Lihat ke Halaman Asli

Mengejar "Status Sosial" di Era Liburan Panjang, Antara Tren dan Kenyataan

Diperbarui: 18 September 2024   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com/users/0532-2008-796631/

Liburan panjang sering kali menjadi momen yang dinanti-nanti oleh banyak orang. Selain sebagai waktu untuk melepas penat dari rutinitas sehari-hari, liburan juga menjadi ajang untuk mengejar pengalaman baru, mengumpulkan cerita, dan tak jarang, membangun atau bahkan meningkatkan *status sosial* melalui berbagai unggahan di media sosial.

Fenomena ini semakin terlihat nyata ketika banyak orang rela menghadapi kemacetan, antrean panjang, hingga padatnya lokasi wisata demi mendapatkan momen yang *Instagrammable*. Foto dengan latar belakang gunung, pantai, atau bangunan ikonik sering kali menjadi "alat" untuk menunjukkan gaya hidup yang dianggap "berkelas" di mata publik. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi di balik tren ini?

Liburan Sebagai Sarana Pencitraan

Dalam dunia modern, media sosial menjadi platform utama di mana banyak orang memperlihatkan versi terbaik dari diri mereka. Tak jarang, liburan ke tempat-tempat populer menjadi kesempatan bagi beberapa orang untuk menampilkan kesan bahwa mereka adalah pribadi yang aktif, berani bereksplorasi, dan tentu saja, punya kemampuan finansial untuk bepergian. Foto-foto di destinasi populer bukan lagi sekadar kenang-kenangan, melainkan "aset" digital yang memperkuat citra diri.

Sebuah studi yang dilakukan oleh *Booking.com* menunjukkan bahwa 25% wisatawan milenial mengakui bahwa mereka memilih destinasi liburan berdasarkan bagaimana tempat tersebut akan terlihat di media sosial. Mereka bahkan rela merogoh kocek lebih dalam atau memilih waktu liburan di saat ramai hanya untuk bisa memamerkan momen yang "keren" kepada teman-teman mereka.

Menahan Macet Demi Foto?

Fenomena ini terlihat sangat jelas saat liburan panjang tiba. Jalanan menuju destinasi populer sering kali dipadati kendaraan, dan waktu tempuh yang seharusnya hanya beberapa jam bisa berlipat ganda. Namun, hal ini tampaknya tidak menyurutkan semangat banyak orang. Bagi mereka, tantangan seperti kemacetan bukanlah masalah besar, karena yang terpenting adalah hasil akhir: foto atau cerita perjalanan yang bisa dipamerkan di media sosial.

Tidak hanya itu, pengalaman yang seharusnya menjadi momen berharga sering kali teralihkan oleh dorongan untuk mengabadikan setiap detik dalam bentuk konten. Alih-alih menikmati pemandangan atau bersantai dengan keluarga, banyak orang justru lebih sibuk memilih filter terbaik atau mengedit caption yang paling menarik perhatian.

Apa yang Dikorbankan?

Dalam perbincangan yang lebih mendalam, liburan yang semula direncanakan untuk bersantai justru berubah menjadi ajang pencitraan yang melelahkan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk melepas stres malah menjadi penuh tekanan karena ekspektasi diri sendiri dan lingkungan sosial. Apalagi, dengan algoritma media sosial yang semakin kompleks, ada dorongan untuk terus "mengunggah" agar tetap relevan di mata pengikut atau lingkaran pertemanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline