Saat ini pecinta film layar lebar Indonesia sedang euforia menikmati komedi layar lebar bertajuk "Ngeri-ngeri sedap". Film yang diluncurkan 2 Juni 2022, telah ditonton lebih dari dua juta orang dan Mentri Luhut B. Pandjaitan dikabarkan meneteskan air mata saat menonton film yang dibintangi para komika itu. Penulis berkesempatan merasakan kebahagiaan penduduk Indonesia yang terhibur oleh film garapan Bene Dion itu.
Sejatinya kehadiran penulis di sebuah gedung bioskop di bilangan Jalan Teuku Umar, Denpasar tidak sengaja alias tidak direncanakan. Kamis (16/6) penulis menginap di Denpasar bersama putra sulung yang akrab dipanggil Andre Sastra.
Sekitar pukul 19.00, Andre Sastra mengajak nonton film. "Ada film bagus nich, nonton yuk pak! Udah lama kita tak pernah nonton," kata dia merajuk.
Penulis awalnya menolak berangkat ke bioskop, karena penulis mengundang kawan-kawan tim peneliti untuk rapat secara daring untuk membahas finalisasi laporan penelitian di Kabupaten Kaimana, Papua Barat.
"Iya, nanti habis rapat kita nonton," kata penulis menjawab permintaan si sulung sekenanya. Jawaban itu meluncur setelah memperhatikan raut muka si sulung yang penuh harap, penulis tak kuasa menolak.
Mendengar judul "ngeri-ngeri sedap" sejurus penulis merenung, penulis ingat jargon ini milik politisi Partai Demokrat Sutan Batugana (almarhum), hanya saja penulis tidak bisa menerka seperti apa jalan cerita atau gendre filmnya. Maklum sejak masa pandemi, penulis relatif tidak begitu tertarik bahas film. Selain tinggal di kampung, penulis merasa terlalu "tua" untuk jalan-jalan ke bioskop. Jadi tak pernah membayangkan akan duduk dibangku bioskop lagi sejak dua tahun silam.
Setelah duduk menikmati alur cerita ditingkahi keindahan Danau Toba sebagai lokasi pengambilan gambar, penulis merasa bahagia dan terharu. Bahagianya, penulis menikmati akting aktor dan artis kesukaan seperti Boris Bokir dan Tika Panggabean. Alur cerita yang menarik, kendati dipahami sebagai film komedi namun mampu mengharu biru perasaan penonton.
Sama seperti Opung Luhut, tak terasa air mata penulis juga menetes ditengah ketawa ngakak akibat akting para pemain film. Singkatnya, penulis sangat angkat topi dengan kemampuan sutradara mengarahkan film Ngeri-Ngeri Sedap itu.
Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari film itu, secara sosial melukiskan adanya upaya masyarakat lokal untuk mempertahankan "tradisi" secara kaku. Misalnya, orang batak mesti menikah sesama batak, atau rumah batak diwariskan kepada anak bungsu.
Film ini menjadi menarik karena ada pertikaian antara ayah dan anak laki-laki soal nilai-nilai tadi. Entah ada misi "terselubung" atau upaya si sulung mengajak saya memahami peran ayah dalam keluarga. Setidaknya, dia menyinggung dialog bahwa jadi orang tua itu tak pernah lulus, dan mesti belajar terus.
Yeah katanya sih, ketika anak berkembang, orang tua (ayah) mesti ikut berkembang. Tapi, saya lebih tertarik mengcopy pendapat Indra Jegel, bahwa jadi orang tua harus mampu memberi rasa nyaman kepada anaknya sehingga dia mesti siap jadi pendengar aktif.