Lihat ke Halaman Asli

Hak Asasi Manusia: Karena Manusia Mulia, Maka Tegakkan Martabatnya!

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

Prolog

Manusia memiliki perbedaan penting dibandingkan makhluk lain, seperti binatang. Perbedaan itu tak sekedar perbedaan semata, tetapi membawa konsekuensi bahwa manusia harus mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan hewan. Prinsip ini tentu saja membawa konsekuensi lain, sebab untuk mewujudkan nilai kemanusiaan sebagai manifestasi (menjunjung tinggi martabat manusia) dibutuhkan sejumlah syarat agar bisa dijalankan (Wibawanto, 1999).

Yang menjadi masalah adalah bahwa dalam kenyataan hidup manusia terdapat begitu banyak kejadian yang bukan menjadi unsur penguat (yang mengukuhkan) keberadaan manusia dan kemanusiaan, tetapi menjadi peristiwa strategis, dimana manusia dianiaya, didera derita paksa, dirampas kehidupannya (dibunuh), dan dijegal setiap usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai bentrokan, perang perebutan daerah, sampai usaha untuk mendapatkan keadilan telah memberikan kesaksian tentang bagaimana nyawa manusia melayang tanpa arti (Wibawanto, 1999).

Berbagai kejadian yang tidak diinginkan tersebut dapat menjadi pertimbangan bahwa memang martabat manusia tidak bisa tegak dengan sendirinya, bahkan untuk bisa tegak akan sangat ditentukan oleh sejauhmana usaha-usaha dilakukan. Dapat dikatakan bahwa terdapat syarat tertentu yang harus ada, agar harkat kemanusiaan dapat hidup dan “menghidupi” manusia. Ibarat sebutir telur yang hendak diretaskan, selain terdapat syarat internal, yakni telur tersebut harus berkualitas, juga dibutuhkan syarat eksternal yakni kondisi dengan suhu tertentu, telur bisa menetas.

Jika manusia adalah subyek dalam upaya menegakkan harkat kemanusiaan, maka syarat yang dimaksud tidak lain dari suatu kondisi obyektif tertentu yang memungkinkan manusia mencapai tingkat kehidupan yang sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Yang disebut sebagai kondisi obyektif (syarat untuk merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan) dengan demikian merupakan kondisi yang menjadi hak manusia, agar ia bisa “menjadi manusia” (Wibawanto, 1999).

Teori Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Manusia yang dimaksud di sini adalah semua manusia, tanpa ada pengelompokan atau pengklasifikasian. Jika ditelaah lebih lanjut lagi, begitu banyak pengertian tentang hak asasi manusia yang didefinisikan oleh berbagai ahli. Hak asasi manusia akhir-akhir ini menjadi isu sentral di tengah masyarakat mengingat pentingnya hak asasi manusia tersebut dan banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan.

Adapun teori yang menjadi asal-usul gagasan dalam hak asasi manusia, salah satu di antaranya yaitu teori hak kodatri (natural rights theory). Teori kodrati dari hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang apabila dirunut kembali sampai jauh ke belakang, maka kita bisa menariknya dari zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Dengan landasan ini, pada perkembangan selanjutnya, John Locke, mengajukan pikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

John Locke menyatakan “Semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara” (Smith, dkk, 2008). Melalui suatu kontrak sosial, perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.

Pada abad ke-19 teori hak kodrati mendapat tantangan. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, menjadi salah seorang penentang dari teori hak kodrati. Burge menyatakan “deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis merupakan ide-ide yang tidak benar dan harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah” (Smith, dkk, 2008). Tetapi, penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang paling mendasar adalah bahwa teori-teori kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui darimana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu, dan apa isinya?

Serangan dan penolakan dari kalangan utilitarian kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang shahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral. Selain kritik dari kalangan utilitarian dan positivis, tedapat kritikan dari teori relativisme budaya. Menurut penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki individu sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia.

Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tidak membuat orang melupakan hak kodrati. Gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di kalangan Internasional. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling lagi kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati.

Dengan adanya kejadian Perang Dunia II yang menimbulkan banyaknya korban jiwa, akhirnya pada tahun 1945 dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak menginginkan terjadinya lagi peristiwa Holocaust Nazi, dan menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil. Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.

Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyumbangkan adanya gagasan terhadap hak asasi manusia. Namun, tidak semua gagasan yang terdapat dalam hak kodrati sepenuhnya dimasukkan ke dalam gagasan hak asasi manusia. Gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain hak kodrati yang dikemukakan oleh John Locke, Henry David Thoreau merupakan filsuf pertama yang menggunakan istilah hak asasi manusia (human rights) yang dituangkan dalam tulisan “Civil Disobedience” (Steni, 2008).

Hal Ihwal Hak

Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa hak adalah (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; dan (6) derajat atau martabat. Pengertian yang luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa: hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya (Wibawanto, 1999).

a.Hak asasi manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar (asasi) yang dimiliki. lekat pada manusia, oleh karena ia adalah manusia (Wibawanto, 1999). Pengertian HAM secara teoritik dapat dijumpai pada pendapat Miriam Budiardjo yang mengatakan bahwa: “hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat” (Budiardjo, 1991).Jelasnya bahwa hak-hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, oleh sebab itu bersifat asasi dan universal (Budiardjo, 1991).Dasar dari semua hak asasi dimaksud adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya (Budiardjo, 1991).

b.Asal hak asasi

Ada beberapa pendekatan yang berkembang mengenai asal hak asasi. Pertama, pemikiran yang berlandaskan pada ajaran agama atau merujuk pada nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) sebagai kekuatan yang mengatasi manusia, dan keberadaannya tidak bergantung manusia. Agama-agama memberikan argumen yang sangat jelas, bahwa manusia berawal dan berakhir pada Sang Pencipta. Tiada yang lebih tinggi dari Tuhan. Perlindungan atas manusia, tiada lain bagian dari tanggung jawab manusia pada Tuhan. Dalam ajaran agama juga dijelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan, menempati posisi yang lebih tinggi dari makhluk yang lain (Budiardjo, 1991).

Kedua, pemikiran yang tidak mendasarkan diri secara langsung pada ajaran agama. Pemikiran ini sangat beragam. Ada yang mengembangkan suatu pemikiran yang didasarkan kepada suatu prinsip bahwa manusia bisa hidup di bawah nilai kemanusiaan dan memerlukan syarat objektif, yang bila syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka nilai kemanusiaan akan hilang dan manusia akan musnah. Pendapat lain menunjuk pada hukum kodrat, yang menjelaskan bahwa manusia harus hidup sesuai kodratnya, “berawal” jauh sebelum hukum positif mana pun. Berbagai pendapat lain juga berkembang, seperti menunjuk bahwa asal hak asasi dari apa yang disebut sebagai kemauan umum, atau ada pula yang menyebut sebagai kebutuhan obyektif manusia (Budiardjo, 1991).

Saripati dari kesemuanya itu tidak lain dari pikiran bahwa hak asasi manusia keberadaannya tidak bergantung dan bukan berasal dari manusia, melainkan dari instansi yang lebih tinggi dari manusia. Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak bisa direndahkan, tidak bisa dicabut dan tidak bisa digagalkan oleh hukum positif dari mana pun. Bahkan dengan prinsip ini, maka setiap hukum positif diarahkan untuk mengadopsi dan tunduk kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia (Budiardjo, 1991).

c.Makna hak asasi

Gagasan dasar hak asasi berangkat dari (pengandaian) keyakinan adanya hukum yang tidak berubah, dalam mana masing-masing unsur dalam kehidupan ini memiliki kodrat masing-masing. Masing-masing memiliki fitrah dari Tuhan. Ada suatu tata tertib alami. Manusia sebagai bagian dari alam, memiliki kodrat yang telah ditentukan. Di sinilah dapat dipahami adanya hak yang melekat pada diri manusia, yang berasal dari tingkat yang lebih tinggi ketimbang hukum yang dikeluarkan penguasa duniawi. Artinya, tidak ada hak bagi penguasa duniawi untuk mencabut atau mengurangi, apapun alasannya, ketentuan hak yang diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi (Ilahi) (Budiardjo, 1991).

Setiap manusia menginginkan kehidupan yang baik, artinya dapat memenuhi apa yang dibutuhkan, berkembang dengan wajar dan bermakna. Keingingan umum inilah yang dijadikan salah satu pijakan penting, agar manusia bisa hidup dan menghidupi dirinya secara baik. Untuk itu dibutuhkan suatu kondisi tertentu yang memenuhi kebutuhan materialnya, dan dapat mengembangkan kebudayaan untuk kemajuan dirinya (Budiardjo, 1991).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai aturan yang ada, yang mengatur hidup manusia, tidak boleh bertentangan dengan kehendak tersebut. Tidak ada klaim lain yang bisa dibenarkan bila dari klaim itu berakibat pada pengingkaran atas kehendak tersebut (termasuk kehendak Ilahi); atau memungkinkan suatu kondisi yang menjadikan manusia tidak bisa mewujudkan hidup dan kehidupannya (Budiardjo, 1991).

Hak asasi memang tidak perlu dan tidak bisa dicampur adukkan dengan hukum. Prinsip dari asal-usul “hak” memberikan ketegasan bahwa hak asasi telah lebih dahulu ada dari suatu kekuasaan (pemerintahan). Hak asasi manusia bukan hadiah dari penguasa, melainkan konsekuensi kodrati dari manusia. Menjadi sangat jelas bahwa hukum bukan sumber dari hak asasi. Secara demikian, hukum tidak bisa menghapus hak asasi. Hukum bisa saja mengukuhkan hak asasi. Hal ini akan membuat hak asasi dapat ditegakkan melalui proses hukum. Namun tidak berarti bahwa ketiadaan sanksi hukum terhadap suatu pelanggaran hak asasi, bisa dijadikan indikasi bahwa tiada nilai yang bersifat asasi (Budiardjo, 1991).

Pada sisi lain, posisi hak asasi yang berasal dari “instansi” yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum penguasa, menjadikan hak asasi bukan merupakan jenis hak yang begitu bisa saja dicabut atau dihilangkan. Kekhawatiran pada apa yang disebut sebagai kebebasan tanpa batas, tidak dapat dijadikan alasan untuk menegasi atau mencabut eksistensi hak asasi. Yang bisa dilakukan oleh hukum adalah mengatur lingkup dan cara menggunakan hak tersebut. Aturan ini sendiri harus dibuat dengan prosedur yang tidak mengingkari hak asasi itu sendiri (Budiardjo, 1991).

d.Urgensi menegakkan HAM

Pikiran mengenai hak asasi manusia, harus dibaca bukan sebagai hasil perkembangan intelektual semata. Gagasan hak asasi bukan karya cerdik pandai yang membuat renungan di kamar tertutup. Pertumbuhan pikiran hak asasi merupakan bagian dari suatu proses yang di dalamnya sangat sarat dengan kejadian-kejadian tragis yang merendahkan martabat manusia (penyiksaan, pembunuhan, perbudakan, penghisapan, tekanan politik, penculikan, dan lain-lain). Gagasan hak asasi tidak lain dari suatu reaksi penolakan atas kekejian tersebut, yang dimaksudkan untuk menekankan pentingnya perlindungan bagi manusia.

Titik tolak pemahaman terhadap gagasan hak asasi ini sangat penting, terutama untuk menegaskan bahwa inti dari pemikiran yang dikembangkan adalah menjunjung tinggi martabat manusia dan melindunginya dari tekanan yang melukai dan merendahkannya.

e.Perjuangan menegakkan HAM di Indonesia

Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan ”barang” yang baru karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para Founding Fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, yakni di dalam Alinea 1 Pembukaan UUD-1945, yang isinya menyatakan: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu.....dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” (Mardenis, 2013).

Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasarkan hukum (Mardenis, 2013). Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; (2) asas legalitas; (3) asas pembagian kekuasaan; (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan (5) asas kedaulatan rakyat (Asshiddiqie, 2006).

Akan tetapi penghargaan terhadap HAM yang sudah dirancangkan oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 (tiga) Orde, yakni (Rasyidi & Sidharta, 1989):

(1)Penegakan HAM pada Orde Lama:

Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang lebih menitik beratkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memungkinkan campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan Penetapan Presiden Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai (bertentangan) dengan HAM (Mardenis, 2013).

(2)Penegakkan HAM pada Orde Baru:

Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971 (Mardenis, 2013). Namun, setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi Kolusi,dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa (Mardenis, 2013). Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktivis pro demokrasi (penghilangan orang secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekali pun tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multikrisis di Indonesia serta tuntutan adanya reformasi di segala bidang kehidupan bangsa dan negara (Mardenis, 2013).

(3)Penegakan HAM pada Era Reformasi:

Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM dan UU tentang Peradilan HAM memungkinkan di bukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan pemberantasan praktek KKN (Mardenis, 2013).

Epilog

Memiliki hak asasi adalah hal yang kodrati bagi manusia karena ia adalah makhluk yang dimuliakan. Kemuliaan ini dengan manifestasi penghormatan terhadap martabatnya. Oleh karena itu keberadaan hukum positif seharusnya semakin mengukuhkan hak asasi tersebut.

Proses penegakan HAM di Indonesia memang belum di beberapa hal mengalami kemajuan dan secara keseluruhan masih mengalami kemandekan. Pemerintah terkesan tidak benar-benar commit dalam usaha menegakan HAM.

Untuk itu kita sebagai kaum akademisi, seyogyanya menjadi pelopor dalam menggiatkan usaha menegakan HAM ini dengan membuat urgensi kenapa HAM harus ditegakkan. Dari urgensi tersebut diharapkan dapat menjadi pemicu kesadaran bagi khalayak ramai.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Budiardjo, M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mardenis. (2013). Kontemplasi dan Analisis Terhadap Klasifikasi dan Politik Hukum Penegakan HAM di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding Vol. 2 No. 3, 437-451.

Rasyidi, L., & Sidharta, B. A. (1989). Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya . Bandung: Remaja Karia.

Smith, R., & dkk. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesi (PUSHAM UII).

Steni, B. (2008, Desember 3). Membuat HAM Bermakna. Retrieved from HuMa Website: http://huma.or.id/?attachment_id=151

Wibawanto, A. (1999). Jalan Kemanusian: Panduan untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline