Sang Anak Zaman
Siapakah sosok yang layak disebut anak zaman? Sejatinya adalah mereka yang lahir, tumbuh, berkembang, berpikir, bertindak dan berkiprah dengan cara–cara yang lazimnya dilakukan oleh kelompok generasi yang hidup pada rentang masa tertentu. Bila pola itu diperlihatkan dalam kehidupan keseharian, bisa dipandang hal yang wajar dan sangat biasa. Lihatlah bagaimana generasi sekarang berkomunikasi, misalnya. Jauh lebih blak-blakan dalam menyatakan maksudnya.
Menjadi perbincangan ketika gaya hidup ini dibawa masuk ke dalam sistem yang memeilhara dan melanggengkan pakem perilaku dan nilai-nilai tertentu, meskipun pakem dan nilai itu belum tentu sepenuhnya benar. Katakanlah dunia politik dan birokrasi.
Kalau generasi sebelumya cenderung menjadikan pilihan organisasi politik sebagai identitas bahkan tak jarang menyebutnya sebagai pilihan ideologi yang harus dibela, diperjuangan dan dicintai dengan loyalitas tinggi, generasi sekarang lebih memandangnya tak lebih sekedar kendaraan. Lihatlah para artis dan profesional muda yang sebelumnya tidak jelas afiliasi politiknya, saat mereka butuh berpolitik untuk aktualisasi diri, dengan mudah melompat masuk ke dalam suatu partai dan selanjutya menjadi anggota DPR mewakili partainya.
Mereka lebih terobsesi pada tujuan daripada cara mencapai tujuan itu. Inilah yang oleh Fadjroel Rachman, seorang pengamat politik kondang negeri ini, sebagai berpolitik tanpa berpolitik. Sebuah fenomena yang mudah dicermati pada perilaku berpolitik generasi sekarang, termasuk pada diri seorang kader partai politik yang lebih suka disebut seorang profesional daripada seorang politisi.
Dialah Basoeki Tjahaja Poernama yang akrab dipanggil Ahok yang sekarang lebih dikenal publik sebagai kader Partai Gerindra yang buku tentang dirinya berjudul Ahok untuk Indonesia didiskusikan di acara Bedah Buku yang diprakarsai oleh penerbit Elex Media Komputindo bekerjasama dengan Toko Buku Kinokuniya dan Kompasiana pada Rabu malam (21/05) di TB Kinokuniya yang berlokasi di Lantai 5 Sogo Plaza Senayan.
Partai politik bagi generasi Ahok, tidak lebih dipandang sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan cita-cita, tujuan dan nilai hidup mereka. Oleh karenanya perilaku dan kinerja mereka lebih melekat pada individu yang bersangkutan daripada merepresentasi partai politik asalnya.
Pendapat Fadjroel ketika ditanya oleh host acara bedah buku ini, Glory Ojong, mengenai kesesuaian isi buku dengan sosok Ahok yang sebenarnya, Fadjroel jujur mengakui belum membaca keseluruhan isi buku itu. Tapi dari sejumlah tulisan yang sempat dibacanya Ia mengakui menemukan gambaran sosok Ahok sesuai pengetahuannya.
Fadjroel mengaku mengenal sosok Ahok ketika hendak mencari jalan ke jalur independen untuk maju ke bursa pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Setelah merasa kesulitan mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat calon independen, Ahok yang kebetulan kala itu adalah kader Golkar menemukan jalan buntu karena Golkar sendiri sudah memasangkan Alex Noordin, Gubernur Sumatera Selatan, dengan Nono Sampono.
Ahok melihat ada peluang di Partai Gerindra yang tidak mengusung calon, maka Ahok menemui Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto dan menyatakan bersedia pindah partai bila Gerindra bersedia mengusungnya. Gerindra dan PDI-P akhirnya bersepakat memasangkan Basuki Tjahaja Poernama pada posisi Calon Wakil Gubernur dengan Joko Widodo, Walikota Solo, sebagai Calon Gubernur.
Dari partai manakah Ahok sebelum menjadi Anggota DPR Pusat mewakili Golkar? Ahok mengawali kiprahnya di dunia politik sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Indonesia Baru (PIB), partai yang pernah eksis di awal reformasi tapi gagal memenuhi Parliamentary Treshold sehingga harus ke luar arena. Tetapi Partai ini telah berhasil memberikan tiket kepada Ahok untuk menjadi Anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur dan selanjutnya menjadi Bupati di daerah yang sama.
Sebelum masa jabatannya berakhir, Ahok maju untuk menjadi Gubernur Provinsi Belitung, namun gagal. Akhirnya Ahok menyebrang ke Golkar yang berhasil ia jadikan “kendaraan” menuju Senayan. Ketika Ia merasa Golkar tidak memperhitungkannya untuk amanah yang lebih besar, Ahok memilih pindah ke Partai Gerindra saat bermaksud menuju ke jalan Medan Merdeka Selatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, meski harus sedikit “mengerem” keinginannya dengan menerima posisi sebagai Wakil Gubernur.
Pembelajarannya, kata Fadjroel tentang perjalanan karir Ahok, dia benar-benar sosok anak zaman sekarang yang lebih cenderung konsisten pada komitmen hidup, cita-cita dan nilai-nilai yang diyakininya tanpa harus loyal buta kepada partai. “Ia lebih melihat partai sebagai sekedar “kendaraan” menuju perwujudan cita-citanya,” jelas Fadjroel. Perilaku ini bagi politisi tua bisa saja diejek dengan sebutan “opportunist.”
Namun tidak bagi mereka yang benar-benar mengamati pergeseran perilaku generasi Ahok di dunia politik. Sering mereka mengawali karir sebagai artis, pengusaha, atau profesi apa saja yang tak berhubungan dengan politik, saat melihat peluang di dunia politik, dengan mudah bersalin rupa dari artis, pelawak, penyanyi, pengusaha, pembawa acara (host) menjadi anggota legislatif.
Itulah potret generasi baru Indonesia. Ahok ada di dalamnya. Yang membedakan diantara mereka tinggal soal visi kebangsaan yang jelas, misi bagi Indonesia yang lebih baik dan komitmen pada kebenaran, terlepas dari gaya dalam mengejawantahkannya dimana zaman sangat mempengaruhinya.
Maka ketika Ahok menginspirasi anak negeri ini dengan sikap pluralisme yang elegan, itulah komitmen kebangsaan yang mengencerkan paham sektarian dan primordialisme sempit yang tersisa pada sebahagian generasi tua yang tak kurang upayanya mewariskan paham dominasi mayoritas atas minoritas dengan berbagai cara dan argumen.
Ketika Ahok mengatakan, “Saya jangan diminta untuk loyal kepada konstituen, karena di atas segalanya saya membawa misi untuk lebih loyal kepada konstitusi,” sekaligus menyiratkan bahwa keharusan loyal kepada partai bisa ia lawan ketika itu bertentangan dengan konstitusi. “Kalau anda tidak mau memilih saya lagi karena saya lebih loyal kepada konstitusi daripada menuruti keinginan anda yang macam-macam, silahkan tidak usah pilih saya lagi !” Begitu antara lain kata-kata yang sering dilontarkan Ahok, antara lain tetuang di dalam buku “Ahok untuk Indonesia.”
Ketika menegakkan kebenaran Ia pilih sebagai pertaruhan hidupnya, Ia tahu persis resiko atas pilihan itu. Bukan hanya dirinya yang sering mendapat ancaman dan intimidasi, bahkan keluarganyapun sering dilanda fitnah termasuk diancam untuk dibunuh. Istri mana yang akan tahan mendapat tekanan seperti itu yang hampir tiada henti sejak Ahok terjun ke dunia politik sejak tahun 2004. Istri itu bernama Veronica Tan, wanita hebat itulah yang berdiri di belakang tingkah polah Ahok yang seakan sudah putus urat takutnya. Tentang Veronica yang akrab dipanggil Vero dapat dibaca di halaman 25 yang ditulis oleh Kompasiana Piter Randan.
Tentang konsekuensi pilihan sikap hidupnya yang kontroversial, Ahok rupanya sangat sadar. “Kalau besok-besok saya harus mati karena menjalankan tugas, tuliskan di batu nisan saya, Mati Adalah Sebuah Keberuntungan.” pesan Ahok kepada Vero yang telah memberinya tiga orang anak.
Itulah tipikal anak-anak zaman yang menemukan jati dirinya justru dalam keraguan kebanyakan anak bangsa tentang kebenaran hadirnya era reformasi yang telah dibayar oleh putra-putri negeri ini dengan pengorbanan jiwa, darah, dan air mata. Ada Ahok dan Jokowi di Jakarta, ada Rismaharini di Surabaya, ada Ridwan Kamil di Bandung, ada Nurdin Abdullah di Bantaeng dan ratusan bahkan ribuan lagi anak-anak zaman di seluruh pelosok tanah air yang tidak terpapar media, tapi mereka ada dan berkarya pada profesi masing-masing dengan visi, idealisme dan keberanian membela nilai-nila hidupnya.
Menginspirasi Keterbukaan
Melihat seorang anggota legislatif yang dengan entengnya menggunakan website untuk memaparkan penghasilannya dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik sampai hitungan rupiah terkecil, merupakan hal yang tidak lazim, apalagi di mata kebanyakan politisi senior yang tak jarang menganggap tingkah laku dan hal yang berkaitan dengan dirinya di legislatif sebagai Privacy Anggota Dewan Yang Terhomat.
Ketika sang anggota legislatif tersebut bersalin profesi menjadi seorang birokrat, hal yang sama terus dilakukannya. Bahkan Anggaran Belanja Pemerintah yang sebelumnya dianggap sebagai dokumen setengah “rahasia”, meski aturannya tidak begitu, tiba-tiba dia buka kepada publik dengan memanfaatkan kemudahan layanan internet.
Kalau generasi birokrasi sebelumnya masih menganggap biasa melakukan rapat anggaran secara tertutup diantara mereka sambil mengatur yang bisa diatur, Dia dengan enteng tidak mempermasalahkan rapat-rapat internalnya dipublikasikan melalui situs video Youtube oleh stafnya, meski harus menuai keritikan, terutama dari pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kelakuan lamanya terpapar kepada publik.
“Biar rakyat tahu apa yang kita lakukan di balik tembok Balaikota ini,” jelas Ahok saat dipertanyakan kebijakannya membuka suasana rapat-rapatnya di situs video Youtube, yang tak jarang berlangsung panas antara dirinya dengan para pihak yang berselisih pendapat dengannya, baik dari kalangan pemerintah sendiri maupun komponen masyarakat.
Di mata Fadjroel Rachman, keterbukaan informasi itu selain menguntungkan masyarakat yang bisa memantau secara langsung kinerja dan perilaku birokrat, juga menempatkan Ahok pada posisi yang aman, karena mereka yang mendapat citra buruk dari informasi yang terbuka itu, tidak berani melakukan perlawanan karena rakyat bisa menilai dan membela pihak yang sepatutnya memang dibela.
Namanya Zhong Wan Xie
Hakka Ahok yang terlahir dengan nama di Akte Kelahirannya sebagai Basoeki Tjahaja Poernama pada 29 Juni 1966 di Manggar, Belitung Timur, dari keluarga WNI keturunan Tionghoa. Sebagai WNI keturunan, tentu saja Ia memiliki nama asli, yakni Zhong Wan Xie. Nama asli ini rupanya sangat menarik bagi Fadjroel yang mengaku baru kali pertama mengetahui nama asli Ahok setelah sekian lama mengenalnya. Inilah contoh salah satu kekuatan jurnalisme warga di Kompasiana yang tak jarang mengejutkan publik dengan informasi yang sulit didapatkan di media konevensional.
“Coba nanti saya panggil Zhong kalau ketemu dia,” gurau Fadjroel tak bisa menyembunyikan kegembiraannya menemukan nama asli Ahok di dalam buku yang sedang Ia bedah.
Itu baru informasi dari satu Kompasianer bernama Piter Randan yang menyumbang dua tulisan di buku itu. Bagaimana kalau ada 35 Kompasianer dari berbagai latar belakang berkolaborasi menulis dan menghimpun tulisannya dalam rupa buku setebal 235 halaman? Pasti pembaca setuju kalau saya mengatakan buku itu sangat dahsyat dan layak dimiliki oleh generasi muda atau siapapun yang ingin “dirasuki” dengan kisah keberanian, keteguhan, ketegasan dan kejujuran seorang anak zaman bernama Basoeki Tjahaja Poernama.
Tak mengherankan bila Wakil Direktur Elex Media Komputindo, Alosius Ari Subagjo, menyebut buku ini sebagai istimewa karena ditulis oleh sejumlah penulis yang memiliki sudut pandang dan cara melihat yang berbeda terhadap satu topik. Komunitas Kompasiana sendiri di mata Alosius Ari, merupakan sebuah komunitas yang dahsyat dimana di dalamnya penulis dan pembacanya bisa bersama-sama mengemukakan pandangan.
Sampulnya saja sudah punya makna tersendiri. Pilihan sampul warna hitam, jelas Nurul, salah satu anggota Tim Penyusun buku itu dari Kompasiana yang juga tampil sebagai pembahas, dimaksudkan pertama, agar buku ini tidak terafiliasi kepada salah satu warna partai. Kedua, warna hitam lebih terkesan tegas, cukup mewakili karakter Ahok yang memang tegas.
Menyinggung soal persiapan penerbitannya yang cukup lama, hampir setahun, Nurul menggambarkan kesulitannya mensortir 1000-an tulisan kompasianer yang berhubungan dengan topik ini. “Kalau harus dipilih semua, apalagi sampai sebelum buku ini naik cetak di Kompasiana tulisan sudah mencapai 2000-an, bisa dibayangkan setebal apa,” seloroh Nurul. Maka pilihan sejumlah tulisan dari 35 Kompasianer inilah yang paling mendekati kriteria penggambaran sosok Ahok sebagai tokoh yang yang diprediksi akan berkontribusi penting bagi perubahan Indonesia ke depan.
Menyoal pemilihan judul, Pimpinan Redaksi Kompasiana, Pepih Nugraha mengaku diperhadapkan pada sejumlah opsi. Namun akhirnya tiba pada pemikiran bahwa Ahok bukan lagi sekedar sosok untuk Jakarta. Menurut Pepih, Ahok untuk Jakarta sudah merupakan realitas, tetapi kehadiran Ahok di panggung birokrasi telah menginspirasi bangsa Indonesia dari sisi keberanian, sikap tegas, keterbukaan dan komitmennya dalam memerangi korupsi di Birokrasi. Makanya Pepih Nugraha bersama Tim Penyusun memilih judul AHOK untuk INDONESIA.
Testimoni Rekan Kerja
Testimoni yang tak kalah menariknya datang dari Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata, Sylviana Murni yang hadir mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sekaligus mewakili Ahok yang berhalangan datang. Mengawali sambutannya Sylviana yang sebelumnya menjabat Asisten Sekda Bidang Pemerintahan ini mengaku membaca telah membaca sebahagian isi buku yang dibedah dan sebahagian lagi Ia baca tulisan tentang Ahok di Kompasiana.
"Apa yang saya kenang selama nyaris menjelang 2 tahun dari pak Ahok sebagai Wakil Gubernur kami, itu semua yang ditulis hampir sama dan memang kenyataannya seperti apa adanya," jelas Sylviana. Sebagai pejabat karir yang telah pernah menduduki hampir semua posisi di lingkungan Pemprov, termasuk pernah menjadi Walikota Jakarta Pusat, Sylviani mengaku bisa menghadapi sosok pimpinan seperti Ahok.
Kedekatannya dengan wartawan diakui Sylviana banyak membantunya memantau kinerjanya sehingga dia akan lebih dahulu tahu sebelum menjadi berita. Mendapat pimpinan seperti Ahok yang juga tidak gagap teknologi komunikasi urusan pekerjaan menjadi lebih lancar, kata Sylviana. Soal perilaku tempramental Ahok, Sylviana mengakui kalau itu sering dia lihat, tapi menurutnya marahnya Ahok selalu beralasan. Cara menghadapinya, tunggu sampai reda lalu kemukakan argumentasi. Ahok pasti bisa menerimanya, demikian Sylviana meyakinkan.
"Pak Ahok sangat terbuka, bisa diajak diskusi tanpa harus memikirkan hirarki. Ia terbuka menerima kritikan dan masukan dari manapun," jelas Sylviani yang mengakui kalau Ahok benar-benar anak zaman sekarang yang lahir pada waktu yang tepat.
"Ia sangat gadget dan mengerti betul apa yang ia lakukan. Ia terbuka kepada siapa saja dan enak diajak berdiskusi," tambah Sylviani yang mengaku tidak pernah bermasalah selama bekerja bersama sang Wakil Gubernur. [@bens_369]
[caption id="attachment_325274" align="aligncenter" width="638" caption="Suasana diskusi Bedah Buku Ahok untuk Indonesia menghadirkan Fadjroel Rachman dan Nurul sebagai pembahas dipandu host Glory Oyong (kiri atas) - Suasana santai peserta bedah buku sebelum acara dibuka (kiri bawah) - Penulis bersama Fadjroel Rachman, Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata, Sylviana Murni (kanan atas) - Penyerahan mock-up Buku Ahok Untuk Indonesia dari Wakil Presder PT. Elex Media Komputindo, Alosius Ari Subagjo kepada Ahok diwakili Sylviana Murni yang disaksikan Pemred Kompasiana, Pepih Nugroho (kanan bawah) | Foto Dok Pribadi"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H