Lihat ke Halaman Asli

Selamat Ulang Tahun, Pa!

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu lalu Aku sudah menatap lekat-lekat kalender di meja kerja. Masih lama, kataku dalam hati. Dan keesokan harinya Aku kembali lupa. Sesekali kala malam tiba, kulihat tanggal itu, lalu kembali melupakan. Ah, agaknya tahun ini tak ada yang begitu spesial, Pa. Maaf ya.

Dan pagi tadi Aku juga hampir melupakan hari ini. Sepertinya orang-orang di rumah juga melupakannya. Lagipula buat apa mengingat hari lahir orang yang sudah tiada. Tak ada yang bisa dirayakan. Tapi toh aku tetap melakukan ritual yang sama sejak umurku 4 tahun. Bangun pagi-pagi sekali. Bersyukur untuk hari ini. Buru-buru bersiap sebelum kau berangkat ke kantor. Mengucapkan selamat dengan malu-malu, tak lupa mencium kedua pipimu, juga keningmu. Kadang hadiah untukmu langsung kuberi, tapi kadang sengaja disimpan di kamarmu saja, maksudnya untuk kejutan saat kau pulang kerja nanti. Jangan membayangkan hadiah mewah. Karena uang jajanku tak cukup untuk membeli sebuah jam tangan atau sehelai sapu tangan. Yaa uang jajan anak SD jaman itu paling besar juga seribu rupiah. Tak bisa beli apa-apa kan? Paling hadiahku hanya sebuah gambar yang pernah kau ajarkan, berusaha sebaik mungkin kubuat, karena kau juga tahu aku bukan anak yang pandai menggambar. Atau beberapa bait puisi yang sengaja kuciptakan untukmu. Kalau ini aku buat khusus, kutuangkan kata-kata terindah yang berkelebat dipikiranku. Kubungkus rapi. Kadang kubuat ukiran-ukiran kecil dengan gunting kertas. Kutambahkan gambar-gambar kecil di sekitarnya. Tak lupa kuselipkan sebuah pita kecil agar terlihat semakin istimewa. Tahu tidak Pa? Kadang Aku terpaksa tidur tengah malam hanya untuk menyiapkan hadiah terbaik untukmu. Malaikat yang tak pernah lekang oleh waktu.

Tapi sejak 11 tahun yang lalu, ritual itu sedikit berubah. Tak ada lagi Aku yang malu-malu memberi ucapan. Tak ada lagi kecupan di pipi kanan dan kiri. Tak ada lagi kejutan hadiah di kamar. Ya, semuanya tinggal kenangan. Walaupun beberapa ritual masih juga kulakukan. Kadang Aku tetap tidur larut malam untuk sekedar membuat rangkaian ucapan atau puisi. Tapi kini bukan diiringi kebingungan. Tak jarang Aku tertidur dalam tangisan. Bukan karena kepergianmu, tapi karena Aku masih merasa bodoh, belum bisa membahagiakanmu.

Ah Pa, kadang mengingatmu hanya akan menimbulkan air mata. Tapi kenangan tentangmu juga yang kerap menjadi semangat di kala keadaan serasa memburuk. Karena hal-hal yang kau tanamkan membuatku lebih kuat sekarang. Ketiadaanmu tak pernah kujadikan alasan untuk tak bisa hidup mandiri. Justru karena kau tak ada, Aku harus berusaha berdiri tegak. Tak ingin kudapatkan belas kasihan dari orang. Walau kadang rasa rindu tak terbendung untuk diungkapkan. Walau kadang air mata sulit untuk dihentikan.

Hari ini Aku berjanji, tak lagi ada tangis untuk kepergianmu. Biarlah Kau tenang di alammu kini. Hanya doa yang mampu kuantarkan. Semoga Tuhan menyampaikannya kepadamu. Doa dan Rindu. Salam hangat dariku ya, Pa.

Selamat Ulang Tahun, Pa!

Miss you so much.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline