Lihat ke Halaman Asli

Mencuri Dana 'Tuhan': Menelaah Kasus Korupsi Ibadah Haji di Kementerian Agama

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Irsyan Maududy (Staff Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI 2014)


Agama Islam mewajibkan umatnya untuk menunaikan Ibadah Haji sekali dalam hidup. Kewajiban ini tertuang dalam Rukun Islam, dimana manusia baru akan disebut sebagai Muslim seutuhnya jika sudah menunaikan Ibadah Haji. Umat Islam pun menganggap haji bukan saja sebagai perjalanan fisik semata, tetapi sebagai perjalanan rohani dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Di Indonesia, dengan penduduk muslim mencapai 205 Juta atau 88,1 persen dari jumlah penduduk (BPS,2010), ibadah haji dianggap sebagai ritual yang sangat sakral, bahkan melebihi kesakralan ibadah-ibadah lainnya. Sebagian penduduk muslim di Indonesia bahkan melakukan acara syukuran besar-besaran sebelum dan sesudah menunaikan Ibadah Haji. Dalam strata sosial, seorang yang sudah menunaikan ibadah haji akan lebih dipandang dalam masyarakat, khususnya di desa. Hal ini menunjukan bahwa di Indonesia haji bukan saja sebagai ibadah semata, tapi juga sebagai peningkat status sosial (Social Elevator) di masyarakat.
Jumlah pendaftar haji di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, meskipun kuota haji telah dipotong 20%, namun jamaah haji dari Indonesia tetap tinggi, bahkan mencapai 168.800 orang. Angka itu terdiri dari haji reguler 155.200 dan haji khusus 13.600 jamaah. Dengan jamaah haji yang sangat banyak tersebut, menjadi wajar jika pengelolaan ibadah haji berada di bawah tanggung jawab pemerintah pusat. Jika dianalogikan sebagai jumlah penduduk suatu daerah, Pemerintah Indonesia setiap tahunnya memiliki kewajiban untuk memindahkan penduduk Kota Madiun yang mencapai 170.640 dari Indonesia ke Arab Saudi dan memulangkannya dalam waktu yang relatif singkat. Dengan segala kontroversinya, kehadiran Kementerian Agama yang membawahi pengelolaan ibadah haji mutlak dibutuhkan.
Indonesia mungkin satu-satunya, atau paling tidak satu di antara sedikit negara yang menempatkan agama dalam pengelolaan negara. Pengelolaan ini merupakan amanah dari Pancasila dan UUD 1945. Dengan begitu, Kementerian Agama memiliki misi yang sangat khusus. Kementerian ini tidak hanya memiliki misi pemerintahan dan bernegara, tetapi juga memiliki misi kenabian dan misi kerasulan (Prophetic Mission) yang sangat tinggi. Atas dasar inilah bisa difahami mengapa kasus dugaan korupsi yang melanda Kementerian Agama lebih mengecewakan rakyat dibanding kasus dugaan korupsi di instansi yang lain.
Kementerian Agama selama ini juga dikenal sebagai instansi dengan anggaran yang besar. Anggaran Kementerian ini bahkan mencapai Rp 49,582 triliun (intansi dengan anggaran ketiga terbesar) dalam APBN 2014 dan Dana Outstanding Haji yang mencapai Rp 64 triliun, ditambah dengan Dana Abadi Umat (DAU) Rp 2,4 triliun. Dana Abadi Umat merupakan dana yang dikumpulkan pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Dengan banyaknya uang yang dikelola oleh Kementerian Agama, wajar jika banyak orang yang mempersepsikan kementerian ini sebagai kementrian yang rawan akan kasus korupsi atau sering juga disebut kementerian 'basah'.
Kasus korupsi pun pernah melanda Kementerian Agama. Pada tahun 2005, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menemukan indikasi penyelewengan yang dilakukan mantan Menteri Agama Kiai Haji Said Agil Husin al Munawar. Pada bulan Juni, Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Said Agil sebagai tersangka kasus korupsi dana haji sebesar Rp 680 miliar. Uang yang diselewengkan berasal dari pos Dana Abadi Umat. Sebagai menteri agama saat itu, Said menjadi penanggung jawab Badan Pengelola Dana Abadi Umat. Said pun tidak sendiri. Kejaksaan Agung juga menetapkan mantan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji (BIPH), Taufiq Kamil, sebagai tersangka. Said Agil yang juga seorang pemuka agama melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa ia hafal firman-firman Allah, sebab dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang patuh dan taat terhadap ajaran agama, sehingga sangat mustahil melakukan korupsi.
9 tahun kemudian, sejarah terulang. Pada 22 Mei 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Menteri Agama yang sedang aktif menjabat, Suryadharma Ali, sebagai tersangka kasus korupsi dana haji tahun 2012-2013. KPK menemukan indikasi penggunaan sisa kuota haji untuk kepentingan pejabat di Kementerian Agama. Diduga, Suryadharma Ali memanfaatkan dana setoran awal haji oleh masyarakat untuk membayari pejabat Kementerian Agama dan keluarganya naik haji. Pada tahun 2013, rombongan menteri agama terdiri dari istri, adik, menantu, sahabat, pengawal pribadi, dan ajudan. KPK mepermasalahkan penunjukan PPIH (Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji) yang bukan orang profesional karena bersifat nepotisme dan tidak sesuai ketentuan. Selain itu, KPK juga menemukan indikasi penggelembungan harga yang dilakukan diduga berkaitan dengan pemondokan, transportasi, dan pengadaan katering. KPK menjerat Suryadharma dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Unsur dalam Pasal 2 ayat 1 UU, antara lain, adalah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Adapun unsur dalam Pasal 3 UU Tipikor salah satunya menyalahgunakan wewenang.
Selain Suryadharma Ali, KPK juga sedang mendalami keterlibatan pejabat lain. Dalam keterangannya, KPK menyebutkan bahwa tersangka dari kasus ini adalah Suryadharma Ali dan kawan-kawan. Kata "kawan-kawan" disini menunjukan keterlibatan oknum lain. KPK juga sudah mensita HP Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Anggito Abimanyu, meskipun statusnya masih sebagai saksi. Pada tahun 2012, Anggito Abimanyu yang merupakan mantan dosen ekonomi UGM ini masuk sebagai pejabat eselon 1 di Kementrian Agama dengan harapan membenahi pengelolaan dana keuangan ibadah haji. Namun, harapan ini justru berubah menjadi bencana korupsi dana haji. Bahkan, istri Anggito Abimanyu diduga terdaftar sebagai petugas haji sehingga ditanggung oleh negara. Apalagi dalam struktur APBN, posisi Anggito adalah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.

Solusi dari Kasus Korupsi Ibadah Haji
Dari 2 kasus korupsi yang menjerat Menteri Agama pada tahun 2004 dan 2014, setidaknya ada 3 indikasi korupsi dari pengelolaan ibadah haji, yaitu:
1. Permainan sisa kuota haji
Setiap tahun sisa kuota haji dijadikan rebutan pejabat negara atau pimpinan organisasi kemasyarakatan dan jumlahnya mencapai ratusan. Sisa kuota ini didapat dari calon jemaah haji yang tidak jadi berangkat karena meninggal atau sakit keras. Dengan masa tunggu haji yang mencapai 12 tahun, menjadi wajar jika banyak calon jemaah yang tidak jadi berangkat. Menurut keterangan Inspektur Jenderal Kementrian Agama, M Jasin, penyalahgunaan kuota haji dilakukan dengan mengirimkan surat permohonan dari pejabat tertentu. Jatah yang diminta mencapai 50 kursi, dan bahkan pernah hingga 600 kursi. Bahkan, beberapa anggota DPR pada tahun 2012 menunaikan ibadah haji secara langsung tanpa melewati masa tunggu. Meskipun dengan biaya sendiri, hal ini tetap menyalahi aturan dimana masyarakat lain harus menunggu bertahun-tahun untuk menunaikan ibadah haji. Solusi dari kasus ini adalah penetapan nomor urut calon jemaah haji secara nasional. Dengan ini, calon jemaah lain dapat mengisi kekosongan sisa kuota haji. Sebenarnya hal ini sudah dilakukan oleh Kementerian Agama, namun yang terpenting adalah transparansi dari pengaturan sisa kuota tersebut agar tidak dapat diintervensi oleh pejabat. Transparansi ini dapat dilakukan dengan menginformasikan pengisian sisa kuota di web Kementerian Agama secara berkala.

2. Penggelembungan harga dari perusahaan tender
Penggelembungan harga merupakan bentuk korupsi yang paling umum terjadi di Indonesia. KPK menemukan indikasi penggelembungan harga yang dilakukan diduga berkaitan dengan pemondokan, transportasi, dan pengadaan katering. KPK menduga bahwa Menteri Agama mendapatkan setoran dari pemenang tender penyediaan fasilitas haji. Solusi dari kasus ini adalah transparansi dari pemenang tender. Sebenarnya dalam website Kementerian Agama sudah terdapat transparansi pengadaan barang dan jasa dengan adanya Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Di LPSE masyarakat dapat melihat pendaftar dan profil dari perusahaan yang mengikuti tender Kementerian. Sayangnya, LPSE ini hanya ditujukan untuk tender-tender kecil seperti perbaikan ruangan kelas madrasah atau kantor kementrian, bukan proyek besar seperti pengadaan fasilitas Ibadah Haji.

3. Penyelewengan Dana Abadi Umat dan Dana Outstanding Haji
Dana Outstanding Haji yang mencapai Rp 64 triliun dan Dana Abadi Umat (DAU) yang mencapai Rp 2,4 triliun memang rawan diselewengkan. Dana ini ditempatkan di perbankan yang berada dibawah kuasa Menteri Agama. Pada tahun 2013, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan melukan sebuah terobosan dengan menyepakati kerjasama pengelolaan dana haji. Kerjasama ini mengatur tentang investasi dana haji yang dimasukan dalam Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk) seri SDHI (Sukuk Dana Haji Indonesia). Dengan kerjasama ini, pengelolaan dana haji berada dibawah tanggung jawab Kementerian Keungan, namun manfaat investasinya bisa digunakan Kementerian Agama untuk memperbaiki fasilitas haji. Sayangnya, Dana Haji yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk hanya Rp 10,78 triliun. Sisanya yaitu sebesar Rp 55,6 trilliun masih berada di bank dan rawan untuk diselewengkan.
Selain itu, DPR dan Kementerian Agama perlu mempercepat terbitnya Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji yang saat ini masih berbentuk RUU. Jika RUU itu disetujui, pengelolaan dana haji akan dilakukan oleh sebuah lembaga baru dibawah Kementrian Agama yang terpisah dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yaitu BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) yang independen. BPKH ini akan diisi oleh ahli ekonomi yang akan menginvestasikan dana haji dalam instrumen syariah perbankan, sukuk, dan instrumen syariah yang diterbitkan oleh koorporasi.

Meskipun perbaikan dalam pengelolaan Ibadah Haji telah dilakukan, namun kasus korupsi tetap saja melanda Kementrian Agama. Hal ini menunjukan bahwa dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bukan saja dibutuhkan sistem yang baik, namun dibutuhkan juga pejabat yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi. Sebaik-baiknya sistem yang ada, selalu ada celah untuk oknum yang ingin berbuat curang. Terlebih lagi sebagai Kementrian yang membawa misi agama, seharusnya pejabat dalam Kementrian Agama menjadi contoh bagi pejabat lainnya.

Referensi:
1. http://news.detik.com/read/2014/05/27/080128/2593170/10/total-dana-haji-rp-70-t-ini-penjelasan-kemenag-soal-pemanfaatan-bunganya?nd771104bcj
2. http://www.investor.co.id/home/pengelolaan-dana-haji-masuki-masa-transisi/81261
3. http://www.suarapembaruan.com/home/percepat-ruu-pengelolaan-keuangan-haji/56095
4. http://nasional.kompas.com/read/2014/05/22/2321543/KPK.Duga.Ada.Penggelembungan.Harga.dalam.Proyek.Haji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline