Lihat ke Halaman Asli

Anton Bele

PENULIS

Hidup dari Sudut Filsafat (43)

Diperbarui: 28 April 2021   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup itu nanti, bukan sekarang. Kalau begitu sekarang ini apa? Bukan hidup? Sekarang ini pemenuhan nanti. Terus berlanjut dari nanti ke nanti  sampai nanti. Nanti jadi apa? Yah, hidup yang hidup ini akan terus bergulir nanti dan berakhir pada nanti. 

Kita ada nafsu makan, karena lapar. Nanti kalau makan, kita kenyang. Habis kenyang nanti lapar lagi. Kita ada nafsu untuk menanggap nanti ini. Kita ada nalar untuk pikir nanti ada apa. Nalar kita itu ada untuk menanggap nanti ada apa yang selanjutnya nanti dan nanti. Kita ada naluri untuk nanti menjumpai sesama yang satu disusul yang lain dan nanti terus berganti. Kita ada nurani untuk menikmati ketenangan yang nanti disusul dengan kedamaian yang nantinya akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Untuk meniti nanti ke nanti inilah kita hidup. 

Hidup ini nanti beralih dari nanti ke nanti dan rentetan nanti itu terdorong oleh empat N dalam diri kita: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. Hidup ini untaian nanti tanpa henti. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Itulah hidup yang nanti dan terus nanti dari yang sekarang ke nanti yang lain. Nanti berganti lagi jadi hidup yang nanti besok lain lalu lusa lain  sampai tidak tahu kapan nanti ini beralih ke nanti yang lain lagi. Yakinlah hidup ini akan berlanjut sampai memasuki nanti abadi tanpa ada batas waktu dan tempat.

Nanti sesudah hidup yang dibatasi oleh ruang dan waktu di alam dunia ini memasuki hidup dengan rantai nanti abadi, Nafsu tak akan lagi terhalang, Nalar tak akan lagi terpalang, Naluri tak akan lagi terhadang dan Nurani tak akan lagi terpanggang. Hidup yang nanti itu cerah terentang dalam nanti lestari.

Hdup yang lain nanti tiba sebentar, besok, lusa. Tak terulang hidup yang lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu. Hidup adalah Nanti yang ada di depan kita. Dalam meniti hidup yang serba nanti ini, saya, anda, dia, kita, tetap berjaga entah dalam lelap tertidur. tegap berdiri atau duduk terpaku. Hidup dalam rentetan nanti ini, tidur pun adalah sambungan napas nanti menanti terbukanya mata yang diistilahkan dengan kata bangun. 

Nanti yang sementara ini akan memasuki gerbang nanti abadi yang kita istilahkan dengan kata mati. Pada saat itu kita saling memandang tanpa ada lagi tembok pembatas dan selubung penudung tubuh kita karena tubuh sudah lebur menjadi hablur tembus pandang. Pada saat tibanya nanti abadi itulah kita menyatu dengan Maha Nanti, TUHAN.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline