[caption id="attachment_348234" align="aligncenter" width="620" caption="Gunter Pauli sang maestro Blue Economy yang banyak memberikan inspirasi kalangan pemerintah, pengusaha, akademisi dan teknokrat untuk mengevaluasi pemahaman tentang ekonomi yang berkelanjutan | Sumber: www.parismatch.com"][/caption]
Seorang kawan mengirim pesan singkat ke selular saya menanyakan tentang kaitan ekonomi biru dengan kelautan. Saya berusaha memberikan jawaban singkat bahwa sumber daya kelautan bisa dikelola dengan perspektif Ekonomi Biru tetapi Ekonom Biru (Blue Economy) sendiri yang digagas oleh seorang ilmuan dan pelaku bisnis berkebangsaan Belgia beberapa puluh tahun lalu berbicara jauh lebih luas dari sekedar sektor kelautan.
Tahun 80-an para pemerhati sumber daya alam di Indonesia memang pernah berwacana tentang Revolusi Biru sebagai jawaban atas tekanan yang dirasakan cukup berat dalam penyediaan bahan makanan untuk bangsa ini dari sumber daya di daratan. Tetapi wacana itu ternyata berhenti sebatas wacana karena ternyata hingga saat ini setelah kurang lebih tiga puluh tahun, ketergantungan kita masih dominan kepada sumber daya alam yang ada di daratan.
Godaan untuk memahami Blue Economy sebagai gerakan ekonomi yang berbasis kelautan cukup beralasan mengingat kesejarahan sebagaimana yang saya uraikan di atas dan warna lautan yang didominasi warna biru. Tetapi tidak dengan demikian Ekonomi Biru serta merta berarti ekonomi berbasis kelautan. Kalimat terakhir adalah balasan pesan singkat saya kepada kawan saya tadi.
Rupanya pertanyaan kawan tadi terpicu oleh peluncuran buku dari salah seorang birokrat senior yang menulis buku Ekonomi Biru Masa Depan Indonesia. Dilalahnya pembahasan di dalam buku itu didominasi oleh isu kelautan dan itu juga yang diungkapkan penulis dan dikutip media sehingga terkesanlah bahwa Ekonomi Biru adalah Ekonomi Kelautan. Saya penasaran dan akhirnya menemukan tautan pemberitaannya di sini.
Saya yakin buku itu bagus untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang strategi pembangunan Indonesia ke depan. Saya berniat mendapatkannya di toko buku, namun sementara ini perkenankan saya sedikit memberikan gambaran sekilas tentang apa dan bagaimana sejatinya Blue Economy itu dari penggagas awalnya, Gunter Pauli.
Gunter Pauli yang memperkenalkan gerakan ekonomi ini di tahun 90-an menegaskan arti Ekonomi Biru lebih dari sekedar bicara tentang ekonomi yang ramah lingkungan (Green Ecocnomy). Penjelasan ini sekaligus berarti bahwa Blue Economy meski sebutannya agak mirip dengan Blue Lagoon, film yang populer di tahun 90-an yang dibintangi bintang seksi, Bo Derek, tidak berarti berhubungan langsung dengan sesuatu yang berwarna biru, katakanlah laut, langit atau bisnis berkonotasi biru lainnya.
Gunter yang berkebangsaan Belgia ini mengatakan gerakan ekonomi yang dirintisnya dengan istilah ‘lebih dari sekedar ramah lingkungan’ karena banyak pihak yang mendefinisikan kegiatan ekonomi yang dimotorinya sebagai sekedar gerakan ekonomi ramah lingkungan untuk keberlanjutan atau sustainabilitas.
“Saya berusaha menaikkan standar dari kata sustainabilitas lebih tinggi dari sebelumnya,” jelas peneliti kelas dunia kelahiran 1956 ini. Makanya ketika menuliskan laporan kepada Club of Rome tentang pengalaman empiriknya menjalankan konsep ekonomi yang dinamainya ekonomi biru. Apresiasi atas laporan dan inisiatif yang luar biasa itu menjadikan laporan Gunter itu dalam waktu singkat diterbitkan sebagai buku dan hingga saat ini telah diterjemahkan ke dalam 38 bahasa.
Gunter dalam laporannya mencontohkan, kalau sekedar bicara ramah lingkungan, maka kata dia, pembicaraan akan sebatas mendorong agar perkebunan kopi misalnya, tidak menggunakan pestisida kimiawi, mengutamakan pupuk organik dan menjaga keseimbangan ekosistem sekitarnya.
“Tapi saya bicara dan berbuat lebih dari itu. Saya ingin suatu hari komoditas kopi ini dapat dimanfaatkan bukan hanya bijinya. Saya akan mendorong penelitian pemanfaatan kopi ini dari hulu hingga hilir dan menciptakan lapangan kerja yang sebanyak mungkin,” tegas Gunter pada kesempatan presentasi di depan anggota Club of Rome.
Budidaya jamur dengan menggunakan media ampas kopi, salah satu aplikasi dari gerakan Blue Economy yang dimotori Gunter Pauli di Ghana, Afrika. Selain melipatgandakan nilai tambah kopi, upaya ini juga sekaligus memecahkan masalah ekonomi kaum perempuan dan putus sekolah akibat ketiadaan biaya | www.thefutureofhope.org
Gunter menunjukkan fakta bahwa apa yang selama ini dimaksud sebagai nilai ekonomi dari kopi adalah yang kita bayarkan atas kafein dan aromanya yang larut dalam air panas yang kira-kira hanya mencakup 0,05% dari total volume kopi. Karena yang kita nikmati adalah sesuatu yang keluar dari fisik kopi berupa kafein, protein dan sejumlah zat lainnya plus aroma. Daun kopi belum termanfaatkan, demikian pula kulit biji dan ampasnya. Bisa dibayangkan berapa nilai tambah yang dapat dihasilkan dan lapangan kerja yang bisa diciptakan dari pemanfaatan produksi kopi yang mencapai sekitar 7 juta ton di seluruh dunia.
Beberapa tahun kemudian Gunter membuktikan kata-katanya dengan menunjukkan bagaimana kaum perempuan terutama anak-anak dan remaja di Ghana bisa melanjutkan sekolah dan meningkatkan taraf gizinya dari hasil budi daya jamur. Suatu kegiatan ekonomi rakyat yang sebelumnya dianggap mustahil tetapi Gunter membuktikannya kalau itu bisa dengan memanfaatkan media tanam ampas kopi.
Pada 2013 lalu, daur ulang ampas kopi di Spanyol berhasil diproduksi secara massal menjadi bahan baku tekstil dan sebentar lagi besi baja yang menjadi bahan baku utama pisau cukur Gillette akan digantikan dengan serat sutra yang dihasilkan oleh sejenis laba-laba tertentu. Bila teknologi itu bisa segera diaplikasikan, maka cadangan besi baja bisa diperpanjang masa habisnya karena tidak disia-siakan oleh jutaan pemakai pisau cukur yang membuang pisau cukurnya yang tak terpakai setiap hari.
Inti pemikiran dan gerakan ekonomi Gunter Pauli sebenarnya adalah mendorong pemanfaatan sumber daya lokal melalui beragam inovasi agar semaksimal mungkin memberikan nilai tambah bagi peningkatan ekonomi, kualitas hidup manusia, penciptaan lapangan kerja dan terutama penghematan sumber daya agar dapat lebih lama diperoleh manfaatnya. Apa pun komoditasnya diyakini oleh Gunter Pauli pasti bisa digali teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan kemanfaatannya, intinya adalah inovasi tiada henti.
Ekonomi Biru Dari Laut
Laut memang biru tapi tidak berarti pengembangan ekonomi yang berbasis sumber daya kelautan lantas disebut itu ekonomi biru. Itu jawaban saya antara lain kepada teman yang mencoba mencari hubungan antara penamaan gerakan ekonomi biru dengan kelautan atau kemaritiman yang belakangan ini banyak menjadi topik diskusi sejak Presiden terpilih Joko Widodo pernah mewacanakan poros maritim dalam debat calon presiden di televisi.
Memang Gunter Pauli pernah datang ke Indonesia beberapa tahun lalu dan berbicara di depan aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bahkan Gunter pernah mencontohkan komoditas rumput laut yang kemungkinan bisa dijadikan komoditas andalan dalam pengembangan ekonomi biru. Pesan yang ingin disampaikan Gunter adalah bahwa sumber daya alam dari perairan belum banyak digarap dengan teknologi tinggi yang dapat menghasilkan nilai tambah berlipat ganda bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Indonesia.
Ikan selama ini dipandang sebatas sumber protein dan perkembangannya lebih banyak pada variasi kuliner. Di pikiran Gunter, mengapa tulang ikan yang selama ini hanya menjadi limbah rumah tangga tidak diteliti lebih jauh siapa tahu memiliki kemanfaatan lain yang jauh lebih besar di bidang lain, katakanlah industri farmasi. Begitu pula dengan rumput laut (sea weed) yang spesiesnya puluhan. Belum lagi sejumlah tanaman laut seperti akar bahar (rotan laut) yang konon bisa menjadi substitusi bahan semi konduktor yang kualitasnya lebih baik dibanding bahan yang bersumber dari daratan.
Rumah Bambu
Proyek lainnya dari Blue Economy Gunter Pauli selain berburu teknologi tinggi yang membuat penggunaan sumber daya alam lebih murah dan berkesinambungan, adalah penghargaan terhadap sumber daya lokal, sebutlah salah satunya adalah bambu.
Gunter Pauli mempertanyakan mengapa penduduk di pedesaan harus memikul beban hidup lebih tinggi dari semestinya, tak lain karena mereka berusaha mengadopsi gaya hidup masyarakat urban di mana mereka harus memikul biaya lebih mahal dibanding penduduk kota karena sumber daya yang diperlukan harus didatangkan dari luar lingkungan mereka. Sederhananya tanyalah penduduk Wamena di Lembah Baliem sana berapa harga satu zak semen, keramik, genteng, seng dan sebagainya.
Ide Gunter Pauli untuk menghidupkan kembali dan menaikkan gengsi rumah bambu dengan pendekatan arsitektur yang tepat menuai keberhasilan di sejumlah negara di Amerika Latin dan Afrika. Dengan perlakuan yang tepat terhadap bambu, konstruksinya dapat bertahan sampai 100 tahun dan dipastikan tahan gempa.
Di tengah merosotnya gengsi bambu sebagai bahan bangunan, Gunter membangun rumah dan kantornya dari bambu. “Capaian terpenting dari proyek ini adalah terciptanya ratusan tenaga kerja yang mampu mengerjakan konstruksi bambu dari A sampai Z dan memegang sertifikat dari artsitek kelas dunia yang menjadi tutor mereka,” jelas Gunter.
Perkebunan bambu berskala industri, bisnis lain yang tumbuh seiring gerakan Blue Economy yang dirintis Gunter Pauli mengembalikan gengsi bambu sebagai bahan bangunan yang masih relevan di pedesaan - Sepertinya Indonesia perlu mengadopsi gerakan ini agar lahan terlantar bisa berubah menjadi perkebunan bambu | www.slideshare.net
Rupanya Gunter Pauli telah menantang sejumlah arsitek kelas dunia untuk membuat bangunan dari bambu dan memgikutkan sejumlah orang yang berminat dari berbagai negara untuk ikut bekerja bersama sang arsitek dengan perjanjian bila pekerja itu mahir, dapat disertifikasi langsung oleh sang arsitek. Proyek ini telah mendorong ribuan hektar lahan terlantar kini dijadikan sebagai hutan bambu untuk memasok bambu bagi bangunan-bangunan baru yang dipastikan akan berkembang di masa yang akan datang.
Inilah sekelumit gambaran tentang konsep dan aplikasi ekonomi biru yang oleh penggagasnya, Gunter Pauli yang mantan anggota parlemen Uni Eropa dan pebisnis sukses ini, ia namakan konsep asal sebutkarena media mendesaknya untuk memberikan identitas atas gerakan ekonomi yang dirintisnya, lalu tercetuslah nama Ekonomi Biru, sekedar membedakannya dengan Ekonomi Hijau, di mana menurutnya Ekonomi Biru lebih dari sekedar hijau atau ramah lingkungan apalagi sebatas ekonomi tentang laut biru. (@bens_369)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H