Lihat ke Halaman Asli

ben10pku

Seorang pemerhati (yang kata banyak orang) sangat jeli menilai sesuatu.

Reformasi Birokrasi dengan Sistem Informasi

Diperbarui: 5 November 2018   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: https://www.kanal.web.id

Kondisi birokrasi Indonesia di era reformasi saat ini bisa dikatakan belum menunjukan arah perkembangan yang baik, praktik KKN yang masih banyak terjadi, dan mentalitas birokrat yang masih jauh dari harapan. Untuk melaksanakan fungsi birokrasi secara tepat, cepat, dan konsisten guna mewujudkan birokrasi yang akuntabel dan baik, maka pemerintah telah merumuskan sebuah peraturan untuk menjadi landasan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, yaitu Peraturan Presiden nomor 80 tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025.

Ada empat misi reformasi birokrasi Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Perpres tadi yaitu:

  1. Membentuk/ menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
  2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mindset, dan cultural set.
  3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.
  4. Mengelola sengketa administrasi secara efektif dan efisien.

Poin no (1) itu urusan DPR dan Pemerintah namun poin (2), (3) dan (4) harusnya bisa dengan mudah diselesaikan jika menggunakan sistem informasi. Mengapa begitu? Seperti yang kita ketahui bahwa komputer hanya mengenal nilai 0 dan 1 (ya dan tidak) dan tidak bisa dimanipulasi (kecuali diretas). Jadi jika sistem informasi bisa diaplikasikan ke dalam semua aspek pengelolaan pemerintah saya rasa hampir semua masalah bisa diselesaikan tanpa perlu melibatkan unsur kepentingan-kepentingan tertentu.

Isu yang tiap tahun yang saya lihat selalu muncul (istilahnya loe lagi loe lagi) adalah:

  1. eKTP yang belum selesai-selesai karena blanko eKTP habis melulu.
  2. Sistem kepegawaian yaitu ASN honorer yang sudah puluhan tahun masih belum diangkat-angkat menjadi ASN, lalu setiap pergantian gubernur/bupati maka berbondong-bondong handai taulan gubernur/bupati tersebut mengisi posisi/jabatan strategis di pemerintahan daerah.

Sekarang Mari kita bahas permasalahan dan solusinya dari segi pemanfaatan sistem informasi.

Permasalahan eKTP:

Tidak adanya mekanisme pemeriksaan blanko eKTP yang dikirimkan dari pusat ke daerah. Jadi pusat tidak bisa memeriksa berapa banyak sih blanko eKTP yang terpakai berikut data nama-namanya. Di sini nampak jelas jika oknum petugas eKTP bisa bermain dengan mudah. Seharusnya ada mekanisme pengawasan blanko eKTP dari pusat ke daerah. Anehnya juga adalah bahwa perekaman dilakukan ketika blanko eKTP tersedia harusnya bisa direkam dulu baru pas blanko eKTP kan tinggal cetak saja.

Solusi eKTP:

  1. Bisa dibuat sebuah sistem informasi berbasis web yang mengelola pendistribusian eKTP dari pusat ke daerah. Di web tersebut dapat dilihat informasi eKTP yang belum dicetak (beserta informasi tanggal pengajuan jadi bisa diketahui berapa lama waktu tunggunya) dan eKTP yang sudah dicetak ke publik (jadi yang bersangkutan tinggal menjemput eKTPnya). Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa pusat bisa langsung mendapatkan data penduduk eKTP (dan berapa sih jumlah penduduk yang belum keluar eKTPnya) tanpa harus menunggu blanko sampai di daerah.
  2. Lalu untuk penentuan antrian pencetakan eKTP bisa didasarkan pada waktu pengajuan eKTP jadi tidak akan ada lagi masalah yang pengajuan belakangan kok bisa dicetak duluan sedangkan yang pengajuan duluan kok tidak dicetak-cetak.
  3. Saya sarankan juga untuk petugas administrasi eKTP hendaknya memiliki kecepatan pengetikan 150 kata per menit jangan 11 jari.
  4. Selanjutnya daerah bisa diberikan target berupa berapa banyak eKTP yang direkam dan dicetak dalam waktu satu bulan.

Permasalahan Kepegawaian:

Tidak adanya pendataan rinci ke pusat tentang ASN honorer menyebabkan sering terjadinya kasus "ASN honorer abadi". Lalu untuk pengajuan kenaikan jabatan dimana harus dilampirkan SK dari jabatan pertama sampai terakhir (saya jadi bertanya-tanya gudang arsip itu isinya pasti SK yang dobel-dobel semua kalau begitu). Lalu umumnya jika terjadi pergantian kepala daerah maka begitu mudahnya kepala daerah tersebut memasukkan handai taulannya dia ke pemerintahan yang dia pimpin.

Solusi Kepegawaian:

  1. Perlu dibuat sebuah sistem informasi berbasis web yang mengelola sistem kepegawaian ASN dari pusat ke daerah. Sistem informasi ini menggunakan pendekatan sistem pendukung keputusan (SPK). Untuk pengangkatan ASN/kenaikan jabatan tetap maka ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria (lama mengabdi, prestasi, pendidikan, dsb) berdasarkan kuota yang ada. Semua ini dilakukan secara otomatis oleh komputer. Jadi misalkan ada 1000 kuota untuk guru untuk setiap daerah maka komputer otomatis akan memilihkan untuk kita tanpa perlu campur tangan petugas (yang berpotensi KKN).
  2. Lalu SK jabatan juga tidak perlu dilampirkan karena sudah tersimpan di sistem informasi.
  3. Pada data kepegawaian juga perlu dilampirkan informasi kartu keluarga untuk mengetahui sejauh mana nepotisme dan bila perlu sistem bisa mendeteksi 'kecurangan' ini dan memberitahukan ke petugas pemeriksa untuk memeriksanya jika terjadi indikasi nepotisme.
  4. Saya sarankan juga untuk petugas administrasinya hendaknya memiliki kecepatan pengetikan 150 kata per menit jangan 11 jari.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline