"Ara, kamu serius mau ambil jurusan itu?" suara Ibu terdengar jelas dari ujung ruang tamu. Ara yang sedang menatap layar laptopnya, diam sejenak, mencoba memahami kembali pertanyaan yang sudah kesekian kali dilontarkan ibunya.
"Iya, Bu. Ara sudah pikirin matang-matang," jawab Ara sambil menutup laptop. Ia tahu, obrolan ini tidak akan berakhir dengan cepat.
Ibu menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan ekspresi antara bingung dan kecewa. "Kenapa nggak ambil manajemen aja? Atau hukum? Itu kan lebih jelas masa depannya."
"Ibu, Ara pengen jadi seniman. Ara suka menggambar, dan Ara bisa hidup dari situ. Zaman sekarang banyak kok, Bu, yang sukses dari seni. Nggak selalu harus kerja kantoran."
Ibu tersenyum kecut. "Ibu tahu kamu suka gambar, Ara. Tapi hobi ya buat hiburan aja, nggak buat masa depan. Kamu nanti butuh kerja yang pasti. Pikirin hidupmu ke depan."
Ara menunduk, tangannya bermain-main dengan ujung baju. Diskusi seperti ini sudah sering terjadi di rumah mereka. Ara selalu merasa apa pun yang ia katakan tidak pernah cukup untuk meyakinkan ibunya. Padahal, ia hanya ingin menjalani hidup yang ia inginkan.
"Ibu, Ara ngerti Ibu cuma khawatir. Tapi Ara juga udah gede, udah bisa milih apa yang terbaik buat diri Ara sendiri," kata Ara, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai kesal.
Ibu menggelengkan kepala. "Bukan masalah gede atau kecil, Ara. Ibu sudah hidup lebih lama dari kamu. Ibu tahu apa yang terbaik."
Ara bangkit dari sofa, matanya memandang lurus ke arah ibunya. "Apa yang Ibu anggap terbaik, belum tentu yang terbaik buat Ara," katanya tegas.
"Ibu nggak mau kamu menyesal nanti," jawab Ibu dengan suara yang lebih lembut, tapi tetap tegas.