Maka calon pengganti Megawati berada diantara dua pilihan the princess atau the prince, alias Puan Maharani, putri Megawati dari Taufik Kiemas atau Prananda Prabowo, putra kedua Megawati dari suami terdahulu Letnan Satu Penerbang Surindro Supjarso.

Salah satu dari mereka kemungkinan besar akan menjadi Ketua Umum PDI-P dan kemungkinan juga salah satu dari mereka akan menjadi pendamping Jokowi sebagai Wakil Presiden RI. Puan kah atau Nanan kah, sapaan akrab Prananda.

Siapa Prananda Prabowo?

Kalau Puan Maharani yang kelahiran 9 September 1973 sudah sangat dikenal oleh publik Indonesia karena kiprahnya yang tergolong sangat aktif dalam kepartaian dan aktivitas politik pada umumnya, berbeda dengan kakaknya dari lain ayah, Prananda Prabowo. Puan Maharani yang akrab disapa mbak Puan telah menjadi anggota DPR Pusat pada periode 2009-2014, sementara Prananda yang akrab dipanggil Nanan tidak pernah duduk di kursi legislatif. Bukan hanya perbedaan itu, mbak Puan juga mendapatkan kepercayaan dari rekan-rekannya di DPR sebagai Ketua Fraksi PDP-P menggantikan politisi senior PDI-P, Cahyo Kumolo.

Bagaimana dengan Nanan sendiri yang bernama lengkap Muhammad Prananda Prabowo? Bagi publik Indonesia mungkin belum banyak mengenal pria kelahiran 23 April 1970 ini. Ayah dari dua anak ini, sebagaimana dikutip dari Wikipedia,pertama kali muncul di depan publik saat Megawati mengajaknya dalam konferensi pers bersama sang adik, Puan Maharani, menjelang pembukaan Kongres III PDIP 2010 di Bali.

Namun di kalangan pengurus dan kader PDIP, Nanan bukan politisi karbitan yang baru kemarin berkecimpung di dunia politik. Dia sudah lama aktif sebagai pengurus partai namun selalu menolak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Pria ini bahkan dikenal di lingkaran dalam PDIP sebagai satria piningit Megawati yang diyakini mewarisi darah Soekarno sang proklamator.

Meski jarang tampil di depan publik tetapi putra mahkota yang satu ini boleh disebut sebagai salah satu politisi cerdas yang tahu banyak hal mengenai percaturan politik di negeri ini. Dialah yang selama ini bertugas menyiapkan sejumlah pidato penting Megawati, termasuk terlibat di dalam berbagai perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan penting PDI-P.

Sebagai Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi Dewan Pimpinan Pusat PDI-Perjuangan, membuat Nanan lebih banyak berkiprah di belakang layar dan lebih sering berhubungan dengan analisis data dan informasi untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan organisasi.

"Ia pribadi yang pendiam, tapi masalah pengorganisasiannya detil dan kuat. Dia orang yang paling menonjol, dekat dengan siapapun, khususnya rakyat dan tidak suka membeda-bedakan orang,” demikian kesan Jokowi tentang sosok Nanan sebagaimana dikutip dari Wikipedia

Dari sumber yang sama dikutip bahwa Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah juga memberi kesan mengenai sosok Nanan yang menurutnya pendiam, tetapi dalam ruang-ruang tertentu sarat dengan aktivitas. “Saya pernah berdiskusi, dia sangat paham tentang ideologi. Dia memiliki pemahaman yang lengkap akan demokrasi dan ideologi. Dia adalah representasi garis ideologis sekaligus titisan biologis trah Bung Karno," ujar Ganjar.

Menakar Prananda Menjadi Cawapres

Untuk kepentingan regenerasi peran PDI-P di dalam panggung politik nasional, PDI-P sudah pasti harus menempatkan generasi ketiga Bung Karno di posisi puncak pada gelanggang politik 2014 ini. Kalau Puan telah lebih dahulu aktif di kancah politik legislatif dan Megawati sepertinya tak mungkin lagi berada di panggung eksekutif, maka kekosongan Megawati di eksekutif harus segera diisi oleh Prananda. Saat ini umur Prananda 44 tahun, usia ideal untuk memulai debut penting di panggung eksekutif menggantikan Megawati.

Dalam Pemilu 2019 mendatang, Jokowi akan berusia 57 tahun dan berarti Prananda akan berumur 49 tahun, usia yang ideal untuk maju bertarung menjadi Calon Presiden RI Periode 2019 – 2024. Bila Jokowi – Pradana berpasangan pada periode 2014 – 2019 dan dinilai berhasil, maka itu akan menjadi jembatan emas bagi Prananda Prabowo maju sebagai kandidat Presiden Periode 2019 – 2024.

Track record-nya tergolong bersih. Setidaknya belum pernah terdengar pemberitaan buruk tentang sosoknya, dimana biasanya sangat mudah ditemukan pada siapa saja yang berada pada posisi sebagai putra mahkota.

Penempatannya sebagai Kepala Ruang Kendali dan Analisis situasi di dalam organisasinya, memberi kesan bahwa dia memang dipandang sebagai sosok yang mempunyai kemampuan analitis, taktis dan strategik. Kapasitas yang sangat sesuai berpasangan dengan dengan tipikal pemimpin seperti Jokowi yang lebih berkarakter eksekutor.

Lihat bagaimana pasangan Jokowi-Ahok yang saling mengisi, Jokowi yang eksekutor didampingi seorang berkarakter strategik-visioner seperti Ahok, benar-benar saling melengkapi. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada masa pemerintahan SBY-JK, dimana SBY yang visioner dilengkapi oleh JK yang berkarakter eksekutor. Tapi ini yang tidak terjadi di periode kedua dari SBY-Budiono karena keduanya memiliki kecenderungan yang sama sebagai visioner sehingga terkesan lemah di eksekusinya. John C. Maxwell pernah mengatakan bahwa bila dua orang yang sama pada posisi dimana seharusnya mereka saling melengkapi, maka salah satunya pasti idle alias tidak bisa berfungsi

Lalu kemana kira-kira Puan Maharani akan berkiprah bila kemudian bukan dia yang didorong untuk mendampingi Jokowi? Itulah yang maksud suatu kebetulan yang luar biasa dimana kemungkinan besar Puan yang kini dipercayakan sebagai Ketua Tim Pemenangan PDI-P di pemilu legislatif akan memiliki kredibilitas diterima sebagai Ketua Umum PDI-P menggantikan Megawati.

Ini tentu saja sekedar analisis berdasar pembacaan terhadap perkembangan politik terbaru bukan merupakan ramalan. Perubahan bisa saja terjadi sewaktu-waktu, terutama setelah tanggal 9 April. Kita lihat saja nanti.

------------------ @ben369 ------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline