Lihat ke Halaman Asli

Belfin P.S.

Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

Ignorance: Ketika Diam Menjadi Ciri Tak Mau Berkontribusi

Diperbarui: 23 Oktober 2021   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Zaman digital memang menyimpan segudang cerita. Kali ini, saya ingin membahas sebuah kisah yang menurut saya sepele, tapi membawa dampak yang luar biasa: diam atau pasif dalam berkontribusi di setiap meeting atau pertemuan daring, baik di kelas atau rapat.  Apakah penyebabnya? Akhir-akhir ini, ignorance atau sikap abai itu cenderung makin 'populer' dan 'menjamur' saat semua orang lebih memilih berlindung di balik layar, khususnya saat bekerja dari rumah (work from home), yang praktis mengandalkan koneksi internet dan aplikasi meeting. Pertemuan yang sejatinya bernuansa diskusi, pada akhirnya hanya diisi oleh beberapa orang. Sementara yang hadir di sana kebanyakan memilih pasif, diam, entah mendengarkan atau memang sengaja tak menyimak dengan alasan: saya hanya diundang meeting, jadi tak berkepentingan untuk memberikan sumbangsih. Syukur-syukur senang tidak kebagian tugas (terutama di benak siswa yang sudah kebanyakan PR). Entah itu yang ada di pikiran mereka. Bisa jadi.

Saya pernah menulis artikel dengan judul "Ketika Video Off Menjadi Tanda-tanda Produktif?" yang mempertanyakan bagaimana fokus dan konsentrasi siswa selama pembelajaran online karena ternyata banyak terjadi miskomunikasi akibat sikap abai (ignorance). Gara-gara mengamati kecenderungan ignorance itu, akhirnya saya menuliskan kisah tentang perilaku siswa dalam pembelajaran online. Ternyata, ketika siswa berlindung di balik layar, banyak yang menjadi multitasking: dapat mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan. Akibatnya, fokus utama terhadap pembelajaran itu menjadi terabaikan oleh keterampilan multitasking tadi. Siswa hadir, tetapi tak menyimak. Alhasil, banyak informasi yang tidak didapat.

Uniknya, tak hanya siswa, guru yang sejatinya menjadi teladan, juga memilih cara yang dipilih siswa itu: pengikut atau penikmat saja dalam pertemuan online (semisal rapat), bukan subyek yang merasa menjadi bagian dari pertemuan itu. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan?

Memang tidak ada jaminan ketika tubuh tak terlihat, apapun yang mereka lakukan di balik layar atau suara itu, tidak akan pernah bisa kita kendalikan. Itu yang menjadi salah satu kelemahan pembelajaran/pertemuan online. Siapapun tidak bisa menjamin apakah orang yang hadir itu menyimak atau memahami apa yang telah dijelaskan. Seandainya saja semua orang dapat berkata jujur dan mengisahkannya kembali, mungkin saja kita akan terhenyak dengan situasi apa yang sebenarnya terjadi di balik layar itu. Mungkin memang ada orang-orang yang sengaja hadir, tapi sebenarnya tak berada di situ. Mereka sibuk mengerjakan yang lain dan tidak fokus pada apa yang sedang terjadi di sana. Maka tak heran bila komunikasi selama online terkesan lebih intensif dan masif agar si penerima informasi mendapatkan apa yang diinformasikan.

Pada kenyataannya, meskipun berbagai cara telah dilakukan, salah paham masih sering terjadi karena perilaku ignorance ini. Sebut saja satu contoh mengenai tugas yang harus dilakukan dan dikumpulkan siswa. Masih saja ada siswa yang tidak mengetahui apa-apa dan meminta penjelasan ulang, padahal guru sudah menerangkan dengan jelas, tertata, baik secara audio dan visual. Begitu juga dengan guru.

Persoalan salah informasi, alasan yang dipaparkan bermacam-macam: tidak membaca info yang dibagikan karena chat group terlalu banyak, memang tak menyimak selama pertemuan, atau dengan alasan-alasan tak masuk akal lain. Intinya: selama kita ignore dan tidak fokus, mau sedetail apapun informasi yang dibagikan, selama tujuannya memang 'tak peduli dan masa bodoh', semuanya percuma saja saja. Semua itu diawali dari diri kita sendiri untuk menghargai orang dan menghargai diri sendiri untuk lebih fokus.

Perilaku ignorance atau perilaku abai dan tidak peduli ini memang akan muncul di tengah individualisme yang kian tinggi. Apalagi saat pandemi, masing-masing orang akan merasa lebih fokus pada diri sendiri di tengah minimnya sosialisasi. Ketika orang berdiam diri rumah, bekerja dari rumah, dan minim partisipasi, sikap ini akan cenderung menyerang karakter-karakter yang sudah cenderung egoistis. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, ignorance memiliki arti: ketidaktahuan, kebodohan, dan kedunguan. Kata ini menjadi menarik bagi saya karena arti ignorance salah satunya mengandung arti 'bodoh' atau 'dungu'. Kalau sudah memiliki karakter egois, kemudian memilih jadi ignorant, lengkaplah sudah kebodohannya.

Nah, mengapa orang-orang cenderung diam dan tak mau berkonstribusi saat pertemuan online? Apakah memang pertemuan online ini membuat sisi humanisme kita menjadi terdegradasi atau memang disengaja untuk mengurangi keingintahuan kita tentang hal atau orang lain sehingga memilih tak peduli dan masa bodoh? Terlepas dari banyaknya alasan untuk berlindung di balik layar seperti gangguan internet, rasa malu untuk menunjukkan diri, minimnya paket data, dan lain-lain, agaknya berdiam diri menjadi salah satu opsi untuk menghindar dari beban lain.

Dari pengamatan saya, ketika diam menjadi pilihan, itu menjadi ruang nyaman dan aman untuk tidak kebagian peran (baca: tugas) dalam urusan pekerjaan. Semakin minim berkontribusi dalam meeting, maka semakin aman posisi dalam bekerja. Minimnya inisiatif akan membuat pekerjaan lebih minim dan tidak perlu menambahi beban yang sudah ada.

Ignorance ini seperti sebuah cara untuk melindungi diri dari sesuatu yang membawa ketidaknyamanan.  Tidak hanya secara fisik, namun juga secara emosional. Ketika kita berlindung secara fisik, semisal tidak menampakkan diri, maka kecenderungan untuk aktif akan berkurang. Mungkin karena sibuk ber-multitasking ria dengan hal lain yang tidak bisa kita lihat. Berbeda dengan sebaliknya. Dalam sisi emosional pun akan begitu. Orang-orang yang menampakkan diri akan cenderung lebih berempati karena dalam interaksi itu terjadi komunikasi yang memang seharusnya terjadi yaitu interaksi dua arah, fokus, dan didukung oleh bahasa tubuh yang tepat.

Nah, ketika diam menjadi pilihan, tidak bisa dipungkiri bahwa sikap itu akan berbanding lurus dengan minimnya kontribusi. Artinya, keterlibatan untuk menjadi subyek dalam pertemuan itu pasti tidak akan ada. Tujuannya memang sudah jelas, hanya menjadi penikmat atau pengikut saja. Persoalan untuk memberikan ide dan gagasan akan dapat menjadi bumerang karena biasanya, barang siapa yang memberi ide, mau tidak mau akan terlibat dalam mengeksekusi gagasannya, paling tidak secara moral mempertanggungjawabkan ide yang sudah dilontarkan. Kalau sudah begini, mau tidak mau harus berkontribusi, bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline