Lihat ke Halaman Asli

Siluet Senja

Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pixabay.com/photos/sunset-nature-meadow-field-3416768/

"Kenapa kamu pilih dia?" tanyaku dengan suara bergetar, mataku menatap penuh harap pada sosoknya di depan sana. Malam itu, langit Jakarta memamerkan rona jingga yang memudar, seperti perasaan yang perlahan pudar di antara kami.

Rani, dengan mata yang basah, menarik napas dalam. "Karena dia... dia mengerti aku, Bagas. Bukan hanya apa yang aku suka atau tidak suka, tapi dia memahami siapa aku."

Aku menggigit bibir, berusaha menahan semua kata yang ingin kuucapkan. Di balik siluet gedung-gedung Jakarta, aku melihat bayangan masa lalu kami yang kini terancam hilang. "Apa aku nggak pernah mengerti kamu?"

Matanya berkabut, ia menunduk. "Kamu mengerti aku, tapi kamu tidak mengerti keluargaku. Kamu tidak pernah bisa menerima perbedaan kita."

---

Seminggu sebelumnya, Jakarta menyambut pagi dengan semangat yang cerah, meskipun hati Rani dan aku sedang dibalut awan kelabu. Pagi itu, aku berdiri di depan pintu rumah Rani dengan bunga di tangan. Hari itu, aku berniat untuk melamarnya. Namun, rencana indah itu berubah menjadi tragedi kecil saat ayah Rani membuka pintu dengan raut wajah yang tegas.

"Kamu di sini lagi, Bagas?" katanya dingin.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum. "Saya ingin bicara dengan Bapak dan Ibu."

"Sudah berapa kali saya bilang, Bagas? Kamu bukan orang yang tepat untuk Rani. Kalian berbeda. Bukan hanya agama, tapi juga budaya dan nilai-nilai kita. Kamu tidak akan pernah bisa masuk ke dalam keluarga ini."

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Pak, saya mencintai Rani. Dan saya yakin, cinta bisa mengatasi semua perbedaan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline