Lihat ke Halaman Asli

Semangat Papua Terbuka

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Natal dan tahun baru kali ini menjadi momen yang sangat istimewa bagi masyarakat Papua. Setelah melalui berbagai tahapan, akhirnya Komisi A DPR Provinsi Papua memilih lima anggota Komisi Informasi Provinsi melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), Jumat, 27 Desember lalu. Kelima nama tersebut selanjutnya akan ditetapkan dalam rapat paripurna dalam waktu dekat ini. Sesuai dengan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), selanjutnya kelima nama tersebut akan ditetapkan oleh Gubernur sebagai anggota Komisi Informasi Papua periode 2013-2017.

Kelima nama anggota Komisi Informasi Papua tersebut adalah Nelson Hans Paiki, Andriani Wally, Armin, Petrus Yoram Mambai dan Joel Betuel Agaki Wanda. Selain itu terdapat dua nama cadangan yaitu Woff Justinus dan Slamet Riyadi Hawar.

Pembentukan Komisi Informasi Papua merupakan wujud komitmen pemerintah dalam mendorong keterbukaan informasi sebagaimana dimandatkan oleh UU KIP. Sebelumnya Pemerintah Provinsi Papua juga telah menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melayani informasi kepada masyarakat, sekaligus menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi. Dengan terbitnya peraturan ini, nantinya kran informasi penyelenggaraan Pemerintah Provinsi Papua akan dibuka. Dengan peraturan ini pula, jaminan masyarakat untuk mendapatkan informasi akan semakin pasti. Pemerintah Provinsi Papua juga akan mendorong kepada seluruh pemerintahan kabupaten di sana untuk segera mengeluarkan peraturan serupa, termasuk mendorong para bupati untuk mengangkat PPID.

Kehadiran Komisi Informasi dapat dikatakan melengkapi semangat Papua menuju keterbukaan informasi.  Komisi Informasi nantinya akan berperan menjadi lembaga yang mendorong pemerintah dan badan-badan publik lainnya untuk lebih aktif menyampaikan informasi kepada masyarakat. Lembaga ini juga nantinya akan memutuskan perkara jika ada sengketa antara masyarakat dan badan publik terkait akses informasi publik.

Gambaran tentang semangat Pemerintah Papua untuk mengedepankan transparansi dalam menjalankan birokrasinya saat ini sangat berbeda 180 derajat dibanding tiga tahun lalu, sebagaimana pengalaman saya berikut ini.

***

Kira-kira setahun setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan saya sempat bertandang ke Jayapura, Papua. Di sana saya berdiskusi dengan berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat atau FOKER LSM Papua. Dengan sangat antusias saya menjelaskan kepada mereka tentang keberadaan UU KIP sebagai perangkat hukum yang menjamin masyarakat untuk mendapatkan keterbukaan informasi dari pemerintah. Pengesahan UU KIP merupakan momentum yang tepat bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan transparansi pelaksanaan otonomi khusus. Sebagaimana dipahami bahwa Pemerintah Pusat menerapkan otonomi khusus bagi Papua seiring dengan diberlakukannya UU Nomor 21/2001, dan dalam implementasinya kemudian Papua digelontor dengan dana yang sangat besar.

Namun respons mereka tidak seauntusias penjelasan saya. Mereka pesimistis UU KIP dapat diterapkan di Papua. Meskipun secara konseptual lumayan bagus, namun bagi mereka UU KIP akan menjadi utopia belaka. Mereka menambahkan, karakter Pemerintah Papua agak berbeda dengan karakter birokrasi pada umumnya di Indonesia. Pemerintah Papua masih menganggap masyarakat kritis sebagai ancaman. Dengan demikian mereka berasumsi, ketika nanti masyarakat melakukan permintaan informasi –meskipun telah dijamin UU KIP- justru Pemerintah akan balik melakukan intimidasi karena dianggap melakukan provokasi.

Suasana ‘seram’ tentang birokrasi di Papua semakin tergambar saat salah seorang aktivis menceritakan pengalaman pribadinya. Dia bercerita, beberapa tahun sebelumnya, dia bersama kawan-kawannya pernah mendapatkan dokumen APBD sebuah kabupaten di sana. Bermaksud ingin melakukan pendidikan publik, APBD tersebut kemudian dianalisis dan hasilnya dijadikan bahan talkhsow secara live di RRI setempat. Ternyata diskusi tersebut berhasil membuat merah telinga sang Bupati. Tak ayal, aktivis bersangkutan mendapatkan ancaman serius, dan dalam beberapa waktu sempat mengamankan diri.

Tadinya saya berpikir mereka hanya mengada-ada. Tapi kemudian saya percaya setelah mendengar langsung pernyataan dari seorang pejabat pemerintah yang berhasil saya temui di sana. Ketika saya ajak berbincang tentang keberadaan UU KIP, pejabat bersangkutan menyatakan bahwa masyarakat Papua masih memiliki budaya hukum yang rendah. Terus terang saya tidak paham apa maksudnya. Sebelum saya mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan budaya hukum rendah, sang pejabat menerangkan. Menurutnya, UU KIP tidak bisa begitu saja diberlakukan di Papua. Masyarakat Papua masih belum memaknai hukum dengan benar. Jika kran informasi dibuka, dia khawatir masyarakat akan berbuat semaunya sendiri berdasarkan informasi tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline