Lihat ke Halaman Asli

Anton Bele

PENULIS

Salam dari Sudut Filsafat

Diperbarui: 10 Juli 2020   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salam setiap saat berseliweran di dunia ini dalam hitungan angka milyaran. Penduduk dunia yang diperkirakan sudah mencapai 7 milyar ini kalau separuhnya saja saling memberi salam, maka tiga setengah milyar salam beredar, lisan atau tertulis. Manusia saling memberi salam. Ibarat semut kalau berpapasan saling mencium, manusia saling bersalaman setiap kali bertemu entah secara langsung atau tidak langsung. 

Media apa pun saja dipakai oleh manusia untuk saling memberi salam. Salam dalam berbagai bahasa, kata-kata dan isyarat. Kebiasaan saling memberi salam ini seusia manusia itu sendiri. Salam itu bukan hal baru. Ada salam adat, salam sosial, salam bisnis, salam politik, salam agama. Ada juga salam basa-basi, sekedar salam.

Pengalaman saya, sejak usia lima tahun, 1952, di pedalaman Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), saya sudah mengenal dan melakukan salam dalam bahasa Latin yang sangat membekas sampai saat ini. 

Salam itu salam agama, bunyinya, "Dominus vobiscum", itu sapaan dari Pastor waktu liturgi Ekaristi atau Misa, dijawab oleh kami, umat, "Et cum spiritu tuo". Artinya, "Tuhan sertamu", dijawab, "Dan beserta rohmu". Memang dalam upacara agama jadi Tuhan langsung dilibatkan. 

Salam setiap hari muncul dalam diri seorang ditujukan kepada orang lain, karena ada dorongan NAFSU, keinginan untuk memberi dan menerima perhatian. Kedua insan itu saling memberi perhatian dan menjalin hubungan dengan kata atau isyarat yang bermakna salam. 

Salam berdasarkan NAFSU ini bisa tiga macam: salam tulus, salam bulus atau salam basa-basi. Salam tulus itu sangat bermakna manusiawi. Salam bulus itu pernah tercatat dalam sejarah umat manusia ini, yaitu salam Yudas untuk Yesus, Guru dan Tuhan. Salam basa-basi itu hanya sekedarnya saja.

Ada dorongan NALAR dari seseorang untuk memberi salam kepada orang lain karena keduanya bertemu di dunia ilmu pengetahuan. Dorongan NALURI memaksa seseorang memberi salam, mungkin karena yang disalami itu lebih tua usianya. Ada salam yang muncul karena bisikan NURANI, itulah salam keagamaan yang melibatkan Tuhan.

Dunia akan jadi sunyi sepi kalau tidak ada lagi ucapan salam. Dan itu tidak mungkin. Tetap salam itu memenuhi ruang angkasa dan relung hati. Salam itu ungkapan diri manusia yang berasal dari perpaduan NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI. Salam yang utuh, tulus dan luhur itu salam yang muncul dari keutuhan diri manusia dalam unsur 4 N ini (Kwadran Bele, 2011). Salam yang tulus dan luhur ini memberi semangat baru, semangat juang dan semangat untuk hidup seutuhnya sebagai manusia dengan manusia dan manusia dengan TUHAN. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline