Lihat ke Halaman Asli

Doom Spending, Kebiasaan Buruk yang Dibentuk oleh Lingkungan atau Masalah Personal?

Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/thekristinlarsen/

Dalam beberapa waktu terakhir, istilah doom spending semakin populer di kalangan masyarakat yang sering terjebak dalam pola belanja berlebihan, terutama ketika sedang stres atau merasa cemas. Fenomena ini ditandai dengan perilaku belanja impulsif sebagai cara untuk mengatasi tekanan hidup, tetapi ironisnya justru menambah beban finansial dan memperparah stres yang dirasakan. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah perilaku ini lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti pengaruh teman atau keluarga, atau justru merupakan masalah pribadi, seperti gangguan impulsif atau manajemen stres yang buruk?

Secara garis besar doom spending dapat diartikan sebagai tindakan belanja berlebihan yang tidak terencana dan biasanya terjadi saat seseorang sedang berada dalam kondisi emosi negatif, seperti stres, kecemasan, atau kelelahan. 

Dalam banyak kasus, orang yang melakukan doom spending merasa bahwa belanja dapat memberikan kepuasan sementara dan pelarian dari masalah yang mereka hadapi.

Namun, dampak negatif dari perilaku ini lebih besar daripada keuntungan sesaat yang diperoleh. Pengeluaran yang tidak terkontrol dapat menyebabkan masalah finansial yang serius, mulai dari utang kartu kredit yang menumpuk hingga ketidakmampuan untuk menabung atau mengelola uang dengan bijak.

Faktor Lingkungan dalam Doom Spending

Salah satu faktor yang sering dianggap berperan besar dalam kebiasaan doom spending adalah lingkungan. Lingkungan di sini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari pengaruh teman, keluarga, hingga lingkungan sosial dan budaya yang mendorong gaya hidup konsumtif.

1. Pengaruh Teman dan Keluarga
Lingkungan sosial seseorang sering kali memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan belanja. Ketika seseorang dikelilingi oleh teman-teman atau keluarga yang memiliki gaya hidup konsumtif, ada tekanan tersirat untuk ikut serta. 

Sebagai contoh, seseorang yang sering diajak teman-temannya berbelanja atau hangout di tempat-tempat mahal mungkin merasa terdorong untuk membelanjakan uangnya, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Deloitte pada tahun 2021, sebanyak 60% responden menyatakan bahwa pengaruh teman dan keluarga memiliki dampak signifikan terhadap keputusan belanja mereka. Hal ini menegaskan bahwa perilaku belanja seseorang tidak lepas dari dinamika sosial di sekitarnya.

2. Budaya Konsumtif dan Media Sosial
Selain pengaruh langsung dari teman dan keluarga, tekanan dari media sosial juga menjadi faktor penting yang mendorong doom spending. Di era digital saat ini, kita kerap terpapar dengan gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh selebritas atau *influencer* di berbagai platform media sosial. Hal ini menciptakan fenomena *fear of missing out* (FOMO), di mana seseorang merasa perlu mengikuti tren atau gaya hidup tertentu agar tidak ketinggalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline