Antara ada dan tiada, begitulah keadaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di negara kita ini. Fenomena tersebut ada dan nyata dalam kehidupan kita, namun seakan-akan ditutupi seperti tidak terjadi apa-apa.
Komnas Perempuan (2012) bahkan menyatakan, bahwa terdapat 93.960 kasus kekerasan seksual sejak tahun 1998 sampai dengan 2011. Tiga perempat kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privasi, termasuk keluarga dan orang-orang yang dekat dengan korban. Sisanya tersebar di ranah publik, bahkan dilakukan oleh aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Selain itu, banyak orang yang masih menganggap kekerasan seksual hanya dalam bentuk perkosaan. Pandangan inilah yang membuat banyak orang tidak sadar bahwa mereka sudah menjadi salah satu korban kekerasan seksual itu sendiri.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada tahun 2012, terdapat lima belas jenis kekerasan seksual, berupa: (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksualtermasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; (15) pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi.
Defenisi perkosaan itu sendiri bahkan masih sering diartikan sempit oleh masyarakat, yaitu hanya sebatas hubungan seksual. Nyatanya, perkosaan itu tidak hanya sebatas penetrasi penis ke vagina, tetapi juga ke bagian tubuh yang lain, seperti mulut dan anus dengan cara kekerasan atau ancaman dan pemaksaan, sehingga mengakibatkan rasa takut dan tekanan psikologis terhadap korban (Komnas Perempuan, 2012).
Pemahaman konsep sempit, kecenderungan untuk menyalahkan korban perkosaan, dan menganggap mereka sebagai aib juga menambah beban dari korban perkosaan itu sendiri. Hal ini membuat semakin banyak korban perkosaan tidak berani untuk melaporkan kasusnya karena takut dianggap sebagai “barang rusak” oleh masyarakat.
Kekerasan seksual bukan hanya mencakup hal yang fisik, namun juga termasuk intimidasi, bahkan pemaksaan kehamilan. Perkosaan juga bukan hanya tentang penetrasi penis ke vagina, tetapi juga ancaman dan pemaksaan yang dapat membuat tekanan psikologis terhadap korban. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita peka dan melihat korban perkosaan sebagai korban atas kejadian yang menimpanya, bukan menganggap mereka sebagai sumber malapetaka dan aib bagi masyarakat. Sebab, apa yang terjadi terhadap dirinya adalah di luar kuasanya dan tidak pernah menjadi kehendaknya. Namun, tak lupa pula, setiap orang harus menjaga diri dengan baik agar tidak menjadi korban kekerasan seksual selanjutnya. So, be aware, people!
Daftar Pustaka
Komnas Perempuan. (2012). Kekerasan seksual. Jakarta: Komnas Perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H