Lihat ke Halaman Asli

Frekuensi atau Kualitas? Menimbang Efektivitas Job Fair dalam Mengatasi Pengangguran

Diperbarui: 28 November 2024   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com/id/users/geralt-9301/

Pernahkah sahabat kompasiana bertanya-tanya, mengapa banyak lulusan baru tetap menganggur meski job fair sering digelar? Acara besar, penuh stan perusahaan, dan antrean panjang para pencari kerja seolah menjadi rutinitas bulanan di kota-kota besar. Tapi benarkah semakin sering job fair digelar, pengangguran bisa lebih cepat teratasi? Atau justru kualitas job fair lebih menentukan hasil akhirnya?

Dilema antara frekuensi dan kualitas job fair menjadi isu yang perlu dibahas. Banyak pihak memandang bahwa job fair adalah salah satu solusi efektif untuk menjembatani pencari kerja dengan perusahaan. 

Namun, efektivitasnya tidak selalu terukur hanya dari jumlah job fair yang diadakan. Ada hal lain yang lebih dalam: apakah job fair tersebut mampu benar-benar membantu pencari kerja mendapat pekerjaan yang sesuai dan berkelanjutan?

Frekuensi Job Fair: Semakin Banyak, Semakin Baik?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia per Februari 2024 mencapai 5,45%, yang setara dengan sekitar 7,6 juta orang. Di tengah angka ini, job fair menjadi salah satu program pemerintah dan swasta untuk menekan jumlah pengangguran.

Job fair sering digelar di berbagai kota, mulai dari kampus hingga pusat perbelanjaan, bahkan secara daring. Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada lebih dari 2.000 job fair yang diadakan sepanjang tahun 2023, baik secara offline maupun online. Pertanyaannya: apakah peningkatan jumlah ini berbanding lurus dengan penurunan angka pengangguran?

Kenyataannya, banyak pencari kerja merasa kecewa setelah mengikuti job fair. Mengapa? Beberapa masalah yang sering muncul adalah:

* Pekerjaan yang ditawarkan tidak relevan.
Banyak perusahaan yang hanya membuka lowongan untuk posisi entry-level atau pekerjaan dengan keahlian tertentu, seperti sales atau marketing, yang tidak sesuai dengan latar belakang banyak pencari kerja.

* Minimnya persiapan dari pencari kerja.
Tidak semua pencari kerja memahami cara mempersiapkan CV yang menarik atau menghadapi wawancara singkat di tempat.

* Kurangnya follow-up.
Setelah melamar, tidak ada kejelasan dari perusahaan, sehingga pencari kerja merasa prosesnya sia-sia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline