Lihat ke Halaman Asli

Ben Baharuddin Nur

TERVERIFIKASI

Menyoal Kesaktian Kartu “Sakti” Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14167162931853459852

[caption id="attachment_355629" align="aligncenter" width="620" caption="Inilah ketiga karta yang dikatakan "sakti" itu | Ilustrasi: jabargov.go.id"][/caption]

Sejatinya gak ada “sakti”nya kartu yang diluncurkan Presiden Joko Widodo itu. Saya menyebut kata “sakti” dalam tanda kutif bukan untuk mempertegas kesaktiannya tapi justru bermaksud mendegradasi kata sakti itu biar berkurang saktinya atau tidak lagi orang mudah menyebut kata sakti untuk sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Seperti kata Joko Widodo berulang kali, bahwa kartu Indonesia Sehat, Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera hanyalah alat bantu agar sistem penyelenggaraan pelayanan kepada rakyat yang membutuhkan lebih praktis, berkepastian, tidak rawan diselewengkan dan tentu saja mudah dalam pengawasan dan pengendaliannya. Itu saja.

Kartu itu tidak akan membuat perut yang lapar menjadi kenyang hanya dengan mencelupkannya ke dalam air lalu meminum airnya. Tidak juga bisa menurunkan panas anak kita hanya dengan menempelkan kartu sehat di jidatnya. Bukankah itu berarti kartu ini tidak sakti?

Kalau anak anda demam datanglah ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk mendapatkan perawatan paramedis. Bila paramedis di Puskesmas menganggap tak mampu menanganinya, akan di rujuk ke rumah sakit terdekat yang telah bekerjasama dalam pengelolaan kartu sehat. Apakah gratis? Tentu saja tidak. Pelayanan kesehatan itu tetap dibayar, hanya saja bayarnya belakangan oleh pemerintah dari pajak masyarakat.

Jadinya apanya yang sakti? Makanya seperti perasaan Jokowi dan saya (maaf kalau salah), merasa sebutan “sakti” oleh kebanyakan pihak termasuk media cetak dan eletronik lebih terdengar sebagai ejekan daripada pengakuan sungguh-sungguh bahwa kartu itu benar-benar sakti.

Mungkin saya akan manggut-manggut setuju kalau anda datang ke saya sambil membawa ketiga kartu anda yang koyak karena bekas peluru.  Anda mengaku ketiga kartu itu telah menyelamatkan  nyawa anda karena saat peluru  nyasar menghajar dada anda, peluru itu tergelincir dan hanya mengoyak ketiga kartu yang anda simpan di saku depan.

Pasti saya akan manggut-manggut tapi tetap menolak mengakui bukti anda bahwa kartu itu sakti. Paling saya akan menyuruh anda bersyukur karena kebetulan kartu itu anda simpan di saku depan. Akankah kartu itu menyelamatkan anda dari hujaman peluru andaikata anda menyimpannya di dalam dompet? Hmm.. mikir, kata Cak Lontong.

Jadi sebutlah dan perlakukanlah kartu itu apa adanya seperti kartu-kartu lainnya. Jangan karena bermaksud mengejek atau mungkin terlalu taqlik sama Joko Widodo sampai ikut-ikutan menyebut ketiga kartu yang diluncurkan oleh Presiden di awal masa jabatannya itu sebagai kartu sakti.

Saya termasuk pendukung sistem pelayanan masyarakat dengan menggunakan kartu. Banyak alasannya yang bisa saya urai bahkan menjadi satu buku. Tetapi alasan sederhana saya adalah bahwa dengan sistem kartu maka berkuranglah kertas yang berarti pohon yang harus dikorbankan untuk menerangkan sesuatu, cukup dengan kartu.

Alasan kedua adalah dengan kehadiran ketiga kartu itu, sepertinya menciptakan rasa aman yang masif, sistematik dan terstruktur di kalangan masyarakat terutama yang berpendapatan menengah ke bawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline