Lihat ke Halaman Asli

Ben Baharuddin Nur

TERVERIFIKASI

Rupiah Menguat 149%, Adakah karena Politisi Melepas Dolarnya?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Headline kotaksuara | Hari ini (17/03) rupiah kembali menguat 149% dibanding penutupan pekan lalu (Ilustrasi: rri.co.id) "][/caption]

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,21% siang ini (17/03) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar langsung melejit 149% dibanding penutupan pekan lalu. Bukan hanya itu, informasi dari Bursa Efek Indonesia (IDX) mengkonfirmasi pembelian saham-saham Indonesia oleh pihak investor asing melaju cukup kencang.

Isyarat apa gerangan yang bisa ditangkap dari fenomena geliat ekonomi yang luar biasa itu? Apakah ini berhubungan dengan hiruk pikuk dan pergerakan konstelasi politik di Indonesia? Itu sudah pasti karena antara ekonomi dan politik seperti dua sisi dari satu koin. Kondisi ekonomi bisa terperosok dikarenakan suasana politik yang tidak kondusif. Sebaliknya kondisi politik bisa tidak stabil akibat kegagalan mengelola ekonomi dengan baik.

Faisal Basri, ekonom kondang Indonesia yang pernah mencalonkan diri dari jalur independen pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang baru lalu tidak menafikan itu dalam tulisan singkatnya bertajuk Indonesia Kembali Bersinar di Kompasiana. Bahkan, menanggapi komentar seorang kompasianer mengenai ada tidaknya hubungan antara pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI dengan trend positif ekonomi Indonesia, Faisal mengatakan bahwa tentu ada Jokowi effect. “Tapi fundamentalnya juga mendukung: Investasi Langsung Asing (FDI) deras, turis naik pesat, harga komoditi ekspor lumayan naik, harga minyak mulai turun lagi, impor otomotif dan komponennya juga turun tajam, “ komentar Faisal.

“J Factor” Dalam Menghadapi AFTA 2015

Pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI oleh PDI-P memang baru resmi pada 14 Maret pekan lalu. Berbagai media langsung memberitakan adanya sentimen pasar saham yang positif, artinya Indonesia dipandang akan memiliki peluang yang baik dalam menyehatkan perekonomiannya ke depan.

Itu baru pada tahap pencalonan, dimana tentunya pihak investor asing yang tentu saja bukan pemain sembarangan pasti melakukan analisis situasi yang terus menerus. Mereka bahkan menyewa pakar-pakar handal untuk mengumpulkan dan menganlisis informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu negara yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Bila demikian halnya, mereka pasti juga sudah mengumpulkan banyak informasi dan melakukan analisis mengenai siapa kemungkinan kandidat presiden yang akan terpilih pada 9 Juli Mendatang. Andaikata hasil analisis data mereka menunjukkan potensi Jokowi lemah untuk menang, maka reaksi mereka terhadap pencalonan Jokowi pasti tidak akan seheboh yang diberitakan di berbagai media. Sekali lagi, baru sekedar dicalonkan.

Sentimen positif terhadap rupiah yang ditunjukkan oleh penguatan 149% nilai tukar rupiah hari ini, atau empat hari setelah Jokowi resmi dicalonkan, bagi sebahagian kalangan tidak bisa serta merta dijadikan indikator karena faktor pencalonan Jokowi. Menurut kalangan tersebut, bisa jadi dikarenakan besarnya volume dollar yang ditukarkan oleh politisi dari partai politik yang butuh rupiah untuk keperluan kampanye.

Argumentasi tadi berusaha dipatahkan oleh simpatisan Jokowi dengan mengatakan bahwa seharusnya mereka menukarkan dollar sudah jauh hari sebelumnya, bukan tepat dihari ketika rupiah itu dibutuhkan. Indikator lain bahwa reaksi pasar yang positif memang ada hubungannya dengan pencalonan Jokowi adalah melejitnya Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) sebesar 0,21% sebagai akibat aksi beli saham-saham perusahaan Indonesia yang dinilai oleh pihak asing pertumbuhannya akan banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan Indonesia di masa depan.

Sebagai penulis yang pernah menayangkan tulisan bertajuk Implikasi Tahun Politik dalam Kesiapan Menyambut AFTA 2015 di forum Kompasiana ini beberapa pekan lalu, saya melihat sentimen positif yang ditunjukkan pelaku ekonomi global terhadap Indonesia sebagai sesuatu yang menggembirakan. Saya yakin bila sentimen positif ini terus berlanjut sampai terpilihnya Presiden RI mendatang, Indonesia akan menghadapi pasar bebas ASEAN (AFTA) dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi sehingga tentunya manfaat yang akan diterima bangsa ini dari pemberlakuan AFTA pada 2015 mendatang akan jauh lebih besar.

Itulah yang saya sebut sebagai pengaruh “J Factor” atau bahasa terangnya faktor Jokowi dalam menghadapi pasar bebas ASEAN (AFTA) 2015. Tetapi J Factor ini akan berpengaruh signifikan sampai pada titik dimana nantinya ada kepastian siapa yang akan menjadi wakilnya.

Bagi kalangan analis pasar, faktor pemilihan orang kedua untuk konteks Indonesia menjadi penting. Ini didasarkan pada pengalaman situasi pemerintahan di Indonesia periode ini. Tentu tidak akan sehat pengambilan kebijakan suatu negara bila wakil presidennya terus menerus dirundung masalah, lama-lama Presidennya juga akan terganggu melihat partner-nya dihajar dengan isu yang tidak tuntas sampai akhir jabatannya.

Makanya selain kita harus mensyukuri perkembangan kondusif yang terjadi pekan belakangan ini, kita juga harus tetap waspada jangan sampai ada usulan wakil presiden yang kontra produktif terhadap kondisi positif yang terbangun belakangan ini.

Artinya, kita masih HHC alias harap-harap cemas untuk beberapa waktu ke depan.

-------------------- @ben369 --------------------




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline