Lihat ke Halaman Asli

Kecrekan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"A ka uku, aku. Em ama u, mau. Ka aka em umu, kamu. Titik."

"Eh titiknya gak usah dibaca. Ayo coba sekarang gak usah dieja."

"Aaaaa..ku maa..uuu kaaammm..uu.."

"Hebatt!"

Naim mengusap rambut adiknya dengan penuh kasih. Terbentuk senyum pada ujung mulutnya ketika kepala adiknya hampir menyentuh koran. Peluh yang menitik di dahi menandakan betapa semangat adiknya agar bisa membaca. Memang, setiap sore Naim melatih adiknya membaca dari potongan-potongan kertas yang ditemui di jalanan. Dia merasa beruntung sempat sekolah kendati hanya sampai kelas lima. Sementara adiknya terpaksa ikut mengamen dengannya karena bapaknya kabur entah ke mana sedangkan penghasilan ibunya sebagai pemulung tidak cukup buat mereka makan dan biaya kontakan.

Sebelum ashar seperti sekarang, biasanya mereka makan di warung nasi samping masjid belakang terminal. Setelahnya duduk di halte atau pinggir trotoar. Terlihat Aris masih semangat mengulang kata-kata tadi dengan nada keras. Telunjuknya terlalu kencang menekan kertas hingga ada beberapa bagian kertas yang hampir robek.

"Mau jadi apa kamu nanti, Ris?"

Aris mengangkat kepalanya. Bola hitam pada kedua mata bocah itu terangkat hampir menyentuh alis. Dahinya mengkerut serupa goresan pasir pantai yang dibentuk oleh hempasan air laut. Sepuluh detik dia begitu sebelum merekah sebuah senyum lebar hingga menyumbul empat gigi atasnya yang tanggal. Hanya menyisakan beberapa tonjolan hitam.

"Dapit Bekam!!"

"Pemain bola?"

Kepala Aris mengangguk sambil menggaruk pinggir koreng di betis kirinya. Lalat-lalat yang tadi nemplok, terbang menunggu sabar berputar di atasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline