Awal April 2015 Eddy Karsito dkk di LSM Humaniora Foundation penggagas “Seni Pemersatu Jiwa”, melakukan soft lounching tentang pembuatan film bertemakan kebudayaan “Annemie in Buiten Gewesten”. Soft lounching diikuti kampanye (baca:promosi)dengan jargon “Kenalkan Budaya Asahan Pada Dunia”. Saya termasuk salah satu yang sangat mengapresiasi gagasan bagus ini, karena sejalan dengan cita-cita membuka jendela Asahan. Dalam wall Eddie Karsito, saya berdiaolog dengan beliau secara kritis dan konstruktif, dan tanggal 14 April 2015 juga menulis status sebagai berikut;
“PESAN HARIAN: Ide yang sangat bagus, mendorong perubahan untuk "kembali ke khittah" melalui revitalisasi kultur. Maka dari itu, gagasan film ini tidak akan menemukan arti pentingnya jika dituangkan dalam bentuk visual yang hanya akan menjadi media promosi pariwisata seperti diharapkan Bupati Asahan, Taufan Gama. Sebagai putra Asahan, saya memiliki harapan yang lebih jauh dari itu, film ini agar mampu mengangkat kembali (revitalisasi) nilai-nilai budaya adiluhung masyarakat Asahan untuk membentuk kembali karakter manusia-manusia di Asahan yang jujur, bersih (anti korupsi), menghargai keragaman (tidak primordialist dan fanatis), serta konsisten membela dan menyuarakan kebenaran (istiqomah/tidak opportunis). Karena selama ini korupsi (ketidakjujuran) dan opportunisme adalah salah satu virus pembunuh budaya adiluhung masyarakat Asahan yang sangat mematikan!”
Bisa jadi status tersebut adalah yang pertama ditulis oleh orang diluar komunitas gerakan “Seni Pemersatu Jiwa”, sebelum akhirnya proses pembuatan film ini mulai menimbulkan kontroversi. Apa dan bagaimana kontroversi dalam film ini dapat dibaca pada tulisan pertama saya berjudul “Budaya Asahan Berbalut Cinta Terlarang” di sini: http://hiburan.kompasiana.com/film/2015/05/13/budaya-asahan-dalam-balutan-cinta-terlarang-kontroversi-pembuatan-annemie-in-buiten-gewesten-724120.html. Walaupun bagi saya, kontroversi seputar penjualan tiket dengan sistem “ijon” dan area casting yang melebar di luar Asahan, adalah sesuatu yang masih bisa dijelaskan dan dapat diterima secara nalar. Sehingga, seharusnya tidak perlu dipersoalkan kecuali nanti ternyata film itu tidak jadi diproduksi atau melampaui batas waktu tayang yang diperjanjikan, masyarakat bisa melakukan tuntutan dan gugatan secara hukum.
Di antara sekian banyak kontroversi, sampai saat ini belum terjelaskan adalah tentang momentum waktu pembuatan film. Seperti diketahui bahwa pembuatan film yang sudah sejak bulan Mei 2015 ini dan diproyeksikan mulai pengambilan gambar (syuting) pada bulan Agustus 2015. Sebagai ilustrasi, pembuatan film sebagai sebuah proses setiadaknya dibagi menjadi pra produksi, produksi dan paska prouksi. Diawali dengan penggalian idea, penulisan sknario dan script, penawaran kepada produser (baca: fund raising), pencarian calon pemeran (casting), pengambilan gambar (syuting) sampai pemasarannya ke bioskop-bioskop dan took CD/DVD. Mengingat sampai saat ini sudah memasuki tahapan pencarian calon pemeran (casting), dan pada saat yang sama, mendekati tahapan pilkada serentak, termasuk di Asahan, maka tampaknya ini memerlukan penjelasan dan krusial untuk dijawab oleh para penggiat gerakan “Seni Pemersatu Jiwa”, lebih-lebih penggagas dan sutradara film, Eddie Karsito. Mengapa serta seberapa urgent dan relevan film ini shg harus dibuat menjelang pilkada?
Sudah saya uraikan di artikel sebelumnya, Sutradara film ini, Eddie Karsito bukanlah sutradara biasa. Ia seorang aktivis seni dan kebudyaan. Bergabung di Yayasan Suaka Budaya dan juga mendirikan Humaniora Foundation, lembaga yang concern dengan budaya dan seni peran. Berasama para aktivis di Humaniora Foundation ini Eddie Karsito berkolaborasi membangun sebuah gerakan yang diberi nama “Seni Pemersatu Jiwa”. Jadi rupanya pembuatan film ini adalah bagian dari sebuah gerakan untuk mempersatukan jiwa melalui kesenian. Pertanyaanya, kenapa jiwa-jiwa, khususnya di Asahan perlu dipersatukan? Apakah memang karena ada ancaman akan terceraiberai-nya rakyat Asahan dalam ketidakdamaian? Sampai disini tampaknya mulai relevan dengan pertanyaan tentang urgensi dan relevansi pembuatan film mendekati/bersamaan dengan momentum pilkada, yang mulai tahun ini akan diselenggarakan serentak
Parhelatan pilkada serentak memang mengandung potensi konflik yang serius. Konflik bisa dipicu atau terpicu soal dualisme kepengurusan partai yang belum selesai, dan soal-soal heterogenitas suku dan golongan. Karakteristik masyarakat yang sangat aktif, agresif dan temperamen dalam berdiskurusus serta berpolemik sosial politik juga mengandung potensi yang sama seriusnya. Untuk alasan ini, tampaknya terjawab relevansi kehadiran gerakan “Seni Pemersatu Jiwa” melalui pembuatan film “Annemie in Buiten Gewesten” ini. Jadi, jika ada dimensi politik dalam pembuatan film ini, menurut hemat saya lebih pada upaya untuk mengantisipasi konflik sosial politik menjelang, saat, dan setelah pilkada. Saya sendiri belum melihat adanya indikasi keberpihakan politik para penggiat gerakan “Seni Pemersatu Jiwa” dan pembuat film ini pada salah satu (bakal) calon kepala daerah.
Meskipun demikian, timing produksi yang mendekati perhelatan pilkada di Asahan dan Kabupaten lainnya menjadikan proses pembuatan film ini, suka atau tidak suka, memang rentan terseret dalam pusaran politik yang sangat sensitif.Apalagi pola rekrutrmen calon pemeran (casting) yang lebih tampak sebagai bentuk pengorganisasian dan mobilisasi daripada sebuah casting, tentu saja dapat menimbulkan kekhawatiran terjadinya konsentrasi dan konsolidasi massa rakyat yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi masalah sosial poilitik.
Jika melalui gerkan “seni pemersatu jiwa” ini, proses pembuatan film “Annemie in Buiten Gewesten” peranannya sangat penting untuk meredam potensi keterceraiberaian (baca:konflik) sesame anak bangsa, kenapa justeru sebagian orang di Asahan melakukan kritik tajam bahkan menjurus pada penolakan, antara lain hanya karena penjualan tiketnya menggunakan system “ijon”? Pertanyaan ini juga sangat menarik untuk dijawab dalam ulasan berikutnya. J
Kaki Merapi, 15/05/15
Bem Simpaka
keteranganPhoto: Acha Septriasa
sumberPhotoIlustrasi: http://m.galamedianews.com/film--tv/17673/-berperan-sebagai-gadis-batak-dalam-film-lamaran.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H