Fenomena mendeskriminasi kelompok minoritas sudah tidak lagi asing di setiap negara yang ada di dunia. Minoritas yang selalu terpandang sebagai kelompok berbeda yang tidak bisa menyesuaikan nilai dominan yang masyarakat percayai menjadi dasar awal bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi. Penyesuaian nilai dominan yang ada di masyarakat sangatlah mempengaruhi kepercayaan beberapa kelompok sehingga ketika sudah terbentuk stigma dan opini yang cenderung menggiring opini ke arah negatif, maka masyarakat akan mempercayai opini dominan yang ada di sekitar mereka. Sebagai bukti nyata ketika sulit rasanya untuk tetap bungkam dan tidak bersuara mengenai paradigma dan diskriminasi terhadap teman teman kita yang menjadi minoritas dari masa ke masa. Indonesia yang seharusnya negara yang berdasar pada Pancasila dan NKRI seharusnya peduli dan jauh dari hal tersebut. Stereotip merupakan penilaian terhadap seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dikategorikan. Indonesia memiliki ragam latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda. Hal inilah yang memunculkan stereotip dikalangan masyarakat, khususnya stereotip terhadap masyarakat Indonesia bagian timur.
Stereotipe atau yang merupakan penilaian terhadap seseorang yang hanya berdasarkan "Tameng" pelindung merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Stereotipe timbul dikarenakan adanya kecenderungan stigma yang berlebihan terhadap suatu ras,suku, atau bahkan agama.
Fenomena pelabelan ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, Namun juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) Sebagai contoh, di AS, kelompok ras tertentu sering dihubungkan dengan stereotipe, seperti pintar matematika, atletik dan menari. Stereotipe ini begitu terkenal di AS sehingga rata-rata masyarakat Amerika tidak akan ragu bila diminta untuk mengidentifikasi kelompok ras mana, misalnya, yang memiliki reputasi baik dalam olahraga basket pasti anak anak yang berkulit hitam. Singkatnya, ketika seseorang menciptakan stereotipe, ia hanya mengulangi mitologi budaya yang sudah ada dalam masyarakat.
Di negara maju seperti AS pun juga masih banyak deskriminasi yang terjadi terhadap masyarakat yang berkulit hitam apalagi di negara berkembang seperti indonesia. Di Indonesia sendiri, Perbedaan warna kulit di Indonesia masih menjadi pembeda yang sangat singnifikan,stigma stigma yang dikembangkan di masyarakat terhadap warga Indonesia bagian timur masih terasa kental dan terasa sangat menganggu di kalangan masyarakat kita. Karena perbedaaan tersebut, seolah-olah kaum minoritas adalah dia yang tidak berhak mendapatkan hak yang sama. Kuatnya istilah pribumi dan non-pribumi membuat pondasi "Kita Berbeda" mejadi sangat kuat.
Stigma buruk terhadap suatu kelompok yang tidak hanya berkembang namun sudah menjadi warisan secara turun temurun di tengah masyarakat sangat sulit dihilangkan. Masyarakat lebih memandang sebelah mata mengenai permasalahan tersebut dan menanggapi dengan acuh tak acuh terhadap stigma tersebut. Maka dari itu hal hal turun temurun itu menjadi penyebab mengapa deskriminasi terhadap kaum minoritas selalu ada di negara kita dari tahun ke tahun.
Seperti kasus di beberapa kota besar misalnya, Ketika adanya pembicaraan mengenai "Orang Timur", arah pembicaraannya selalu ke hal hal yang di rasa negatif seperti kekerasan, kerusuhan, mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Memang sudah tidak bisa kita pungkiri lagi stereotip terhadap orang orang timur di negara kita seakan tidak berhenti.
Stereotip bekerja dengan cara sederhana, yaitu menggeneralisasi persoalan dengan cara yang mudah, sehingga pelabelan kerap kali terjadi dengan serampangan. Indonesia Timur kerap kali diberikan labeling negatif dan positif oleh masyarakat tergantung bagaimana cara mereka melihat dan menilai stereotype itu sendiri. Sebagai bukti nyata yang terjadi pada lingkungan di sekitar kita adalah bagi beberapa masyarakat yang memeiliki pandangan bahwa Indonesia Timur tepatnya pulau Papua adalah pulau eksotis yang dihuni oleh orang primitif, kanibal berkoteka, warga pemabuk, suka seks bebas dan daerah tertinggal. Tidak hanya orang Papua, tetapi orang Makassar pun beberapa kali sering diberikan stereotip. Orang Makassar kerap dinilai suka demo, garang, pekerja keras dll. Dengan demikian, peneliti membagi stereotip Indonesia timur kedalam dua jenis, yaitu stereotip positif Indonesia timur dan stereotip negatif Indonesia timur.
Stereotip positif Indonesia timur, Stereotip bekerja tergantung bagaimana suatu kelompok atau individu menilai hal tersebut. Tidak hanya berpandangan negatif, beberapa masyarakat juga memberi labeling positif terhadap Indonesia timur, diantaranya ialah orang Indonesia timur mempunyai jiwa persatuan yang kuat, memiliki rasa setia kawan, tidak pelit alias suka memberi, orangnya lucu -- lucu, pandai bernyanyi, memiliki sifat yang religius, menjunjung tinggi adat--istiadat, mempunyai pesona alam yang indah dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Stereotip negatif yang melekat pada masyarakat Indonesia timur menyebabkan terbawanya arus informasi yang buruk mengenai Indonesia timur terutama pada media massa membuat masyarakat Indonesia kesulitan ingin mengetahui informasi yang lebih dalam tentang Indonesia timur. Sehingga, banyak warga Indonesia memberikan labeling negatif mengenai orang Indonesia bagian timur, adapun diantaranya ialah orang -- orang yang berasal dari Indonesia timur itu memiliki sifat kasar dalam dirinya, suka meminum -- minuman keras, daerah tertinggal, suka berkelahi, lambat berpikir, tidak memiliki selera berbusana yang tinggi, dan sulit diajak berkomunikasi.
Stereotip mengenai kulit hitam dan putih sudah seharusnya mulai dihilangkan karena pada dasarnya tidak semua orang berkulit hitam menyandang dan pantas dilabeli sebagai individu yang mengancam dan tidak semua orang dari timur pantas menyandang stigma negatif pada dirinya. Perbedaan warna kulit bukanlah hal yang harus menjadi tolak ukur kepribadian dan juga sifat seseorang. Masyarakat sebagai pemegang stakeholder yang menempati negeri yang sama harus tetap menjungjung tinggi toleransi akan perbedaan dalam hal apapun. Walaupun perbedaan itu terlihat sangat nyata, masyarakat pun tetap harus menanamkan dalam diri untuk saling menghargai orang lain.
Faktor yang berperan penting dalam fenomena ini adalah media massa dan juga media online, yang dimana masyarakat sudah berkaitan erat dengan dua media tersebut. Berita, Infotainment, Platform yang lebih privacy bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sebuah stigma yang dimunculkan ke publik. Masyarakat pun memiliki peranan untuk meningkatkan minat literasi sebelum mempercayai opini dominan. Melakukan riset mendalam dan juga mempelajari suatu hal secara akurat pun tidak boleh luput dari masyarakat. Dalam kata lain tidak semua hal harus diterima secara mentah tanpa ada filter, sehingga budaya menggiring opini terkait stigma negatif yang terbentuk sejak dahulu bisa dihilangkan. Menghormati dan menghargai perbedaan yang ada di Indonesia sangat penting adanya, seperti dasar negara Indonesia itu sendiri yang menekankan sikap toleransi. Maka, nilai tersebut harus direalisasikan dalam kehidupan nyata.