"Kabarkan pada teman-temanmu jika Indonesia juga bisa" begitu setidaknya pesan yang disampaikan oleh Chairman Pavilion Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015, Goenawan Mohamad, saat saya meminta tanda tangan buku Catatan Pinggir. Pesan itulah yang melatarbelakangi saya untuk menuliskannya di sini, untuk memberi kabar setidaknya bagi yang membaca tulisan ini.
14-18 Oktober 2015 kemarin, Frankfurt menyelenggarakan acara tahunannya. Ribuan publisher dan penulis buku kelas dunia, berkumpul di salah satu book fair terbesar di dunia ini. Apa yang membuat tahun ini istimewa? Yup, 2015, Indonesia menjadi tamu kehormatan (guest of honour) dan diberikan hak istimewa (privilage) untuk memamerkan buku-buku terbaik dari karya anak bangsa (info lanjut disini). Pavilion Indonesia mengajak pengunjung untuk lebih dekat dengan Indonesia lewat apa yang biasa kita sebut "jendela dunia". Pavilion ini berada di salah satu ruang utama book fair (Forum namanya).
Pavilion didesain dengan sangat apik, membuat siapa pun betah menikmati pajangan-pajangan buku sambil membuka isi lembarannya. Buku yang ditampilkan begitu beragam, dari roman sampai arsitektur yang ditulis mulai angkatan Balai Pustaka sampai generasi 2000-an. Selain itu, dilakukan beberapa talkshow tentang buku langsung bersama sang penulisnya. Banyak penulis Indonesia yang hadir di sini, Goenawan Mohamad, Ayu Utami, Dee, Asma Nadia, Sapardi Djoko Darmono, Andrea Hirata, Agustinus Wibowo, dll. Tak ketinggalan, Pavilion Indonesia juga memamerkan beragam rempah asli Indonesia sebagai bumbu pelangkap dari pengenalan kekayaan Indonesia. Bangga dan terharu! mungkin itu kata yang tepat mewakili suasana hati saat itu.
Jika kita cukup berjalan keluar dari Forum dan masuk ke salah satu hall internasional (Hall 4.0), kita akan bertemu dengan publisher-publisher asal Indonesia. Hall 4.0 merupakan tempat para publisher memamerkan buku-buku yang telah dicetaknya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Hall 4.0 juga menyediakan panggung talkshow, seperti saat saya berkunjung, ada Asma Nadia yang sedang bercerita tentang program 1000 perpustakaannya dan ada juga beberapa translator yang berbagi pengalaman. Masih ingat, salah satu translator menyatakan bahwa sebagian orang Indonesia kurang begitu bangga berbahasa Indonesia. Beliau mencontohkan bagaimana Jerman sangat menjunjung bahasanya, jika tidak bisa berbahasa Jerman dengan baik, jangan harap bisa naik kelas.
Sedangkan Indonesia? *Anda bisa jawab sendiri. Di kesempatan yang lain, Ayu Utami menjelaskan bahwa bahasa Indonesia memiliki keunggulan dalam hal penyederhanaan grammar dan kaya akan kiasan. Bahasa Indonesia memang tergolong bahasa yang masih muda, namun termasuk bahasa yang kaya dan yang terpenting adalah bahasa pemersatu dari 200 juta lebih penduduk Indonesia. Melalui acara ini, Indonesia mampu mengenalkan dirinya dalam perspektif yang lain. Kekayaan Indonesia tertuang dalam wujud goresan tinta ataupun gambar. Lewat acara ini Indonesia juga memperlihatkan jika penulisnya bisa dan mampu bersaing dengan penulis dunia. Hashtag #IndonesiaBisa #FBF2015 bukan isapan jempol belaka.
Sekilas tentang acara book fair ini, FBF sejatinya adalah B2B (business to business), tempat bertemunya publisher dan calon pelanggan. Namun, masyarakat bisa turut menikmatinya di akhir pekan, 17&18 Oktober 2015. Saya berkunjung 18 Oktober 2015 karena di hari terakhir ini, para pemamer diperbolehkan untuk menjual bukunya. Worth it! Itu kata yang cocok untuk membeli buku saat book fair ini. Buku yang mungkin sudah sulit didapat sangat mungkin didapatkan di sini, sebut saja buku Siti Nurbaya (karya Marah Rusli) dan enam rangkaian buku Sense & Sensibiity (karya Jane Austen) dapat saya beli di sini.
Harganya? Bisa sepertiga dari harga biasanya. 2016, Belanda akan menjadi tamu kehormatan dan mungkin juga cukup menarik untuk dikunjungi. Penasaran, apakah akan banyak penulis Belanda yang menuliskan Indonesia dan perjalanan 'berdagang' mereka ke Nusantara lewat VOC-nya? Maklum, selama ini hanya mengenal Multatuli lewat buku Max Hevelaar-nya. Setelah berkunjung ke book fair ini, saya mendapat pandangan baru tentang negeri seratus-ribu pulau ini dan berharap di masa yang akan datang, Indonesia bisa menyelenggarakan book fair kelas dunia semacam ini.
Saya akan menutup tulisan ini dengan salah satu puisi karya Goenawan Mohammad berjudul Expatriate
Akulah Adam dengan mulut yang sepi
Putra Surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai
Detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian
Dan esoknya terbukalah gapura:
pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga
dan aku pergi
dengan senyum usia yang sunyi