[caption id="attachment_362728" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi: Junsealin.wordpress.com"][/caption]
Saya membaca komentar Pepih Nugraha atas tulisan Heru Andika bertajuk Teori Konspirasi Baru di balik Kecelakaan MH 370?yang tayang di blog konten komunitas Kompasiana pada bulan Maret lalu. Dan seperti Pepih Nugraha yang lebih akrab dipanggil Kang Pepih di kalangan kerabat dan rekan seprofesinya di dunia jurnalistik, saya juga membaca habis tulisan yang luar biasa itu.
Beda saya dengan kang Pepih, saya tidak berkomentar. Saya memilih menjadi pembaca senyap untuk tulisan itu. Andaikata saya harus berkomentar (untungnya tidak), maka dapat saya pastikan komentar saya akan kurang lebih sama dengan komentar kang Pepih.
Intinya, akan memuji serunya tulisan itu, menyayangkan karena rujukannya kurang bahkan tidak jelas, dan yang terakhir akan memberikan motivasi bahwa terkadang soal benar tidaknya suatu analisis persoalan belakangan, yang penting kemukakan dahulu hasil analisisnya seperti apa.
Kang Pepih menutup komentarnya dengan kata: bravo!, maklum orang Barat (maksudnya Jawa Barat) sebagai pernyataan penyemangat kepada penulis. Kalau saya akan memilih kata: Ewako!, maklum saya dari tanah Bugis, dan kata itu adalah kata penyemangat yang maknanya kurang lebih sama dengan Bravo!.
Andaikata saya membutuhkan hasil analisis itu lebih lanjut untuk misalnya membuat tulisan di jurnal yang lebih ketat persyaratan pemuatannya, menyusun tesis atau memperkarakan yang bersangkutan karena saya adalah salah seorang yang merasa dirugikan dari hasil analisis itu, maka saya akan mengejar dan mencecar si penulis darimana rujukannya.
Karena tidak ada satupun dari kepentingan yang saya sebutkan tadi ada pada saya, maka artikel itu saya baca sekedar menjadi hiburan atau pembelajaran tentang satu bentuk gaya menulis yang menarik. Mungkin saya akan mengambil saripatinya untuk menjadikan tulisan saya ke depannya juga dibaca tuntas oleh pembaca seperti tulisan Heru Andika itu.
Saya tertarik menanggapi wacana “soal benar-tidaknya amnalisis itu, urusan belakang” yang menjadi pangkal perdebatan itu bukan untuk memperluas atau memperuncing masalah. Sebagai warga blog community content Kompasiana yang tentu saja sudah terverifikasi dan ber-akun asli, saya tergelitik untuk ikut urun pendapat agar menjadi bahan pengingat bagi diri saya sendiri, syukur-syukur kalau ada pembaca lainnya yang terinspirasi. Tentu saja pendapat yang saya tulis ini sebatas pengetahuan dan pengalaman sendiri. Jadi bila terasa dangkal dan subyektif, kiranya dimaafkan.
Saya tidak bisa melanjutkan tulisan ini tanpa lebih dahulu memberikan apresiasi yang tinggi untuk tulisan Kompasianer Nararya bertajuk “Pepih Nugraha: Benar-tidaknya Analisa, Urusan Belakang”. Ini tulisan yang masuk katagori Must Read atau wajib dibaca bagi penulis non fiksi yang kesehariannya tentu tidak akan terlepas dari urusan fakta, analisis, asumsi, rekonstruksi sebagai perangkat peralatan (Tool Set) dalam membangun karya tulis. Tulisan itu sangat inspiratif dan bermanfaat.
Saat yang sama saya juga tidak bisa mengesampingkan tulisan Kompasianer Joko P bertajuk “Kompasiana & Barbarisme Jurnalistik” yang tayang pada penghujung tahun 2014 (30/12) lalu. Tulisan inilah yang ditanggapi oleh Nararya karena kemungkinan terkesankan dalam tulisan itu bahwa komentar kang Pepih dimaknai menomor-duakan akurasi di atas kecepatan.
Joko mengakui bahwa fenomena itu terjadi karena begitulah galibnya jurnalisme warga dimana penyampai informasi bertanggungjawab atas akurasi dan kualitas infromasi masing-masing. Tidak ada standar kualitas dan akurasi yang diwajibkan sebagaimana yang berlaku terhadap para jurnalis resmi di media arus utama (mainstream media) yang selain terikat oleh Kode Etik Jurnalistik juga standar kualitas redaksional di internal media masing-masing.
[caption id="attachment_362727" align="aligncenter" width="620" caption="Komentar itu | Sumber: Screen Shoot Kompasiana - pribadi"]
[/caption]
Maka Soal Benar-tidaknya Urusan Belakangan
Sebagaimana yang saya dapat tangkap dari tulisan kang Pepih bertajuk Soal Benar-tidaknya Analisis Itu Urusan Belakang, yang tayang di Kompasiana pada awal tahun 2015 (01/01), selain menanggapi dan meluruskan kesimpangsiuran pembaca soal makna dari komentar tersebut, juga sekaligus menegaskan kembali bahwa Kompasiana tetap berkomitmen pada kualitas meskipun di tengah desakan kebutuhan menyajikan informasi secara cepat.
Tidak ada kemendesakan yang serius bagi warga kompasiana untuk menyajikan informasi secepat mungkin seperti mainstream media karena kita tidak berkompetisi adu cepat dengan media lainnya. “Poin saya adalah, TIDAK PERLU MENGEJAR KECEPATAN ITU!” tegas kang Pepih dalam tulisannya itu.
Menurut hemat saya, antara kecepatan dan kualitas tidak harus di-dikotomikan dimana seakan-akan agar sesuatu berkualitas tidak perlu memperhatikan kecepatan atau sebaliknya bila kita mengedepankan kecepatan jangan berharap kualitas.
Seharusnya poinnya adalah PERLU MENGEJAR KECEPATAN karena ini persoalan momentum, tetapi JANGAN SAMPAI MENGESAMPINGKAN KUALITAS DAN AKURASI.Ini penting dipahami terutama dalam konteks penulisan sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa.
Karena sungguh tidak lucu kita menurunkan tulisan yang akurat dan sebutlah berkualitas tantang analisis komposisi kabinet saat susunan kabinetnya sudah diumumkan bahkan sudah dilantik.
Kalau tulisan lain yang sifatnya pengetahuan umum yang tidak berkaitan langsung dengan momentum peristiwa yang akan berlalu, rasanya tidak perlu terburu-buru. Sebutlah tulisan tentang kuliner, motivasi tips dan lain-lain.
Melalui tulisan ini aya hanya ingin menelisik komentar kang Pepih pada konteks dan suasana kebatinan dimana komentar itu tercetus. Yang pastinya menurut hasil analisis saya, bahwa pernyataan itu terlontar karena menanggapi tulisan yang dinilai bagus dari segi pemaparan tetapi lemah dari sisi referensi sehingga lahirlah komentar itu yang secara implisit mengandung pujian sekaligus saran perbaikan kepada penulisnya.
Tulisan Heru Andika itu menurut hemat saya sebagai pembaca, tidak akan kadaluarsa meskipun disajikan tiga bulan lalu atau sekarang. Cobalah anda baca sendiri sekarang, pasti tetap enak dibaca. Tulisan itu lebih menekankan pada analisis pelaku dan kepentingan dalam peristiwa hilangnya pesawat MH370 untuk meng-counter analisis dan informasi umum yang berkembang bahwa pesawat itu hilang karena kecelakaan biasa.
Ini adalah sebuah konspirasi besar! Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Dan itulah yang menarik saya, mungkin juga kang Pepih, membaca tulisan itu sampai tuntas. Ide atau hasil analisis itu telah tersampaikan dengan sangat baik. Hanya saja, referensinya ini darimana? Apakah ini bisa dipertanggungjawabkan? Kalau anda tidak bisa menyajikan rujukan sumbernya secara lengkap dikarenakan keterbatasan waktu, mbok ya santai saja menulisnya,yang penting sumbernya jelas dan akurat. SOAL BENAR-TIDAKNYA ANALISIS ITU, URUSAN BELAKANGAN.
Namanya juga analisis sama dengan prediksi cuaca atau skor pertandingan olahraga. Yang dibutuhkan adalah prediksinya apa dan apa dasar anda melakukan prediksi. Persoalan tepat atau melenceng itu soal human error yang bisa dimaklumi asal jangan asal nebak lalu disajikan sebagai hasil analisis, itu pembohongan namanya.
Nah, sangat jelas bahwa pernyataan kang Pepih itu konteksnya berkaitan dengan pentingnya melengkapi suatu tulisan dengan referensi yang jelas dan dapat dipertanggung-jawabkan. Janganlah karena alasan keterbatasan waktu yang membuat kita lalai menyajikan sumber secara lebih lengkap.
Pembelajaran Saya
Menulis adalah aktivitas komunikasi, sama halnya dengan berpidato, berdiskusi, melakukan presentasi dan semacamnya. Kemewahan yang kita miliki saat berkomunikasi menggunakan perantaraan tulisan dibanding berbicara atau menggunakan lisan adalah karena kita bisa memeriksa kembali akurasi dan sumbernya sebelum disampaikan.
Kesempatan itu harus benar-benar dimanfaatkan sehingga terasa perbedaan kualitas komunikasi kita antara yang melalui tulisan dibanding komunikasi lisan. Apalagi karena komunikasi tulisan bisa dibaca berulang-ulang oleh pembaca. Jangan jadikan alasan waktu yang terbatas sehingga membuat kita mengesampingkan akurasi.
Teruslah belajar memisahkan antara fakta dan opini meskipun anda bukan jurnalis mainstream media. Fakta: Adian Napitupulu menutup mata di ruang sidang, kemukakan itu saja. Jangan sampai anda lebih jauh mengatakan kalau Adian tertidur di ruang rapat. Karena menutup mata tidak selalu identik dengan tertidur. Kalau anda mengatakan tertidur anda telah berasumsi atau beropini.
Tetaplah perhatikan kecepatan dalam menyajikan tulisan anda tanpa mengesampingkan akurasi dan kelengkapan rujukan. Jangan sampai karena anda terlalu berhati-hati menulis sehingga tulisan tentang "Cara Membuat Resolusi Yang Baik di Tahun Baru" anda tayangkan di pertengahan Januari, maaf, sudah kadaluarsa. Mungkin akan ada manfaatnya dibaca lagi di akhir tahun 2015 nanti.
Jadi ingat, untuk suatu tulisan yang berkaitan dengan peristiwa tetaplah perhatikan waktu dalam arti jangan kehilangan momentum, sambil tentunya tetap menjaga akurasi dan kualitas tulisan anda.
Terakhir, meskipun anda yakin telah menjadi penulis handal, tetaplah investasikan waktu membaca tulisan orang lain secara konstruktif, jauhkan sikap merendahkan apalagi melecehkan karena hanya dengan cara itu anda akan tumbuh menjadi penulis yang peka terhadap lingkungan sekitar anda dan tentunya responsif terhadap kebutuhan pembaca. [@bens_369]
SELAMAT MENJALANI TAHUN 2015
DENGAN OPTIMISME
DAN SUKACITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H