Lihat ke Halaman Asli

Federasi (Memang) Harus Punya Uang

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Komentar Kalimentaya di Artikel Aldio Alfrendo tentang Persebaya bagi2 hadiah, berbunyi kurang lebih : 'enak ya kalo federasi punya uang...' mengusik saya. Sejujurnya saya sangat setuju dengan komentar itu, bahwa Federasi (PSSI) mestilah punya uang, tanpa (menghasilkan) uang, federasi tidak punya kekuatan apa-apa dan rawan 'diperkosa' orang-orang kaya.

Saya tidak pernah suka sama calon ketua PSSI yang maju berlatarbelakang 'orang kaya', tokoh politik apalagi tentara. Kita tidak sedang membicarakan organisasi sosial, kita sedang membicarakan sebuah organisasi yang profitable. Menjadi sangat memalukan ketika waktu itu, dengan sumber daya sebesar yang bisa digali pada gelaran liga yang sudah berjalan dan pertandingan sejenis AFF 2010 lalu PSSI harus meminta seseorang untuk membiayai liga maupun timnas.

Sebelum terjadi kisruh (atau yang sering mereka sebut reformasi PSSI), liga sudah mulai menghasilkan uang, meskipun banyak klub yang masih berparadigma tradisional, menyusu di APBD. Televisi yang menayangkan liga pun sudah mulai bisa meraup iklan. E-board di stadion pun sudah mulai berisi iklan. Sepakbola sudah mulai memberi makan dirinya sendiri.

Pasca kisruh (reformasi), saya berharap IPL sebagai liga baru bisa melanjutkan tren liga sebelumnya yang bisa 'dijual', saya berharap tim nasional semakin bisa menarik sponsor dan penonton, baik di stadion maupun di rumah dan di kafe. Sayangnya, justru mereka terkoreksi negatif. ISL, liga sempalan yang berharap bisa melanjutkan tren positif dirinya sendiri-pun tetap terkoreksi negatif. Sponsor utama (Djarum) ogah melanjutkan kerjasama, televisi miskin iklan, e-board stadion berisi pengumuman acara televisi dan iklan politis, serta kaos-kaos klub menjadi polos. Sungguh terlalu.

Federasi memang tidak dipimpin seorang pengusaha pula tidak belajar menjadi pengusaha. Potensi sebesar itu dibiarkan terbengkalai dan malah memilih terkooptasi 'orang kaya'. Kisruh yang terjadi tentu saja karena ketidakmampuan para pemimpin me-manage potensi yang besar itu.

Sekarang, sebuah pertandingan tim nasional bisa menghasilkan uang dalam sebutan miliar rupiah. Liga Indonesia juga sudah mulai lancar membayarkan kewajibannya. Komdis sudah tidak ragu-ragu mengeluarkan denda puluhan juta. Televisi berebut menayangkan sepakbola domestik karena begitu gemuk kue iklannya. Federasi mungkin sudah kembali menemukan tren positifnya. Beberapa klub masih sering bicara gaji terlambat, namun sudah tidak sesering tahun kemarin.

Momentum ini harus tetap dipelihara. Federasi harus banyak bicara tentang bisnis, bagaimana menangguk untung yang besar dari upaya yang benar tentu saja. Prestasi memang tidak bisa dibeli, tapi selalu butuh ung untuk menghasilkan prestasi. Korupsi itu bisa saja terjadi dimanapun tempatnya, baik di energi maupun di epicentrum.

Untuk selanjutnya, saya sebenarnya merindukan orang seperti Dahlan Iskan atau Ignatius Jonan, yang bisa membaca potensi dalam suasana keputusasaan. Bukan seperti yang dikatakan seorang wartawan senior, BS, bahwa PSSI butuh seorang pengusaha flamboyan. Pernyataan yang sangat tidak mengerti dunia sepakbola kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline