[caption id="attachment_325702" align="aligncenter" width="620" caption="Inilah impian itu,"][/caption]
Bagi yang pernah menikmati naik monorail, entah di Singapura atau di Malaysia, sudah bisa dipastikan terobsesi untuk juga bisa menikmati angkutan massal ini hadir di kota mereka, diantara moda transportasi yang sudah ada.
Bukan hanya karena bisa berpindah dengan cepat dari satu persinggahan ke persinggahan lainnya dengan tepat waktu, tetapi kehadirannya seakan menjadi simbol modernisasi sistem transportasi suatu kota dan, terus terang, membuat suatu kota terkesan lebih indah serta futuristik.
Tak heran bila Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo gregetan ingin segera melihat monorail yang desainnya mirip Sinkansen, kereta cepat ala Jepang versi slim alias ramping itu, meliuk-liuk diantara gedung-gedung pencakar langit di ibukota hingga ke perbatasan Jabodetabek..
Maka pada tanggal 16 Oktober 2013 lalu, Jokowi dengan wajah sumringah dan hati berbunga-bunga menekan tombol disusul bergeraknya sebuah alat berat menghujam ke bumi yang biasa disebut kegiatan “Ground Breaking”, simbol dimulainya kembali pembangunan monorail pertama di Indonesia itu.Mengapa disebut dimulai kembali? Tentu saja, karena sebenarnya pembangunan monorail ini telah diinisiasi di akhir masa jabatan Sutiyoso yang akrab dipanggil Bang Yos sebagai Gubernur DKI Jakarta sekitar tujuh tahun lalu.
Ketika Nakhoda DKI Jakarta berpindah ke Fauzi Bowo, pembangunan monorail yang merupakan kolaborasi antara PT. Jakarta Monorail (PT. JM) dengan BUMN Kementerian PU, Adhi Karya sudah sampai pada pembangunan tiang penyanggah rel, seluruh kegiatan pembangunan monorail terhenti. Tinggallah tiang-tiang beton yang telah terlanjur berdiri dengan besi beton yang masih terbuka di bagian atas, pertanda bangunan belum rampung, menjadi saksi bisu “ketidakramahan” birokrasi pemerintahan DKI Jakarta pada masa itu terhadap suatu inisiatif swasta yang sebenarnya bermaksud membantu pemerintah mempercepat pemenuhan layanan publik atas dasar saling menguntungkan (mutual benefit).
Siapa sebenarnya yang paling dirugikan dengan “mangkraknya” proyek pembangunan monorail tersebut? Sepintas kelihatannya pihak swasta yang telah mengeluarkan biaya untuk berbagai kebutuhan konstruksi dan non konstruksi. Tapi coba lihat dari perspektif yang lebih luas, maka anda akan menemukan bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah rakyat, khususnya pengguna angkutan massal di seputaran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Benarkah demikian? Coba lihat analogi ini. Andaikanlah pada satu hari seluruh armada angkutan publik mogok beroperasi. Katakanlah ada 5000 bus yang mogok dengan rata-rata penerimaan bersih Rp. 1.000.000 perhari, maka total kehilangan pendapatan seluruh bus mencapai Rp. 10 milyar. Apakah kelihatan besar? Sepintas ya.
Mari kita lihat akibatnya kepada masyarakat. Kita ambil estimasi paling minimal bahwa dalam sehari itu ada sekitar 1.000.000 pengguna angkutan umum Jabodetabek yang rata-rata biasanya hanya mengeluarkan 10.000 biaya transport dari rumah ke tempat kerja atau keseluruhan sekitar Rp. 10 milyar. Dikarenakan tidak ada bus, mereka hari itu harus mengeluarkan uang rata-rata Rp. 60.000, per orang. Entah menggunakan taksi atau ojek. Maka total pengeluaran pengguna jasa transportasi umum hari itu akhirnya mencapai Rp. 60 milyar dikurang pengeluaran normal Rp. 10 milyar akhirnya didapatkan angka kerugian publik pengguna transportasi umum mencapai Rp. 50 milyar sehari itu. Fantastis kan? Belum terhitung kerugian akibat keterlambatan dan sebagainya. Ini hanya ilustrasi, bukan angka sebenarnya yang tentu saja jauh lebih besar.
Apa yang akan terjadi kalau sejumlah fasilitas umum khususnya angkutan massal yang lebih cepat, murah, pasti dan nyaman seperti monorail itu terus tertunda pembangunannya? Boleh jadi nilai kerugian akibat kehilangan kesempatan memperoleh angkutan massal yang super cepat itu mencapai trilliunan rupiah. Belum lagi pemborosan bahan bakar bagi pemilik kendaraan pribadi akibat macet yang makin menjadi-jadi karena keterlambatan pembangunan fasilitas transportasi massal yang bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Kerugian masyarakat kalau dihitung sungguh-sungguh pasti sangat fantastis dan mengejutkan.
[caption id="attachment_325705" align="aligncenter" width="620" caption="Pembicara pada acara Nangkring Bareng Kompasiana & PT. Jakarta Monorail | Dari kiri Presdir PT. JM, John Aryanananda, Pakar Komunikasi dari UPH Prof. Tjipta Lesmana, Pengamat Transportasi Dharmaningtyas, dan Konsultan PKS dari Bappenas Lukas Hutagalung | Foto: Dok Pribadi/Ben"]
[/caption]
Nangkring Bareng Kompasiana Dengan PT. JM
Melihat pelibatan media yang tergolong luar biasa, terlihat dari perangkat liputan dan kehadiran sejumlah awak media selain sekitar 100-an kompasianer di Outback Steak, Senayan City Jakarta, sabtu (24/05). Apalagi juga diliput secara live streaming oleh Motion Radio 97,5 FM. Kesannya acara ini sangat penting bagi PT. Jakarta Monorail.
Apalagi mengetahui kehadiran pembicara kondang seperti Professor Dr. Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Pengamat Transportasi Dharmaningtyas, Konsultan Bidang Infrastruktur sekaligus Program Manajemen Spesialis Bappenas Lukas Hutagalung dan Direktur Utama PT. Jakarta Monorail (PT. JM), John Aryananda. Acara ini dipandu oleh Editor Megapolitan KOMPAS.com Laksono Hari Wiwoho.
Apa gerangan yang ingin dibagi, diungkap atau dikomunikasikan ddi dalam forum ini bisa direka-reka dari tema acaranya yakni “Persoalan Infrastruktur atau Politik?” Akankah forum ini membuat kesimpulan bahwa terbengkalainya pembangunan monorel ini bukan karena persoalan finansial atau teknis melainkan lebih pada adanya unsur politik? Ataukah akan ditarik kesimpulan yang sebaliknya?
Ketika ditanya mengenai progress atau kemajuan proyek monorail sampai saat ini, John Aryananda, Direktur Utama Monorail mengakui pihaknya masih disibukkan melakukan penyesuaian terhadap sejumlah peraturan baru yang lahir berkaitan sejumlah perubahan dalam aturan Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) yang juga biasa disebut Public-Private Partnership (PPP).
Untuk diketahui, proyek KPS monorel ini diinsiasi pada tahun 2004 dimana PT. JM selaku pengusul ide kreatif untuk mengatasi kemacetan di Jakata yang sebenarnya sudah sangat terasa pada saat itu. Tahun 2005, terbit suatu peraturan berkaitan dengan KPS ini. Mengacu kepada Perpres RI No 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur tersebut, PT JM melakukan proses konsultasi publik, perhitungan kelayakan pasar, dan analisis dampak lingkungan. PT. Jakarta Monorail kemudian berhasil meyakinkan konsorsium perbankan dari Dubai untuk mendukung pembiayaannya dimana PT. Adhi Karya yang akan menjadi pelaksana untuk konstruksinya.
PT. Adhi Karya yang optimis dengan proyek monorail ini bahkan berani memulai dengan investasi dari kocek sendiri setelah adanya Kontrak Kerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta selaku pemilik proyek. Investasi Adhi Karya itulah yang sekarang kita bisa lihat dalam bentuk tiang-tiang monorel yang mangkrak. Sebagai konsorsium Bank Asing, pihak Dubai meminta jaminan dari pemerintah DKI Jakarta untuk keamanan investasinya ke depan. Gubernur Sutiyoso sebenarnya bersedia memberikan jaminan. Bahkan Pemerintah Pusat pun dalam hal ini Departemen Perhubungan bersedia menalangi biaya penumpang jika tidak mencapai target.
Persoalan kemudian timbul setelah Gubernur Sutiyoso digantikan oleh Sekretaris Daerahnya, Fauzi Bowo yang berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bukan hanya proyek Busway rintisan Sutiyoso yang terseok-seok, Jaminan Pemda DKI yang sejatinya hanya berupa pernyataan dukungan formal pemerintah tak kunjung turun. Jaminan itu tak pernah turun sampai Konsorsium Bank Dubai mengundurkan diri karena melihat ketidakseriusan Pemda DKI.
Bahkan sampai Fauzi Bowo yang mendaulat dirinya sebagai “ahlinya banjir” turun dari jabatannya digantikan oleh Jokowi-ahok. Tampaknya Fauzi Bowo lebih tertarik menangani proyek Banjir Kanal Timur dan Barat yang dananya dari pinjaman luar negeri daripada mendorong proyek monorel yang dibiayai oleh swasta dan biasanya sulit diintervensi pemerintah karena pengelolaan keuangan sepenuhnya dikendalikan oleh swasta selaku pengelola.
Perhitungan harga tiket kala itu pada kisaran RP. 9 000 sekali jalan dan dianggap layak oleh pengelola dan penumpang masih bisa menjangkaunya. Dari pembayaran tiket itulah sebenarnya pihak swasta berharap dana investasi mereka bisa kembali setelah diberikan konsesi pengelolaan di bawah pengawasan pemerintah selama 50 tahun.
“Setelah masa pengelolaan itu, semua asset monorel yang dicakup dalam Perjanjian Kerjasama akan menjadi milik pemerintah DKI Jakarta”, jelas Lukas Hutagalung, Konsultan Bidang Infrastruktur dari Bappenas yang menjadi salah satu pembicara pada acara Nangkring Bareng Kompasiana – PT. Jakarta Monorel.
Jadi sebenarnya pemerintah yang paling diuntungkan dalam kerjasama ini karena dapat melaksanakan tugas pelayanan publik tanpa harus merogoh dana dari APBD maupun APBN. Bayangkan bila masyarakat harus menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan berbagai pelayanan yang lebih baik, misalnya dalam hal transportasi massal yang lebih baik, sampai pemerintah memiliki cukup dana, pasti masyarakat akan menganggap pemerintah bergerak lamban.
Kembali ke persoalan mangkraknya proyek monorail yang lalu. Selama masa penantian jaminan itulah PT. Jakarta Monorail harus melakukan hitung-hitungan dengan Adhi Karya yang konon menaksir investasinya dalam bentuk tiang-tiang mangkrak itu sekitar Rp 200 milyar. Kalangan swasta ini rupanya bisa saling memaklumi karena tertundanya proyek ini bukan karena kelalaian salah satu diantara mereka. Investasi PT. Adhi Karya selanjutnya dikonversi menjadi saham ke dalam PT. Jakarta Monorail. Restrukturisasi di dalam tubuh PT JM juga terjadi dimana kemudian John Aryananda terpilih menjadi Direktur Utama.
Status proyek monorail ini disebut sebagai un-solicited project, artinya bahwa proyek ini lahir dari inisiatif pihak swasta yang kemudian membuat perencanaan, rancang bangun, studi kelayakan dan sebagainya dengan harapan mereka yang nantinya akan mengoperasikan. Ini dikarenakan infrastruktur yang akan dibangun tergolong untuk pelayanan masyarakat (public service purpose) dimana rakyat sebagai pengguna nantinya akan membayar sesuai tarif yang disepakati antara pihak swasta dan pemerintah yang tentunya tidak memberatkan masyarakat dan pihak swasta dapat memperoleh kembali investasinya dengan tentunya sejumlah keuntungan yang wajar.
Oleh karenanya, untuk memastikan proyek ini berjalan mulus, resiko ditanggung bersama secara proporsional dimana pembagiannya diatur sesuai kapasitas masing-masing siapa diantara keduanya yang paling bisa menanganinya secara efisien dan efektif. Jadi wajar bila urusan mencari investasi dengan segala resikonya termasuk dalam hal pembiayaan dipikul oleh swasta. Sementara pihak pemerintah tentu saja bertanggungjawab untuk memastikan segala urusan yang berkaitan dengan perizinan dan kepentingan publik ditangani oleh pemerintah. Infrastruktur ini, meski tidak dibayai langsung oleh pemerintah, akan menjadi milik pemerintah. Pihak swasta yang membangun hanya punya hak pengelolaan pada batas waktu tertentu sesuai kesepakatan.
Kalau infrastruktur yang dibangun murni untuk tujuan komersil (commercial purpose) dimana pihak swasta berhitung untuk mendapatkan keuntungan dari infrastruktur yang mereka bangun, maka semua resikonya ditanggung swasta dan tentu saja infrastruktur itu menjadi milik swasta yang membangun. Sebutlah seperti hotel, mall dan sebagainya. Tarif atau harga jual ditentukan oleh swasta. Siapa yang mengendalikan? Ya, tentu saja mekanisme pasar. Kalau mereka menjual mahal, masyarakat bisa memilih membeli atau tidak membelinya.
Perbandingan ini perlu dikemukakan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya yang paling berpotensi untuk diuntungkan oleh proyek semacam monorail ini sebenarnya adalah pihak pemerintah dan masyarakat. Baik proyek yang sifatnya unsolicited seperti monorail ini, maupun proyek yang sifatnya diinisiasi oleh pemerintah (solicited). Peraturan sebelumnya, proyek yang sifatnya un-solicited (inisiasi swasta) secara otomatis pelaksananya adalah pihak pengusul, sementara yang sifatnya solicited (inisiasi pemerintah) pelaksananya tergantung siapa yang memenangkan tender karena untuk proyek jenis ini wajib tender.
Namun setelah terbitnya Perpres RI Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, baik yang unsolicited maupun yang solicited wajib untuk ditender.
Perubahan Perpres tersebut tidak berhenti sampai pada Perpres RI Nomor 13 Tahun 2010 tersebut. Pada tahun 2011 keluar lagi Perpres RI No 56 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No 67 Tahun 2005. Bahkan di tahun 2013 keluar lagi Perpres baru bernomor 66 tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No 67 Tahun 2005.
Pada tahun 2011, kata Dhrmaningtyas, Gubernur Fauzi Bowo pernah mengeluarkan Surat Pembatalan Kontrak Kerjasama antara Pemprov DKI dengan PT. Jakarta Monorail. “Ini perlu diketahui oleh teman-teman media dan blogger”, kata Pengamat Transportasi ini. Olehnya untuk memastikan proyek monorel ini bisa berjalan lagi diperlukan Perjanjian Kerjasama yang baru yang saat ini masih dalam proses.
Penjelasan Dharmaningtyas tadi dibantah oleh Tjiptalesmana yang mengatakan bahwa pemutusan Kontrak Kerjasama itu sifatnya politis menurut keterangan Sutiyoso kepadanya. Termasuk penghentian sejumlah koridor busway yang sempat membuat Sutiyoso marah, jelas Tjipta sembari meminta media dan blogger untuk menemui Sutiyoso bila ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Bisa dibayangkan kekalutan yang melanda PT Jakarta Monorail yang harus melakukan adaptasi terhadap perubahan aturan yang beruntun itu. Belum lagi menghadapi “perselisihan” dengan PT. Adhi Karya yang belakangan menuntut pengembalian investasi mereka sebelum konstruksi monorail dilaksanakan. Ditambah desakan media yang terus mempertanyakan kapan realisasi monorail setelah ground-breaking oleh Jokowi 16 Oktober 2013 lalu.
[caption id="attachment_325707" align="aligncenter" width="620" caption="Monorel, alternatif transportasi massal di lahan perkotaan yang sempit di berbagai negara | Ilustrasi: thumbnail photo monorail/ compilled from many sources via google.com"]
[/caption]
Monorail Tidak Layak?
Masalah lain yang menghadang tentu saja pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta, di beberapa media sekitar Maret-April lalu yang meragukan kemampuan finansil PT. JM. Terakhir melalui situs berita online Tribunnews.com,yang dirilis 24 Mei 2014, Ahok yang terkesan menanggapi tema nangkring bareng Kompasiana – PT. JM menegaskan bahwa dia menolak pembangunan monorail di Jakarta karena tidak layak, sembari menegaskan ini bukan politisasi.
Ahok juga menegaskan bahwa sampai saat ini PT. JM belum mengantongi Perjanjian Kerjasama yang baru dengan Pemprov DKI Jakarta. Sejumlah alasan dikemukakan Ahok selain soal keraguan kemampuan finansil PT. JM, juga menurutnya soal kewajiban Pemprov untuk menyediakan lahan seluas 200.000 meter persegi untuk stasiun monorail sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerjasama PT. JM dengan Pemprov DKI yang lama. Ahok juga menyinggung soal soal ketidaksetujuannya atas jaminan Bank dari PT. JM dimana Ahok meminta 5 % ditawar oleh PT. JM 0,5 sampai 1 persen.
John Aryanda sendiri mengungkapkan pada acara nangkring itu bahwa tidak seyogyanya Wagub DKI membeberkan keraguannya terhadap kemampuan finansial PT. JM karena pernyataan dari orang seperti Ahok yang saat ini diakui integritasnya oleh publik akan menurunkan kredibilitas PT. JM di mata mitra konsorsiumnya. Seharusnya hal itu dibicarakan diantara PT. JM dengan Pemprov DKI saja, dimana mereka berusaha menyepakati kerjasama yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. “Bagaimanapun, kan Pemprov DKI juga bertanggungjawab untuk membina perusahaan swasta nasional agar dapat tumbuh dan berkembang,” jelas John.
John Aryananda di depan ratusan kompasiner mengakui bahwa keraguan Ahok soal kemampuan finansial PT. JM sebenarnya telah Ia komunikasikan kepada pihak Pemprov DKI, bahwa PT. JM di backup oleh dua konsorsium besar yang akan terlibat penuh dalam pendanaan pembangunan monorail. Satunya dari Tiongkok yang menyediakan dana sebesar 60 milyar USD dan dari Singapura sebesar 15 milyar USD.
Terbersit pertanyaan, bila memang monorail tidak layak dan PT. JM belum memiliki Perjanjian Kerjasama dengan Pemprov DKI, lalu mengapa Gubernur DKI, Joko Widodo, melakukan pencanangan dengan Ground Breaking bulan Oktober lalu? Bukankah Wagub Ahok di berbagai kesempatan, termasuk dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu selalu mengatakan bahwa tugasnya adalah membantu Gubernur untuk sukses melaksanakan tugasnya? lalu mengapa untuk urusan monorail yang mempertaruhkan “malu” Gubernur yang telah meresmikan dimulainya proyek monorail tersebut Ahok terkesan berada pada posisi berseberangan?
“Saya sangat menyayangkan pola komunikasi politik Ahok di depan publik soal monorail ini,” komentar Prof. Tjipta Lesmana. Ia mengaku juga menonton dialog Jokowi dan Ahok di Mata Najwa. Di sana Ahok mengatakan Ia tidak ada masalah dengan Jokowi. Katanya semuanya baik-baik saja. Demikian pula dengan pengakuan Jokowi. Itulah politisi, kata Guru Besar Universitas Pelita Harapan (UPH) yang sering menjadi pembicara di televisi untuk hal yang berkaitan dengan komunikasi politik. Mencermati perilaku kedua Pimpinan Tertinggi di DKI tersebut, Tjipta Lesmana mengaku tidak percaya kalau tidak ada masalah politik berkaitan dengan berlarut-larutnya masalah monorail ini.
Menurut Tjipta Lesmana, sebenarnya permasalahan monorail ini sangat simpel. “Pertanyaan dasarnya, apakah kita memang butuh monorail ini? Tanya pengamat yang dikenal dengan gaya bicaranya yang blak-bllakan. “Kalau saya dari dulu selalu mengatakan, sangat butuh,” tegas Tjipta Lesmana. Alasannya karena kemacetan di ibukota saat ini memang sudah sangat gila.
Solusi dari kemacetan ini, kata Tjipta adalah bahwa pemerintah harus menciptakan moda transportasi yang terpadu. Menurutnya ide pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) bagus, pengembangan Transjakarta (busway) bagus dan monorail juga bagus. Bila Pemerintah punya dana, agar segera direalisasikan agar kemacetan tidak semakin menggila. Bila kemampuan pendanaan pemerintah terbatas, berikan ruang bagi swasta untuk ikut terlibat dalam pembiayaannya.
Pemerintah bisa membantu swasta sesuai kemampuannya, misalnya dalam hal fasilitas seperti tanah untuk stasiunnya. Tjipta Lesmana yang mengaku tidak tahu masalah teknis mendengar khabar bahwa dari segi harga karcis, sebenarnya pengelola monorail rugi demi memenuhi batas kemampuan masyarakat calon pengguna dalam hal membayar karcis. Tetapi pihak swasta sudah berhitung bahwa dengan mengembangkan bisnis lainnya yang akan tumbuh seiring dengan keberadaan monorail, biaya karcis bisa ditekan.
“Namanya swasta pasti mencari untung. Yang penting untungnya tidak terlalu besar. Kalau untungnya terlalu besar, saya sendiri yang akan berteriak, ini mau ngapaian? Mau ngobyek atau apaan?” ujar Tjipta Lesmana menjelaskan pendiriannya.
Bukan Politisasi
Sedikit berbeda dengan pemberitaanTribunnews.com,Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Poernama yang diwawancarai Kompas.com di Jalan Sukanbumi, Menteng Jakarta pada hari yang sama tidak menyebut bahwa proyek monorail ini tidak layak.
Ahok mengaku hanya meragukan niat PT. JM untuk membangun monorail di Jakarta. Menurut Ahok, bila niat PT. JM baik untuk membangun monorel, akan memenuhi seluruh persyaratan yang diajukan Pemprov DKI dalam Perjanjian Kerjasama yang baru.Ahok menegaskan bahwa ini bukan politisasi. Ia hanya meragukan secara bisnis apakah PT. JM punya uang.
Soal tanah 200.000 meter yang diminta oleh PT. JM untuk rencana stasiun monrel dan pusat perbelanjaan tiga lantai juga dipertanyakan Ahok dimana lokasinya. Kalau tanah itu memang ada dan milik Pemprov DKI, berapa perhitungan sewanya. Sebagai antisipasi bila PT. JM gagal melaksanakan kewajibannya, Pemprov, sebagaimana juga diberitakan Tribunnews, Pemprov meminta jaminan Bank 5% atau sekitar Rp. 750 milyar dari total rencana pembiayaan monorel yang ditaksir mencapai Rp. 15 trilliun itu.
Untuk memastikan PT. JM serius dalam pembangunan monorel, Ahok juga mengajukan syarat bahwa sebelum stasiun yang dipadukan dengan pusat perbelanjaan itu dibangun, PT. JM berkonsentrasi menyelesaikan satu jalur monorel dalam kurun waktu tiga tahun atau tepatnya rampung tahun 2017. Perbedaan antara Ahok dengan Jokowi hanya dalam hal penetapan target penyelesaian dimana Ahok membuat batasan waktu kepada PT. JM sementara Jokowi tidak, demikian ditulis Kompas.com.
Mencermati keinginan dan concern yang dikemukakan oleh Pemprov DKI dan PT. JM sebenarnya masih dalam wilayah teknis dan bisnis. Satu sisi Pemerintah memang sangat butuh infrastruktur moda transportasi terpadu di wilayah Jakarta, sementara pada sisi lain juga memikirkan kredibilitas pihak yang akan bekerjasama di dalam menjawab kebutuhan tersebut secara cepat dan fokus pada pembangunan monorail tanpa banyak distorsi ke arah pembangunan lainnya, termasuk properti.
Pada sisi PT. JM, peluang bisnis di bidang transportasi massal ini adalah pertaruhan hidup matinya perusahaan yang sejak awal menawarkan ide monorail kepada Pemprov DKI pada tahun 2003 merasa telah menunjukkan keseriusan dengan, pertama, menamakan perusahaannya PT. Jakarta Monorail, berusaha memenuhi harapan masyarakat dengan penetapan tarif yang terjangkau, memastikan dukungan finansil dari penyandang dana, memastikan secepat mungkin investasi yang berupa utang perusahaan menghasilkan revenue untuk mempertahankan tarif tiket pada tingkat harga yang disepakati.
“Apalagi memang untuk KPS Monorail ini, tidak ada mekanisme subsidi operasional dari pemerintah. Artinya berapapun jumlah penumpang nantinya, tidak ada kewajiban pemerintah untuk menalangi kekurangannya, sehingga diharapkan pihak pengelola yang panda-pandai melakukan subsidi silang dari bisnis lain yang tumbuh seiring dengan monorail tersebut,” jelas Lukas Hutagalung.
Analogi Perkawinan
Dari pendapat sejumlah pihak yang mencermati permasalahan pembangunan monorel ini, juga sepakat mengatakan bahwa masalahnya bisa terpecahkan bila kerjasama dibangun atas dasar kesalingpercayaan (mutual trust) antara Pemprov DKI dengan PT. JM. Masing-masing pihak harus yakin bahwa mitranya akan melakukan tanggungjawabnya sesuai kapasitas masing-masing.
Pemprov berkonsentrasi pada dukungan kebijakan dan administrasi yang bisa diberikan tanpa perlu terlalu jauh masuk ke wilayah bisnis dimana seharusnya menjadi domain dari mitranya, termasuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang kontra-produktif terhadap kredibilitas mitranya.
“Dianalogikan seperti perkwainan,” kata Lukas bahwa menuju ke akad nikahnya, tidak perlu semua hal berkaitan dengan informasi detil kedua belah pihak dipaparkan, yang penting persyaratan dasar terpenuhi dulu. Akad nikah tersebut dianalogikan dengan Perjanjian Kerjasama (PK) dimana memang antara Pemprov dan PT. JM harus memperbaharui PK yang pernah ditandatangani tangani 2004 lalu sehubungan banyaknya aturan dan kondisi terkini yang harus diakomodasi.
“Karena Perjanjian Kerjasama ini baru awal, setelahnya masuk ke fase konstruksi dan selanjutnya ke fase pengelolaan,” jelas Lukas yang mengisyaratkan pentingnya PK yang baru antara Pemprov dan PT. JM disegerakan agar bisa melangkah ke tahapan selanjutnya.
Monorail Harus Lanjut
Mencermati penjelasan dan pemikiran sejumlah pakar termasuk pihak PT. JM, tertangkap kesan yang kuat mengharapkan proyek monorel ini tetap lanjut. PT. JM berjanji untuk melakukan pembicaraan dan pendekatan ke pihak Pemprov sebagai mitra utamanya secara lebih intensif.
Berkaitan dengan sikap Ahok yang terkesan cukup keras menghadapi urusan monorel ini, oleh sejumlah pihak dipandang sebagai hal yang wajar karena Ahok memang selalu bersikap demikian bila menghadapi isu yang berkaitan dengan kepentingan publik. Tercetus harapan sejumlah pihak agar hubungan PT. JM dengan Pemprov DKI, dilihat dari perspektif upaya membangun saling pengertian (mutual understanding) yang diharapkan berakhir dengan kesalingpercayaan (mutual trust) yang lebih kuat diantara kedua belah pihak mengingat kerjasama ini akan berlangsung sedikitnya 50 tahun dan akan menjadi percontohan bagi seluruh Indonesia.
“Memanasnya” isu hubungan Pemprov DKI dengan PT. JM belakangan ini hendaknya juga dilihat dari perspektif tahun politik menjelang Pileg yang baru lalu dan Pilpres yang sudah dekat. Keadaan ini akan segera berlalu, dan siapapun yang terpilih, persoalan kerjasama pembangunan monorel ini akan segera terurai dan konstruksi yang memang sudah lama didambakan segera terwujud.
Tidak ada lagi kata mundur atau batal, semua pihak diharapkan memberikan kontribusi positif untuk menjadikan proyek monorel yang pertama di Indonesia ini segera bisa dinikmati oleh masyarakat, bukan sebatas video animasi yang semakin membuat kerinduan memiliki monorel di Jakarta semakin membuncah. [@ben_369].
[caption id="attachment_325719" align="aligncenter" width="620" caption="Suasana Nangkring Bareng Kompasiana - PT. JM di Outback Steakhouse, Mall Kuningan City, Sabtu 24/05/2014 | Foto Dok Pribadi "]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H