Lihat ke Halaman Asli

Safari Bapak

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski bapak sudah meninggal 22 tahun tapi ibu masih menyimpan baju safari bapak dengan sangat baik. Baju safari lengan pendek ditaruh menggantung di dingding kamar, dilapisi plastik bening agar debu tidak masuk. Posisi safari di barat berlawanan dengan kasur ibu, sengaja agar saat terbaring sebelum atau sesudah bangun tidur, ibu bisa memandangi safari sambil mengenang potongan-potongan kejadian yang mereka lalui bersama. Sajadah untuk shalat pun sejajar dengan safari. Sebelum takbir dan sesudah salam, ibu melirik ke atas safari seperti memastikan mendiang suaminya menyaksikan. Sering aku menyaksikan ibu mengangkat kedua tangan dalam waktu yang lama, menengadah safari, berdoa khusyu sambil membiarkan air mata menitik sajadahnya. Apalagi saat hari raya tiba, selesai sholat idul fitri ibu bergegas masuk kamar dengan langkah cepat sampai terdengar kibasan mukenanya. Aku tidak pernah tahu apa yang ibu lakukan dengan safari itu, tapi telingaku selalu mendengar isak tangisnya yang tertahan. Setiap  dua bulan ibu menurunkan safari. Mencuci dengan merendam, tanpa kucek tanpa deterjen. Hanya debu membandel saja, cukup direndam juga hilang, begitu katanya. Setelah itu dia jemur di halaman depan. Matanya tidak pernah lepas dari safari yang dijemur, entah takut jatuh ke tanah apa takut dicuri orang, aku tidak pernah menayakan. Bila azan terdengar, akulah yang disuruh mengawasi safari itu selama ibu sholat zuhur atau ashar. Aku tidak pernah bertemu bapak secara langsung. Beliau wafat saat aku baru dua bulan dalam rahim. Menurut cerita ibu, bapak guru aqidah akhlak di Madrasah Ibtidaiyah satu-satunya di kampung kami. Dia sangat mencintai murid-muridnya yang masih kecil itu, mengajar dengan kasih sayang layaknya seorang bapak kepada anaknya. "Masa kecil," begitu ibu menyampaikan apa yang didengar dari suaminya saat bicara sore hari di depan rumah, "Adalah masa yang paling penting buat perkembangan anak. Mereka seperti kertas putih yang menerima apa saja tulisan yang tergores. Makanya aku berusaha menuliskan catatan-catatan yang bagus untuk bekal mereka nanti." "Sayang sekali kau pada muridmu." "Sangat." Hening sesaat. Ibu mengambil napas panjang seperti mau menghimpun kekuatan. Terlihat ragu mengeluarkan kata-kata. Tapi akhirnya terlontar juga. "Maafkan aku, Pak.." seru ibu pelan. "Maaf? Untuk apa?" "Aku belum bisa memberimu keturunan. Padahal aku tahu kau sangat merindukan tangis bayi di rumah ini." Bapak tertawa kecil , meraih pundak ibu dan merapatkan ke dadanya, "Bukankah sudah berulang kali aku katakan, anak memang penting, tapi bukan berarti suatu keharusan. Lagipula kita baru enam tahun menikah. Sabar. Banyak kok yang sudah menikah delapan tahun baru dianugrahkan anak, seperti si Kadir temanku itu. Mungkin Allah belum mempercayai kita sekarang, dan yang pasti, sedang menguji kesabaran kita." "Aku takut kau kawin lagi.." Bapak tertawa lagi kali ini diakhiri dengan kecupan hangat di kening ibu. "Aku lebih takut kehilanganmu." *** Baju safari bapak itu pemberian dari kepala sekolah. Bapak dinilai berhasil bukan hanya menjadikan nilai akidah akhlak selalu paling bagus diantara mata pelajaran lain, tapi juga karena apa yang dipelajari juga dipraktekan dalam keseharian anak murid. Diantaranya cium tangan guru, ucapan salam saat masuk kelas, dan tidak memakai kata-kata kasar bicara kepada teman. Hal ini juga diamini oleh wali murid yang merasa puas atas tingkah laku anaknya setelah menyekolahkan di madrasah itu. Rasa terima kasih itu diungkapkan dengan beras dua liter atau minyak sekantong plastik. Awalnyta bapak menolak pemberian itu dengan alasan apa yang dilakukan memang kewajiban, tapi wali murid memaksa dan mengakui sakit hati bila ditolak. "Bagus kan safari ini?" tanya bapak setelah pulang dan mengadu pada ibu. "Ya, bagus. Apalagi bila dibandingkan dengan kemejamu yang di kedua ketiaknya sudah dihiasi jahitan tanganku. "Hahaha. Tapi aku tidak mau ah sering-sering pakai safari ini." "Kenapa?" "Aku takut rusak bagian ketiaknya. Jangan sampai ketiak baju ini kau tambal juga. Jelek nanti. Kalau bukan dari pemberian kepala sekolah, mana mampu aku membeli safari sebagus ini?" Gaji sebagai guru sekolah swasta pasti jauh dari cukup. Tapi bapak selalu tidak tega melihat muridnya yang tidak punya uang untuk mengganti kertas ulangan yang difoto copy. Memang tidak seberapa tapi kebanyakan murid di madrasah itu tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Sangat wajar mengingat uang bayaran mayoritas anak  banyak yang nunggak sampai sepuluh bulan. Akhirnya bapak suka rela menyisihkan uang belanja buat ibu untuk ongkos menggandakan kertas ulangan. Setelah ibu tanyamengapa melakukan itu bapak selalu jawab: "Biarlah, andai tidak ada kertas itu, mungkin aku tidak pernah beramal." "Bukankah kita juga kesusahan?" Bapak tersenyum, kemudian meneruskan dengan suara pelan tapi jelas, "Bukankah sudah sering aku ucapkan balasan sedekah untuk orang yang hidupnya kekurangan? Orang kaya sedekah wajar, tapi sedekahnya orang miskin luar biasa. Meski jumlahnya kecil" Ibu diam. Kemudian tersenyum tipis menyembunyikan kebanggaannya punya pendamping hidup seperti bapak. *** Pagi ini hari pertama aku menjadi seorang guru. Mengajar di madrasah ibtidaiyah yang sama tempat dulu bapak mengabdi selama tujuh tahun. Ibu merasa perlu masak  opor ayam, makanan kesukaanku dan--katanya--juga kegemaran bapak. Dengan opor di meja makan suasana pagi ini mirip lebaran hanya tanpa ketupat. "Pakailah safari ini di hari pertama kamu mengajar." Ibu keluar kamar menyerahkan safari yang bungkus plastiknya telah dibuka. Hidungku dapat mencium pewangi yang dia tebarkan. Tidak ada lecak sedikitpun di safari itu, pasti dia menggosoknya semalam. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku tahu betul bagaimana beharganya safari itu buatnya. Dan aku merasa  tidak pantas memakai benda paling sakral buatnya. Tapi dari cara dia menatapku, ada keiklasan yang terpancar dari sorotan matanya. Bisa jadi melihat tingkahku yang ragu-ragu, ibu berhasil membaca pikiranku yang sungkan dengan tawarannya. "Pakailah.  Jangan ragu. Safari ini jadi milikmu sekarang. Bila nanti bagian ketiaknya sobek, bilang saja, biar aku jahitkan. Bapak pasti senang melihatmu memakai safari itu. Pasti." Aku masuk kamar. Mengganti kemeja putihku dengan safari hitam milik bapak. *** Jakarta, 13 Pebruari 2011 sumber gambar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline