Ketika pandemi memaksa proses pembelajaran tatap muka (PTM) berpindah ruang dan tempat ke dunia daring (online), baik sekolah, guru, siswa, dan orang tua tentu mengalami terkejut.
Tentu kita tahu bahwa Kemendikbud juga mengalami hal yang sama. Keterkejutan ini bahkan sempat diwarnai drama karena pandemi ini seolah menjadi 'medan perang' baru. Sekolah dan guru tidak siap ketika harus beralih ke pembelajaran online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Mereka belum dipersiapkan untuk beralih ke metode pembelajaran baru. Mereka tidak memiliki 'senjata' yang mumpuni untuk beralih secara total ke dunia online.
Bahkan hingga tulisan ini saya buat, pada kenyataannya banyak siswa yang terlantar karena tidak dapat belajar secara efektif saat belajar online. Begitu juga dengan para guru yang akhirnya 'pasrah' karena tak mampu bersaing dengan teknologi dan tidak memiliki 'senjata' untuk berperang di masa pandemi ini.
Alhasil, terutama bagi sekolah-sekolah yang tak terbiasa menggunakan internet, laptop, dan lain-lain, tentu merasa kagok. Guru-guru mungkin stress. 24 jam bisa jadi tidak cukup untuk mempersiapkan pembelajaran karena di luar tugas mengajar dan mempersiapkan materi pembelajaran, ternyata ada tugas tambahan untuk melayani siswa dan orang tuanya yang mengalami kebingungan saat menerapkan PJJ. Secara psikologis, guru menjadi terbebani. Tingkat stress meninggi. Akibatnya, ketika guru tidak siap, siswa pun mengalami dampaknya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh siswa. Survei KPAI tentang pelaksanaan proses belajar jarak jauh di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota menyebut 73,2% siswa dari 1.700 responden, atau 1.244 siswa, mengaku terbebani tugas dari para guru. Sebanyak 1.323 siswa dari seluruh responden berkata sulit mengumpulkan tugas karena guru meminta mereka mengerjakannya dalam waktu singkat.
Survei yang dilakukan oleh UNICEF juga tak jauh berbeda. Hasil survei menyebutkan bahwa sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 propinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah.
Ada pertanyaan menarik yang ingin saya ulas di tulisan ini. Hal ini tentu saja terkait dengan sosialisasi dari Kemendikbud yang akan menerapkan pembelajaran tatap muka setelah guru-guru divaksin. Ketika guru dan siswa sudah terbiasa belajar online, apakah keadaannya akan sama ketika mengajar di sekolah, di kelas bersama dengan siswa-siswanya? Apakah kompetensi guru menjadi lebih baik atau justru mengalami masalah baru?
Pertanyaan ini muncul karena berbagai pertimbangan:
Pertama, kondisi pembelajaran online dan offline adalah dua kondisi yang berbeda. Media yang digunakan pasti akan berbeda. Guru yang telah terbiasa dengan mengandalkan teknologi internet, dan lain-lain, bisa jadi akan menyesuaikan lagi. Hal ini khususnya berdampak secara signifikan di sekolah-sekolah yang belum menyediakan sarana dan prasarana teknologi seperti internet, komputer, dan lain-lain. Mau tidak mau, guru harus kembali ke kondisi semula. Mengajar secara manual dengan media papan tulis, spidol, dan materi ajar lainnya.