Lihat ke Halaman Asli

Hujan di Jalan Braga

Diperbarui: 30 Juli 2024   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pixabay.com/photos/leaf-maple-autumn-foliage-botany-3865014/

---

"Kenapa kamu selalu memilih hujan untuk bertemu denganku?" tanya Alya sambil memandang rintik-rintik yang jatuh di Jalan Braga. Udara Bandung yang dingin seolah ikut meresapi hatinya yang tengah resah.

Raka menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari jawaban di balik kabut tipis yang menyelimuti kota. "Karena hanya di bawah hujan, semua luka dan kenangan bisa tersamarkan, Al," jawabnya dengan nada yang berat. "Kamu ingat, kan? Kita pertama kali bertemu di sini, saat hujan deras mengguyur Bandung."

Alya tersenyum pahit, ingatan tentang pertemuan pertama mereka menyeruak di benaknya. Waktu itu, dia sedang berteduh di bawah kanopi toko buku, basah kuyup karena lupa membawa payung. Raka datang menawarkan payungnya, dan dari situlah semua kisah mereka dimulai.

---

Lima tahun yang lalu, di tempat yang sama, hujan turun lebih deras. Alya, seorang mahasiswa seni rupa yang sedang mengejar mimpinya di Bandung, sibuk menggambar sketsa di buku gambarnya. Hujan tak menghalangi semangatnya, malah menjadi inspirasi. Saat itu, dia bertemu dengan Raka, seorang musisi jalanan yang selalu membawa gitarnya ke mana-mana.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Raka, suaranya tenggelam oleh suara hujan yang menghantam tanah. Alya mengangguk, tanpa melepaskan pandangannya dari sketsa. Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, hingga akhirnya Raka mengeluarkan gitarnya dan mulai memetik senar, mengiringi hujan dengan melodi yang indah.

Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering bertemu di tempat yang sama, di bawah hujan yang sama. Alya selalu terpesona dengan musik Raka, sementara Raka selalu terkesan dengan cara Alya memandang dunia melalui gambarnya. Keduanya menemukan kenyamanan dan inspirasi dalam kebersamaan mereka, seperti dua jiwa yang saling melengkapi.

Namun, tumbuhnya perasaan mereka dibarengi dengan konflik dan keraguan. Keluarga Alya tidak pernah merestui hubungan mereka. Bagi keluarga Alya, Raka hanyalah seorang pengamen yang tak punya masa depan jelas. Sedangkan bagi Alya, Raka adalah segalanya, inspirasinya, sumber kebahagiaannya.

Alya menatap Raka dengan serius dan berkata, "Raka, kita harus bicara." Raka melihat ketegangan di wajah Alya dan bertanya, "Ada apa, Alya? Kamu kelihatan tegang." Alya menghela napas berat sebelum menjawab, "Aku baru saja bertengkar dengan orang tuaku. Mereka tahu tentang kita dan mereka... mereka tidak setuju." Raka menarik napas dalam-dalam, seolah sudah menduga ini akan terjadi. "Aku sudah menduga ini akan terjadi. Apa yang mereka katakan?" tanyanya. Alya menjawab dengan suara bergetar, "Mereka bilang kamu cuma seorang pengamen yang tidak punya masa depan. Mereka ingin aku menjauh darimu, mencari seseorang yang lebih 'layak' untukku." Raka menunduk, merasa berat dengan situasi tersebut, "Aku mengerti, Alya. Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi aku berjanji akan berusaha lebih keras untuk kita."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline