Lihat ke Halaman Asli

Mata Rantai Pangan Organik Indonesia yang (Masih) Hilang

Diperbarui: 4 November 2024   01:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Kesadaran masyarakat mengenai hubungan erat antara makanan dengan kesehatan makin meningkat seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan. Kian banyak orang yang mengerti bahwa sebagian penyakit timbul sebagai konsekuensi dari menjalani pola hidup yang tidak sehat. Walhasil kini makin banyak orang yang beralih ke pola hidup sehat dengan cara, antara lain, rutin berolahraga dan mengonsumsi pangan sehat.

Pangan sehat adalah bahan pangan yang mengandung gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti vitamin, mineral, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, serat, dan air. Pada zaman sekarang pangan yang benar-benar sehat hanya mungkin didapat dari pangan organik, yakni bahan pangan yang diproduksi, disimpan, dan diolah secara organik.

Diproduksi secara organik artinya dibudidayakan dengan sedikit atau sama sekali tidak mengandung unsur-unsur kimia seperti pupuk, pestisida, hormon dan obat-obatan. Semua proses produksi pangan organik dilakukan secara alami dan hendaknya memenuhi pedoman pesyaratan internasional yang telah ditetapkan, seperti tidak menggunakan bibit GMO (Genetic Modified Organism atau produk rekayasa genetik) selama proses produksi dan tidak menggunakan teknologi radiasi untuk mengawetkan produk. Disimpan dan diolah secara organik artinya disimpan dan diolah dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mengalami pencemaran dan kerusakan kandungan gizi.

Pemerintah Indonesia menetapkan ketahanan pangan, yakni peningkatan ketersediaan, akses, serta kualitas konsumsi pangan, sebagai program prioritas Agenda Pembangunan Nasional tahun 2022-2024. Salah satu targetnya adalah menungkatnya "Persentase Pangsa Pangan Organik" sebesar 20% pada tahun 2024.  

Temuan-temuan di lapangan berikut ini menunjukkan adanya sejumlah tantangan yang perlu disikapi secara bijak oleh segenap pemangku kepentingan.

Suatu hari saya mengobrol dengan seorang bakul dawet. Ia bercerita tentang salah seorang temannya yang selama ini menafkahi diri dan keluarganya dengan membudidayakan buah melon. Anehnya, tak satu pun dari mereka sekeluarga yang terlibat langsung dalam proses penanaman bibit hingga pemanenan buah melon itu yang berani memakan buah melon hasil panenan mereka sendiri tersebut.

Ketika cerita ini saya cuplik dalam suatu acara pelatihan pembuatan pupuk organik, seorang peserta mengaku bahwa beliau baru saja membeli satu paket bibit melon, yakni 1.000 bibit plus dua karung 'obat pertanian' untuk diaplikasikan sejak awal penanaman hingga saat panen tiba. Dan beliau menyatakan kalau selama ini juga tidak berani memakan melon hasil panennya serta melarang keras semua anggota keluarganya memakan melon yang mereka panen.

Begitulah. Para petani buah ngeri mencicipi kesegaran buah melon yang mereka budidayakan sendiri sejak berupa biji sampai menjelma buah sebesar bola voli.

Pada kesempatan yang lain saya berjumpa dengan seorang ketua kelompok tani spesialis tanaman cabe yang mengaku kalau selama bertahun-tahun ini tidak berani memakan cabe hasil panen dari berhektar lahan cabe kelompok tani mereka.

Beliau orang Indonesia asli, jadi ya doyan sekali sambal. Lantas, kalau hendak bikin sambal untuk memuaskan selera pedas, cabenya dari mana? Beliau punya solusi ampuh untuk masalah yang satu ini. Yakni menanam cabe secara organik dalam sejumlah polybag di emper rumah, khusus untuk konsumsi pribadi keluarga beliau.

Selama ini hasil petik dari beberapa polybag cabe organik (yang dibudidayakan menggunakan pupuk dan pestisida organik) itu sudah lebih dari cukup kok, kalau cuma mau bikin orang serumah setiap hari huh hah huh hah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline