Lihat ke Halaman Asli

Perlunya Mengeja Wajah–Wajah dalam Pilpres 2014

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hanya dua pasangan capres-cawapres yang maju dalam ajang Pilpres 2014. Ini gila. Bagi sebagian orang, termasuk saya, untuk kemudian bersikap tetap golput oleh sebab berbagai alasan pun akhirnya tidak lagi menjadi pilihan. Harus turut memilih.

Ada banyak pemikiran yang memang kemudian mengantar pada keputusan untuk turut memilih dalam Pilpres kali ini. Sementara, soal pilihan itu sendiri sebenarnya sama sekali tidak sulit. Sedari dulu jika yang ditanyakan adalah preferensi pilihan, dari pemilu ke pemilu saya telah selalu memikirkannya.  Ada banyak parameter-parameter yang memang sudah ter-install dalam pemikiran tentang pemimpin seperti apa yang jika saya memutuskan untuk turut memilih maka kemudian akan memilihnya. Tidak melulu rasional, apalagi sekedar emosional. Membaca sumber-sumber informasi, menanyakan pada orang-orang yang pernah berinteraksi dengan masing-masing calon, memetakan data-data dari pemberitaan lama dan baru, menyimak perbicangan-perbincangan informal baik di socmed maupun di lapangan, menelaah track record, mencoba memetakan kecenderungn masing-masing jika nanti terpilih menjadi pemimpin, mencermati gesture-gesture saat mereka berbicra dalam satu kesempatan dan lainnya, serta mencoba menangkap yang implisit saat mereka berkomunikasi dengan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Dalam hal ini, tentunya saya boleh untuk turut berharap banyak terutama tentang bagiamana  mereka - para calon pemimpin itu – bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan yang lain – baik dengan sesama manusia pun pula dengan nilai-nilai  dan kebudayaan yang selama ini menyatukan kita sebagai sebuah bangsa.

Hal lain yang menjadikan pertimbangan untuk kemudian memutuskan terlibat dalam gawe besar negeri ini adalah perkembangan yang terjadi ketika ruang dan waktu ternyata melukiskan suasana yang (meminjam istilah Sutan Batugana) ngeri-ngeri sedap. Ibarat minuman, ini seperti suguhan berbagai jenis minuman, yang sebagian malah telah dicampur dan menjadi minuman oplosan, yang banyak pula porsinya yang ditaruh di atas nyala bara dan kompor yang disulut serta dikipas-kipas para demagog yang telah menyusup ke mana-mana.  Tidak seperti tequila yang jika dipanaskan hingga suhu tertentu dan dalam kondisi tertentu bisa menjadi berlian, minuman oplosan yang dipanaskan ini uapnya pun justru cepat memedihkan mata dan menggelitiki hidung.  Tak heran jika lantas ada banyak orang yang menjadi mabok dan turut meracau terlalu, memuji yang satu dan menjatuhkan yang lainnya. Bara-bara yang semula hanya berada di tungku utama kemudian kian menyebar dan  menyala kemana-mana yang jika dibiarkan dan malah terus dikipasi siapa yang bisa menjamin akan bisa cepat padamnya?

Pertimbangan lainnya dalam melakukan pilihan adalah dengan melihat siapa-siapa saja yang ada di masing-masing kubu, bagaimana proses bersekutunya, bagaimana harmoninya, hal-hal lain yang mendorongnya misal saja kemungkinan kadar transaksionalnya, dn sebagainya. Di antara mereka yang bergabung atau berkoalisi dengan masing-masing pihk ini tentu saja ada yang berkarakter pejuangnya - entah pejuang pembangunan, ekonomi, ideologi dst,  dan pasti ada pula yang berkarakter pedagang atau pebisnis hingga yang petualang. Mohon agar ini tidak dimakni sebagi upaya melakukn stereotype atas masing-msing dari pengkategorian ini, melainkan dengan pengistilahan ini, berikut tentunya track record dari masing-masing yang bergabung, entah sebagai individu maupun sebagai entitas organisasi, kecenderungan-kecenderungan dan kemungkinan-kemungkinan bisa sedikit banyak dipikirkan.

Jika kemudian bergabungnya mereka-mereka itu dalam satu gerbong dan gerbong lainnya menunjukkan sebuah pola, misal saja mereka-mereka yang kuat diduga koruptor  rame-rame bergabung di satu kubu, atau mereka-mereka yang terkesean penjilat lebih banyak berkumpul di satu kubu tertentu, maka perhatian bisa mulai difokuskan untuk lebih mencermati apa yang mungkin tengah terjadi.  Wajah-wajah mereka yang bergabung dalam masing-masing gerbong berikut kemungkinan alasan bergabungnya ini juga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan pilihan.

Selanjutnya, retorika saja tidak akan pernah mengenyangkan perut, apalagi dahaga pemikiran. Begitu juga dengan meriahnya upaya branding dan derasnya kucuran dana pada tim sukses dan pendukung-pendukungnya, tidak akan mampu menjawab kerinduan hati. Semakin tinggi janji terucap, semakin tinggi resiko tidak terpenuhinya janji-janji itu, dan semakin banyak biaya yang telah dikucurkan untuk memoles diri, semakin bisa dipertanyakan motifnya dalam mengikuti kontestansi pilpres ini. Tentang putusan terhadap kemungkinan pilihan-pilihan ini, barang siapa bersikap sebaliknya dari apa yang dikatakan hati dan akal sehatnya hanya akan menemukan kekecewaan nantinya. Sederhana saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline