Lihat ke Halaman Asli

Antri (50k)

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12941173781881367372

Terik matahari sudah begitu menyengat padahal masih jam delapan pagi lewat delapan menit.  Untunglah ada pohon nangka yang berdiri di depan kantor pos, jadi sinar matahari yang tembus ke dalam ruangan hanya berupa potongan kecil dari daun-daun yang tampak bolong. Meski begitu, petugas kantor pos, pria setengah baya, berkacamata tebal, terlihat panik dengan antrian yang panjang sampai keluar ke halaman parkir. Jarinya cepat menari di keybord sambil matanya mengamati monitor. Dia baru bisa ambil napas panjang saat menyebutkan jumlah rekening listrik atau rekening air PAM. Lalu konsen lagi ke monitor melihat jumlah tagihan dari rekening selanjutnya. Peluh yang keluar dari pori-porinya seperti tak berpintu. Butiran keringat di wajahnya tidak beda dengan tampias hujan yang menempel di jendela. Kipas angin model tiga sayap menggantung dan berputar tepat di atas kepalanya memang masih berfungsi, tapi   baling-balingnya hilang satu, jadi anginnya tidak maksimal. Malah bunyi krik krik krik dari as kipas yang aus lebih dominan dan mencuri perhatian. Biasanya ada dua loket yang melayani. Kali ini yang satunya itu komputernya rusak. Rekan kerjanya, lebih muda sepuluh tahun, berkepala botak, sedang jongkok di bawah meja membongkar cpu komputer. "Jadi belum?" tanya pria berkaca mata tanpa melihat lawan bicara,  jarinya masih menari di atas keybord. "Belum. Susah, Bang. Harddisk-nya harus diganti kayanya. Gak kuat ngangkat lagi." "Coba copot kabel hardisk. Terus tiup lubang kabel yang kecil-kecil itu, kali aja kotor, jadi gak konek.” Baru saja bibir pria botak manyun mau tiup lubang konektor hard disk, tapi pria berkacamata melarangnya. “Eh jangan ditiup, nanti ludah lu nempel, jadi konslet lagi. Makin parah. Di dekat pintu WC, sebelah kiri, ada koas menggantung di paku. Ambil. Pakai itu aja. Hilangkan debu-debu di lubang konektor dengan menggosoknya.” Perintah dituruti dan pria berkacamata kembali sibuk dengan komputernya. Antrian makin mengekor *** Saat sepeda Samtari bersandar di pohon nagka, matanya terbelakak melihat antrian. “Bujug, ampe magrib baru kelar ini mah,” bisik Samtari dalam hati. Ada niat untuk menunda bayar listrik, tapi tadi pagi sudah datang peringatan dari orang PLN bahwa listrik rumahnya harus dibayarkan karena sudah telat sebuan. Bila hari ini tidak masuk laporan pembayaran dari id listrik rumahnya, petugas itu akan menyegel meteran besok. Mau tidak mau Samtari harus sabar antri. Menunggu antrian sepanjang sembilan meter. Dia tidak langsung berdiri di antrian paling belakang. Badannya dia sandarkan di pohon nangka dan merogoh kantong celana. Mengeluarkan bungkus rokok mild yang tinggal satu batang. Menjepit rokok dengan kedua ujung bibir. Meremas bungkus kosong, melemparnya ke comberan. Lalu ambil korek dari saku baju. Hisapan pertama begitu dalam sampai matanya terpejam, dia buang asap pelan-pelan membentuk bulatan. Lingkaran-lingkaran asap itu pecah saat terbentur daun pohon nangka. Samtari mengamati wajah-wajah para pengantri tidak ada yang ceria. Dan itu membuatnya tersenyum. Terutama seorang ibu yang membawa anak lelaki sekitar umur lima tahun yang terus-terusan menagis. Tangannya menunjuk tukang teh poci yang mangkal tidak jauh dari parkiran. Samtari hampir terbahak mengamati air mata dan ingus bocah itu jadi satu. Kaki mungil itu menendang batu bata hingga sandalnya terlepas. Seperti menari kakinya menendang –nendang tanah sampai debu berterbangan. Si Emak membuang muka seolah itu bukan anaknya. Bocah itu kini menarik-narik ujung baju ibunya. Tidak digubris. Malah dengan sentakkan keras tangan anak itu disingirkan. Dan ini membuat tangisannya makin keras. “Pelit, dasar Emak pelit,” hampir semua antrian mendengar teriakan anak itu yang kini tiduran di tanah sambil badannya berguling-guling. Pemandangan ini sedikit memberi hiburan buat para pengantri. Ada yang tersenyum tipis, ada juga yang menahan tawa sampai terbatuk. Mata-mata pengantri yang di depan sana semua tertarik ke belakang, penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Kesabaran si ibu tampaknya habis saat anaknya mengulangi lagi kata-kata ‘Emak pelit, Emak pelit’ sambil meludahi kakinya. “Dasar anak setan!” makinya tanpa sadar bahwa yang dia sebut setan itu lahir dari rahimnya sendiri. “Bukannya gua pelit, Pul,” bentak ibunya lagi. Sengaja suaraya dibuat keras biar orang-orang mendengar. “Duit mah ada, banyak, tapi sabar ya, entar kalo Emak beliin itu teh poci, tempat antri ini diambil orang lain.” “Belikan saja, Bu,” ujar pengantri yang ada di belakangnya, “saya tidak bakal ambil posisi ibu. Kasian anak ibu ingin beli minuman.” Saat ibu itu manarik tangan anaknya yang tiduran di tanah, Samtari membuang rokoknya yang telah jadi puntung. Dia hendak berdiri di barisan saat matanya melihat seorang nenek yang berjalan gontai membawa satu lembar rekening di tangan kanannya. Samtari mengalah dan membiarkan nenek itu menagambil posisinya. Samtari berdiri tepat di belakang nenek itu. *** “Bisa gak?” Tanya pria berkacamata tentang komputer yang tadi dibersihkan lubang konektor hard disk-nya. “Gak bisa!” “Waduh, kerja rodi ini hari,” keluhnya sambil melap keringatnya dengan sapu tangan yang sudah sangat basah. “Lagian sudah tahun 2011 komputer masih Pentium tiga. Ngegang jalannya kaya siput. Padahal tiap hari dipakai dan butuh kecepatan maksimal. Cape deh.” Giliran pria botak yang mengeluh. DisandarkTapin badannya ke tembok sambil meluruska kakinya yang sejak tadi jongkok. Samtari sedikit demi sedikit maju ke depan. Dia salut juga dengan nenek yang di depannya masih kuat antri tanpa ada rasa mengeluh. Tapi ada rasa kasihan di hatinya. Matanya mengamati kebaya lusuh bermotif bunga yang dipakai nenek itu robek sedikit di bagian belakang, hingga bahan kebaya yang menjuntai itu bergerak-gerak ditiup angin. Sandal yang pakai nenek itu warnanya lain sebelah, namun sama butut dan hampir terlepas talinya. Pundak nenek itu dicolek Samtari. Yang dicolek pun menoleh. “Biar saya yang pegang rekening itu. Nenek duduk aja di kursi tunggu.” Nenek itu tidak langsung menjawab. Dia awasi orang  yang mau membantunya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin dia takut Samtari adalah orang yang pura-pura membantu tapi mau merampas uangnya. Samtari menangkap itu dan langsung berkata biar rekeningnya dia dulu yang bayarkan, baru nanti diganti bila sudah terbayar. Dan senyum ikhlas Samtari membuat nenek itu percaya. “Terima kasih, Nak. Aku tunggu dibangku itu ya?” *** “Cape gua, gantian dong.”  Pinta pria berkacamata sambil mendorong keyboard, lalu berdiri tiba-tiba dan meremas rambutnya yang sudah mulai beruban. “Puyeng.” Kedua telunjuknya masuk ke bawah kacamata dan mengucek-ucek matanya. “Stress gua kalo begini tiap hari.” Pengantri paling depan, pemuda cepak umur duapuluh lima, berbadan kekar sepertinya aparat keamanan, kesal dengan tingkah laku pria berkacamata. Dia merasa menunggu dengan sangat lama. Ditambah pria berkepala botak tidak langsung duduk di bangku kosong itu. Malah ke belakang ambil gelas dan menuangkan air putih dari dispenser. Meja dipukul dengan kencang. Pria berkepala botak kaget sampai-sampai air yang baru setengah terisi itu terlempar dan membasahi lantai. “Goblok! Lama kerjaan lu. Gua mau tugas nih!. Cepetan” Merasa terhina dan usinya juga masih muda, pria berkepala botak mendekati loket dengan muka merah. Tapi dia masih bisa mengontrol emosinya setelah melihat isyarat dari pria berkacamata untuk sabar. “Pak, ini bukan kemauan saya. Komputer yang satu mati. Jadi mau gak mau, ya harus antri. Sabar.” “Udah, udah jangan banyak omong. Sompet! Cepet lihat tagihan ini berapa duit? Pepesan kosong berantem sama cecunguk kaya lu.” Setelah pria berbadan kekar meninggalkan loket, jarak Samtari dan petugas itu tinggal tiga orang. Dia lihat ke belakang, si nenek asyik tertidur kepalanya bersandar di tembok. Dadanya kembang kempis. Mulutnya terbuka. Bila ada lalat yang terbang di depannya, pasti terhisap ke dalam mulut itu. Sambil membunuh waktu Samtari mengambil ponsel nokia 3310. Dia masuk menu game dan bermain ular yang memakan titik-titik. Setiap ular itu memakan titik keluar bunyi dan getar. Pegal kakinya mendadak hilang dengan permainan itu. Saat naik level dia teriak sendiri, “yes.” Sampai di depan, Samtari lebih dulu menyerahkan rekening milik si nenek. Pria berkepala botak mencatat id pelanggan sambil mengernyitkan alis ke monitor. Sepertinya dia ragu, lalu mengetik ulang. Setelah yakin dia angkat mukanya dan menatap Samtari. “Bawa uang banyak?” “Ya.” Jawab Samtari tanpa tahu maksud dari pertanyaan itu. “Nih. Semuanya enamratus limapuluh ribu rupiah.” “Hah! Berapa? Diulangi angka itu oleh pria berkepala botak dengan nada membentak. “Waduh, sebentar.” Samtari berlari ke belakang menuju nenek yang masih asyik tertidur. Setelah dia bangunkan si nenek melap cairan yang mengalir dari mulutnya. “Sudah?” nenek itu bertanya lebih dulu. “Belum. Biasanya bayar berapa tiap bulannya, Nek?” “Limapuluh ribu. Nih uangnya.” Samtari berlari lagi ke loket disaksikan wajah-wajah kesal para pengantri. “Pak bisa dibatalin gak?” tanyanya pada petugas berkepala botak. “Ya enggak bisa lah. Itu udah dicetak. Tadi kan saya tanya dulu, bawa uang banyak gak? Terus kamu bilang iya.” “Bener sih, tapi ini bukan rekening saya, punya nenek itu. Biasanya dia bayar limapuluh ribu.” “Bukan urusan saya. Kalau anda tidak bayar, gaji saya yang dipotong. Enak aja! Mana duitnya cepat. Masih banyak yang mau bayar dibelakang tuh.” Suara makian dari belakang mulai terdengar. Tapi Samtari masih berusaha minta dispensasi. “Pak ini pasti petugas PLN yang salah hitung meteran. Lihat tuh di rekening bulan kemarin cuma segini, masa bulan sekarang pemakaiannya sepuluh kali lipat.” “ITU BUKAN URUSAN SAYA! Kalau mau komplain ke PLN sana. Disini cuma loket pembayaran. Dan bila anda tidak membayar berarti uang yang kurang untuk setoran ke PLN tanggung jawab saya.” Suara-suara makian minta cepat makin keras terdengar. Nama binatang dan benda-benda yang menempel di selangkangan juga terdengar. Samtari panik dan akhirnya merelakan isi dompetnya. “Ya sudah. Ini sekarang rekening listrik saya. Kena berapa?” Baru saja tangan pria berkepala botak mengetik, layar monitor berubah menjadi hitam. Kipas angin di atas kepalanya juga perlahan berhenti berputar. Lampu neon di toilet yang terlihat dari tempat dia berdiri, juga mati. “Yah Mati lampu, Pak. Biasanya sampai sore baru hidup. Besok saja balik lagi ya.” Tiba-tiba Samtari ingin sekali bertemu dengan maling yang tertangkap. Biar dia luapkan emosi yang sedang menyelimuti dadanya. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline