Lihat ke Halaman Asli

Penjaja Air Mata

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12959725401123995672

[caption id="attachment_87288" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] "Apa itu di dalam toples, Pak?" "Air mata." "Air mata?" "Yah, air mata!" "Untuk apa?" "Aku jualan air mata." Tanpa beban jawaban itu dia lontarkan. Aku mendekatinya saat dia duduk di depan teras rumah. Tadinya kusangka penjual ikan cupang yang memang sering lewat. Gerobak yang dia bawa begitu mirip dengan toples-toples berjejer sama rata. Tapi setelah aku amati dari balik jendela tidak ada satu pun dari toples yang terisi ikan. Setelah melihat wajahnya yang begitu lelah, kuputuskan keluar, memberinya segelas air putih. "Dari pagi belum ada panglaris," dia mengeluh seperti bicara pada dirinya sendiri setelah meneguk air putih pemberianku. Aku berdiri dan mendekati gerobaknya. "Ini semua air mata?" tanyaku masih ragu pada jawabannya tadi. "Saya penjual air mata! Jadi ya semua ini air mata." "Tapi mengapa dimasukan toples?" "Dari setiap toples berasal dari orang yang berbeda. Harganya pun lain tergantung kualias orang yang menangis." Aku mau tertawa tapi aneka warna air mata membuatku penasaran dan menelan tawa. Di ujung sana, di barisan paling depan, ada toples berisi air merah seperti darah. Kental layaknya sirop pembuka puasa. "Itu air mata apa?" tanyaku menunjuk toples paling depan. "Yang merah darah?" Aku mengangguk cepat. "Itu air mata anak kecil yang kakinya dilindas kereta api oleh ayahnya sendiri." Aku terkesiap melihat mukanya yang tersenyum sambil menjelaskan. Dia menikmati rasa heranku. "Kamu mau beli?" Cepat otot leherku membuat kepala menggeleng. Buat apa beli air mata. Tapi rasa penasaranku menyuruh bertanya lagi bukan tertarik untuk membeli. Ingin tahu saja. "Berapa sih haranya?" "Murah. Air mata rakyat miskin tidak ada yang mahal. Darahnya aja tidak berarti, apalagi air mata. Beli saja, lima ribu buat kamu saya kasih. Ini karena aku diberi air minum, kalau tidak, sepuluhribu tidak aku lepas." Tetap aku menggeleng. "Mungkin yang ini kamu tertarik," dia mengambil toples yang di sampingnya lalu mendekatkan ke arahku. Warnanya merah tapi tidak sepekat yang tadi. Namun hidungku dapat mengendus aroma busuk bau mayat. "Air mata apa itu?" tanyaku dengan satu langkah mundur agar tidak terlalu menyengat. "Ini air mata seorang bapak yang berjalan kaki menggendong mayat anaknya karena tidak ada uang untuk bayar mobil ambulance." Aku menutup hidung dengan memencet pakai dua jari. Bau mayat. Tapi dia tidak meyerah menawarkan. "Ini saja!" tangannya memegang toples air bening dan tidak berbau. Ini yang paling mirip air mata. Belum sempat aku tanya dia sudah jelaskan. "Ini air mata dari suami yang istrinya bunuh diri. Sebelum bunuh diri dia cekik kedua anaknya yang masih balita. Ambil. Ayolah untuk koleksi. Sepuluh ribu saja." Aku jadi tidak enak bila tidak membeli. Tapi aku belum puas. Toples itu masih banyak dan aku jadi tertarik mengetahuinya satu persatu. "Nanti pasti aku beli. Biarlah aku tahu dulu dari mana saja asal air mata ini. Siapa tahu ada yang lebih menarik." Ini yang paling aneh. Toples berisi lumpur. Ada gerakan di tengahnya. Seperti ada udara yang menyembul dari dalam dengan gerakan yang teratur. "Ini air mata juga?" Dia tersenyum. "Mau ya? Tapi tidak dapat sepuluh ribu. Soalnya ini kumpulan air mata dari korban pengungsi yang rumahnya ditelan lumpur. Sampai sekarang orang-orang ini masih menangis. Laris. Teman-temanku yang sama menjual air mata juga selalu stok air mata seperti ini. Banyak yang cari. Minggu lalu saya punya delapan toples. Ini tinggal satu. Ya sudah limapuluh ribu kalau tertarik." Astaga. Tadinya kupikir hanya dia yang berjualan seperti ini. Ternyata punya kawan yang mencari nafkah dari menjual air mata. "Kok bengong? Bingung ya dengan pekerjaanku? Lumayan daripada nganggur. Yang penting halal. Siapa tahu bisa seperti teman saya yang dapat untung besar." "Untung besar?" "Iya dia menjual air mata presiden!" "Hah..!?" "Iya air mata presiden!" "Presiden yang menangis karena melihat penderitaan rakyatnya hidup kesusahan?" tanyaku sambil mendekat ke arahnya. "Bukan. Presiden yang menangis karena gajinya tidak naik-naik padahal sudah bekerja tujuh tahun." Ini semakin menarik. Aku mencubit pipiku takut hanya mimpi. Terasa sakit. Ah ini nyata. "Siapa yang beli?" tanyaku semangat. "Lawan politiknya. Katanya buat dipajang kepada rakyat untuk olok-olok." Entahlah tiba-tiba aku jadi ingin punya air mata wanita yang hatinya bisa tulus mencintai suami. Mencintai apa adanya. Senang maupun susah. Tidak seperti istriku yang akhir-akhir ini selalu menghinaku tidak punya uang. Ya aku memang sudah dua bulan menganggur. Dipecat.  Sejak itu istriku sering pulang malam. Setiap aku tanya kemana dia bilang cari uang. Aku tanya air mata seperti itu padanya. "Ada. Ada. Tapi mahal. Banyak permintaan air mata seperti itu." "Berapa?" "Limaratus ribu." Sial. Mahal benar. Mana ada uang sebanyak itu. Rumah kontrakan saja nunggak tiga bulan. Tapi aku ingin sekali memiliki air mata seperti itu meski masih binggung untuk apa air mata nantinya. "Wah mahal. Tidak ada uang sejumlah itu." Dia mengusap pipinnya. Bola matanya terangkat seperti memikirkan sesuatu. "Kecuali kau bisa memberikan aku air mata penyesalan. Kita barter. Aku ada pesanan dari orang berduit. Dan berani bayar mahal untuk air mata penyesalan." Aku pinjam toples kosong dari penjual itu lalu masuk rumah. "Sebentar tunggu." pintaku. *** Setengah jam aku balik ke penjual air mata. Muka dia ketakutan seperti melihat setan. Bisa kudengar giginya yang gemetar. Dia melihat ke tanganku yang berisi air mata segar. Pisau masih aku pegang di tangan kiri. "Ini air mata istriku. Aku sebenarnya sudah tahu belakangan ini dia selingkuh. Tadi aku siksa dan mengancam membunuh. Dia menangis sejadi-jadinya dan menyesal. Ah kau juga bisa mendengarnya.Iya kan?  Ini air matanya aku kumpulkan. Cepat berikan air mata wanita tulus. Aku mau mengubur mayat istriku di bawah lantai." Kami bertukar air mata... **** Jakarta 25 Januari 2011 cerita kritik sosial lainnya yang mungkin menarik Gedung Tengkorak Perut




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline