Lihat ke Halaman Asli

Dukungan Dari Tribun Virtual

Diperbarui: 17 Oktober 2024   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sudah membulatkan tekad. Meskipun berada ribuan mil dari Jakarta, setiap pertandingan Timnas Indonesia adalah ritual wajib. Kali ini, dari balkon apartemen sempit di sudut kota Manchester, aku menyulap ruanganku menjadi tribun virtual. Di layar laptop, wajah-wajah teman-teman dari berbagai belahan dunia berkumpul di aplikasi Zoom. Masing-masing memakai jersey merah-putih kebanggaan, mata mereka penuh semangat yang sama.

"Lho, lho, lho... kok bisa telat, Din?" tanya Rio dengan logat Jawa kentalnya. Dia meneguk kopi yang kubayangkan sudah dingin---malam hari di Tokyo tentu tak membuatnya hangat lama-lama.

"Sorry, Joe! Biasa, ketinggalan kereta," jawabku sambil mengatur posisi kamera.

Di antara kami, Rani sudah bersiap-siap dengan beberapa catatan. "Gimana? Kalian yakin Coach Shin bakal mainin strategi pressing tinggi kali ini?"

Rani, yang sedang kuliah di Melbourne, sudah terkenal paling kritis soal strategi permainan Timnas. Sudah seperti analis dadakan di grup kami.

"Ah, kamu, Ran," sambar Ali dari Amsterdam sambil tertawa. "Strategi itu urusan Coach. Tugas kita mah cuma teriak aja. Woo... Indonesia!" Ali langsung meninju angin dengan antusiasme yang khas. Kami semua tertawa, suasana virtual ini terasa begitu hangat, seperti sedang berada di stadion Gelora Bung Karno.

Pertandingan belum mulai, tapi diskusi kami sudah berlangsung panas. Sepertinya tak ada yang ingin ketinggalan membahas prediksi dan formasi pemain. Di tribun virtual kami, semua berusaha menjadi pelatih, pemain, sekaligus pengamat. Seolah-olah, meski hanya di layar kecil, jarak antara kami dan lapangan Timnas tak ada lagi.

"Eh, Dindin, menurutmu siapa yang bakal jadi pahlawan kali ini?" tanya Ali, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru diberi mainan baru.

Kujawab dengan senyum lebar, "Aku sih harapannya sama si Bagus. Dia tuh, kalau sudah punya momen emas, bisa langsung nembak tanpa babibu."

"Hahaha... Bagus yang kalau nembak suka nggak mikir dua kali ya?" tawa Rani menyambar. "Tapi iya, sih. Harusnya Coach Shin kasih dia kesempatan buat nunjukin giginya."

Kami saling pandang lewat layar, berbagi kekhawatiran dan harapan yang sama. Setiap kali Timnas berlaga, kami jadi semakin dekat meskipun terpisah jarak. Dukungan dari tribun virtual ini sudah menjadi nafas kehidupan kami di perantauan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline