Lihat ke Halaman Asli

Ngidam

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yang lain saja ya?" "Tidak mau.." "Bagaimana cara pintanya?" "Itu urusanmu. Pokoknya aku mau pegang kepala botak itu." Istri Samtari hamil dua bulan. Kehadiran anak yang telah lama dia tunggu akhirnya bakal terwujud.  Dia senang? Tentu saja. Tapi permintaan ngidam istrinya itu yang kadang merepotkan. Dan baru saja dia minta ingin usap-usap kepala botak Pak Naim, tetangganya yang terkenal sangat tidak ramah. "Makanan saja ya? Terserah deh. Mangga muda? Pisang raja? Kripik padang?" Samtari membujuk dengan jenis makanan yang sebelumnya dipinta istrinya. "Ogah.. Pokoknya aku mau usap-usap kepala Pak Naim. Secepatnya.." "Kamu tahu kan sayang, Pak Naim orangnya bagaimana?" "Memangnya kamu tidak tahu, bila keinginan ini tidak bisa dicegah. Ini bukan kemauan aku, Bang! Calon anakmu! Kamu tidak sayang ya pada calon bayi ini?" tatapannya tajam ke arah Samtari sambil mengusap-usap perutnya yang sudah mulai maju. Samtari diam saja dengan sikap pasrah seolah minta dispensasi. Sesaat kemudian istrinya lari ke kamar mandi. Seperti biasa. Muntah. Suara itu terdengar keras sekali. Samtari seakan bisa merasakan lambung istrinya seperti mau keluar dari tempatnya melalui tenggorokan. Setiap akhir dari suara muntah itu tidak beda dari rintihan kambing yang disembelih saat idul kurban. Setiap istrinya muntah, Samtari jadi sadar, ternyata anggapan dia selama ini salah. Sebelumnya dia berfikir tugas seorang istri sangatlah mudah. Hanya mengurus rumah dan makan. Dia yang cari uang. Tapi pengalaman ngidam ini menyadarkannya betapa tersiksanya seorang istri saat perubahan fisik kehamilan pada bulan-bulan pertama. Istrinya keluar dari kamar mandi tanpa sadar masih ada liurnya yang menempel di ujung bibir. Selain cantik, kulit istri Samtari putih. Dan muntah itu merubah wajahny jadi pucat. Juga terlihat bintik-bintik merah di sekitar pipi dan kening. Napasnya seperti pemain bola yang baru keluar lapangan. Samtari ambil sapu tangan dari kantong belakang celanya, melap liur itu. "Masih kau tidak mau turuti ngidam ini?" Samtari menjawabnya dengan senyuman dan ciuman di kening. Semalaman Samtari gak bisa tidur. Memikirkan bagaimana caranya agar Pak Naim bersedia kepalanya yang klimis mau diusap-usap. Dia masih ingat peristiwa tiga hari lalu, saat Pak Naim berani melawan Pak RT dan Pak Ustadz yang menegurnya karena kebiasaannya mendengarkan radio dengan suara keras pada waktu magrib. Dua orang terpandang di kampung saja berani dilawan, apalagi aku yang notabene cuma tetangga biasa, batin Samtari. Minggu lalu,diajuga  menyaksikan bagaimana tukang sayur ditempeleng karena tidak sengaja gerobaknya menabrak pagar rumahnya yang baru dicat. "Kapan bisa aku pegang kepala itu?" tanya istrinya pagi-pagi. "Sabar sayang. Aku harus ambil hatinya dulu, baru berani bilang permintaan itu. ** Samtari melangah ke rumah Pak Naim dengan rasa pede yang dipaksakan. Dia membawa papan catur karena Pak Naim suka permainan itu. Rencananya mau berpura-pura minta diajarkan bermain catur yang baik dan benar. Jagan tanya rasa takut yang dialami Samtari. Dia lebih senang bertemu setan dibandingkan manusia yang galak seperti Pak Naim. Kata-kata pembuka sebagai basa-basi masih belum terpikirkan. Dia hanya modal nekat dan rasa sayang kepada istri dan calon bayinya. Pak Naim sendiri yang membuka pintu setelah dia mengucapkan salam. Tiba-tiba Samtari merasa mulas saat Pak Naim tidak menjawab salamnya tapi malah menusuk dengan pandangan tajam. Pakaiannya seolah dilucuti satu persatu hingga dia telanjang. Campur antara takut dan malu. Dia tidak hanya bingung mau bicara apa, tapi mulut dan giginya seolah dilem, tak bisa bergerak. Pak Naim sengaja menunggu ucapan dari si tamu  yang mukanya kini pucat. Keheningan yang menyakitkan ini berlangsung lebih dari 30 detik. "Sa.. saya tetangga Bapak yang di ujung sa..sana..." "Mmmh..?" ucapan itu dibarengi oleh kelopak mata yang diangkat. Masih tanpa senyum. Samtari tiba-tiba terbayang penderitaan istrinya selalu semangat melawan rasa nafsu makan yang menurun drastis. Minum susu hamil selalu berujung muntah tetap dilakukan biar janin sehat. Meninggalkan makanan pinggir jalan padahal sebelumnya pecinta bakso dan gorengan. Juga terbayang bayinya yang lucu. Tangan mungil bayi itu memukul pipinya, kemudian dia berlagak kesakitan, dan bayinya tertawa. Bayangan  itu menjadikannya seperti popaye yang makan bayam. "Begini, Pak. Saya ingin sekali bisa main catur. Dan hampir seluruh warga kampung yang saya tanyakan bilang bahwa Bapak adalah yang paling jago. Makanya bila tidak mengganggu waktu, saya ingin berguru." Jelas terlihat perubahan air muka dari Pak Naim. Pandangannya yang menusuk perlahan membentuk senyum di bibirnya. Apalagi setelah melihat tangan Samtari menenteng papan catur, dia mangugt-manggut pelan sambil tangannya mengusap kepalanya yang botak. "Sebenarnya," lanjut Samtari lebay, "saya bisa merasakan kehebatan strategi dari sikap tegas Bapak terhadap segala persoalan. Seperti tukang sayur yang menabrak pagar Bapak tempo hari itu, dia memang harus ditempeleng karena tidak hati-hati membawa gerobaknya. Kalau tidak, pasti banyak pagar-pagar lain yang dia tabrak. Semacam pelajaran beharga. Harusnya dia yang berterimakasih atas kursus kepribadian yang Bapak berikan." Tampaknya berhasil Samtari mengambil hati Pak Naim. Kalau di sirkus, Pak Naim singa dan Samtari pawangnya. "Bagaimana, boleh gak saya belajar catur dari Bapak?" "Oh boleh... Tentu. Dengan senang hati. Ayo masuk-masuk. Waduh saya jadi lupa berdiri saja. Silahkan duduk." Sekitar satu jam Samtari diberi petunjuk bagaimana cara menyerang dan bertahan dalam permainan catur. Dari setiap arahan yang diberikan, Samtari memasang muka serius dan manggut-manggut seolah mahasiswa yang sedang dikuliahi profesor. Dia berlagak sama sekali awam. Bahkan pura-pura tidak tahu bagaimana cara jalan benteng, kuda, pion, mentri dan cara blokir. Tentu saja ini malah menambah Pak Naim semangat dan merasa ilmunya sangat bermanfaat buat orang lain. Kopi sudah dua kali seduh. Kacang habis dua bungkus. Dan Samtari menyudahi dengan alasan tidak enak terlalu menyita waktu Pak Naim. Papan catur sudah dilipat. Mereka kini istirahat sambil menikmati tegukan kopi terakhir. "Pak," nada suara Samtari seperti ditahan, "sebenarnya saya tdak enak ini mengatakannya." Pak Naim yang sudah merasa akrab dengan muridnya itu, bak melihat anak sendiri yang mau curhat. "Bicara saja. Ada apa?" "Begini, Pak... Aduh saya benar-benar gak enak." Samtari menggaruk kepalanya padahal tidak gatal. "Halah kamu ini. Kalau tidak mau bicara, jangan lagi kau datang kesini. Aku pecat jadi murid." "Waduh jangan, Pak. " "Ya sudah.. " Samtari ambil napas panjang lalu berkata: "Bapak kenal kan istri saya?" "Yang guru TK itu?" "Benar. Rambutnya panjang dan ada tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri." "Ya ya.. Aku tahu. Kulitnya pitih. Cantik itu. Bisa saja kau mencari jodoh sebagus itu. Hahaha.." "Iya, Pak. Dia hamil sekarang. Dua bulan. Dan kemarin dia merengek kepada saya ngidam mau elus-elus kepala Bapak." "Whahahaha...." catur yang ada di meja sampai jatuh berantakan karena reflek kaki Pak Naim menendang kaki meja. Samtari senang dengan pemandangan ini. "Boleh.. Hahaha... Untung istrimu cantik. Kalau jelek tidak sudi kepalaku dielus-elus. Hahaha.." "Bener, Pak?" "Apa aku terlihat bercanda? Hahaha.." Samtari pamit. Papan catur ditinggal. Setengah berlari dia pulang ke rumah. Istrinya yang sedang nonton TV dia tarik tangannya. "Ayo.." "Kemana?" "Ke rumah Pak Naim. Kamu tahu gak? Aku berhasil membujuk dia biar mau kau pegang kepalanya. Hahaha. Hebat kan aku?" Perut istrinya dia pegang, "anakku baru di rahim saja sudah nyusain. Untung Bapakmu hebat." Istri Samtari melepas genggaman. "Lho kok? Ayo cepat mumpung dia mau. Dia sedang menunggu di rumahnya." "Ogah ah. Aku sudah tidak kepengen. Aku barusan lihat berita ada Andi Malarangeng, mentri olahraga dan pemuda itu. Ihhhh.. Aku mau pegang kumisnya. Gemes banget kayanya. Tolong dong. Ini anakmu lho yang minta. Bukan aku. Cepat cari tahu dimana rumah Andi Malarangeng? " *** buat wanita yang selalu membuatkan bakwan di sore hari. gambar pnjam di gugel




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline