"Tidak ada yang terjadi secara kebetulan," begitu setidaknya Ayu Utami membuka 'talk' dia malam itu. Bagaimana tidak, 70 tahun yang lalu di hari yang sama, arek-arek Suroboyo angkat 'bambu runcing' untuk melakukan pemberontakan pertamanya kepada Belanda. Pertama, sejak Soekarno-Hatta mewakili segenap rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa berdarah ini kemudian dicatat oleh sejarah sebagai hari Pahlawan (lebih lanjut tentang peristiwa 10 November silakan cek disini). Setiap tahun di tanggal yang sama kita selalu diajak untuk mengingat perjuangan mereka.
Tentu bukan ingatan kosong, ingatan perjuangan jika perjuangan itu belum selesai sampai sekarang. Entah itu karena kita berjuang melawan bangsa sendiri atau memang karena melawan bangsa lain yang mungkin kini telah berubah bentuk 'serangannya'. Tapi di atas itu semua, setiap rakyat Indonesia saban hari berjuang dengan caranya sendiri untuk menyambung asa kehidupan. Termasuk saya dan Anda yang membaca tulisan ini.
Kembali ke malam 10 November 2015, malam yang cukup dingin dan berangin, namun terkalahkan oleh hangatnya suasana di salah satu Auditorium Rijks Museum Amsterdam, Belanda. Malam itu, berbagai macam orang baik itu Indonesia, Belanda, atau orang-orang yang tertarik dengan 'hubungan' Indonesia-Belanda berkumpul untuk mendengarkan pemaparan buku Bitter Spice: Indonesia and the Netherlands from 1600 karya kurator dari Rijks Museum Amsterdam, Harms Steven. Tepat pukul 19.45, entah memang sengaja atau tidak sama dengan 'angka skaral' tahun kemerdekaan Indonesia, pintu masuk museum dibuka untuk para pengunjung.
Setelah dilakukan pengecekan terkait registrasi, pengunjung dapat menuju ke auditorium di lantai dasar museum. Kursi yang tersedia cukup penuh terisi. Pukul 20.00 acara dibuka oleh Pimpinan Bagian Sejarah Rijks Museum, Martine Gosselink. Acara dilanjutkan ke menu utama, pemaparan buku "Rempah Pahit" oleh sang penulis. Dutch colonialism go to hell! begitu setidaknya dia membuka tutur.
Kalimat yang dikutip dari sebuah banner seruan dalam salah satu aksi demonstrasi di depan Kedutaan Belanda, Jakarta di tahun 1960-an. Setelah sedikit mencari tentang ada peristiwa apakah di tahun itu, selain peristiwa G30SPKI, saya menemukan bahwa di tahun yang sama ada operasi TRIKORA (Tri Komando Rakyat) untuk pembebasan Papua dan serentetan peristiwa di dalamnya (info lebih lanjut disini). Beberapa peristiwa di tahun-tahun ini masih menyisakan banyak kontroversi dan konspirasi.
Malam itu, Harms sedikit sekali menyinggung masalah ini, dia lebih banyak memberikan gambaran tentang proses renovasi dan pengembangan galeri yang berhubungan dengan Indonesia di Rijks Museum, termasuk tentang patung suku Asmat serta lukisan dan tongkat Pangeran Diponegoro. Buku Bitter Spices sejatinya berisikan katalog koleksi Rijks Museum yang memberikan 'gambaran' tentang hubungan Belanda dengan Indonesia di masa lalu. Harms menutup sesinya dengan menyerahkan buku Bitter Spice kepada ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden. Mengapa Leiden? PPI Leiden yang didirikan tahun 1922 itu telah mencatat Proklamator Mohamad Hatta sebagai salah satu anggotanya dan dari organisasi ini pula tercetus Sumpah Pemuda.
Acara dilanjutkan dengan pemaparan oleh Ayu Utami, seorang penulis yang terkenal lewat karyanya yang cukup kontroversi Saman dan Larung. Di luar pro-kontra dan vulgarisme dari dua buku ini, Ayu mampu menyisipkan sejarah dan pandangan/kritik politiknya. Saat bertemu di Frankfurt beberapa waktu lalu, saya sempat menanyakan apakah ada kemungkinan untuk melanjutkan seri ini dan melakukan kritik politik ke pemerintah sekarang.
Meskipun sebagai pembaca saya berimajinasi jika keduanya dibunuh di atas kapal dan dibuang ke laut, toh Larung dan Saman masih bisa 'dihidupkan kembali'. Ayu menjawab kalau pemerintahan sekarang tidak perlu pusing-pusing dikritik dalam bentuk novel, kebebasan pers sudah membawa kita untuk dengan mudah dan terbuka melakukan kritik politik. Lebih baik kita melakukan kritik terhadap isu sosial seperti yang Ayu tulis di buku trilogi Parasit Lajang dan Simple Miracle. Malam itu, Ayu sedikit menyinggung tentang isu sosial (kepercayaan spiritual) yang percaya atau tidak masih menjadi bagian 'unik' dari masyarakat kita, contoh mudahnya adalah pawang hujan.
Banyak hal-hal atau kepercayaan di masyarakat kita yang terlihat menghubungkan antara dimensi mati dan hidup. Selain itu, Ayu juga memberikan sudut pandangnya tentang kolonialisme di Indonesia. Kolonialisme dianalogikan sebagai penemuan (discovery) anak kecil terhadap lingkungan sebagai contoh penemuan sarang semut. Bagaimana jika dalam proses penemuan itu anak kecil ini menghancurkan sarang? atau Bukankah itu juga bagian dari proses belajar? "Kesenangan dan dilema seolah menjadi dua mata pisau dari sebuah penemuan," begitu setidaknya Ayu sampaikan.
Berbicara tentang sarang semut, mungkin saya adalah salah satu dari contoh anak kecil itu. Masih ingat, saat saya masih di Sekolah Dasar, saya menemukan sarang semut api, begitu setidaknya orang-orang memanggilnya karena semut merah ini dapat menggigit yang efeknya sama seperti terbakar api. Sebagai anak kecil yang masih penuh dengan rasa tidak percaya dan ingin tahu, saya berusaha membuktikan jika semut itu memang bisa 'membakar' jari. Ketika bertemu dengan sarang semut api, saya memasukkan jari saya ke lubang sarang dan membiarkan semut-semut itu melakukan apa yang mereka suka. Benar saja, mereka mengelilingi dan menggigit jari saya. Panas dan bengkak itu yang saya alami. Kemudian pertanyaan yang muncul bagaimana jika saya tidak memasukkan jari saya ke sarang semut? Apakah sampai saat ini saya akan penasaran? Toh saya hanya ingin mengeksplor apa yang belum ditahui dan tidak melakukan eksploitasi, ini tentu yang ada dipikiran saya.
Bagaimana dengan 'pikiran' semut? Tentu jari saya itu adalah bentuk dari ancaman tersendiri, bisa saja saya merusak sarang itu hanya dengan beberapa kali gerakan jari. Apakah jika saya melakukan dengan benar sebagai bagian dari proses pembelajaran bisa menjadi hal yang sah-sah saja? Dan apakah ketika saya melakukan kesalahan (tindakan atau pikiran), kesalahan itulah yang bisa berujung eksplorasi/eksploitasi? Apakah kolonialisme memang aple to aple jika dianalogikan seperti ini? Jika dikembalikan ke definisi kolonialisme itu sendiri, ada kecenderungan jika kolonialisme adalah proses kesengajaan untuk melakukan eksplorasi atau bahkan eksploitasi.