Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Pertamaku Mondok di Pesantren

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aku pernah mendengar kisah mengharukan saat seorang gadis belia tidak bisa tidur berhari-hari dan enggan menyentuh sesuap nasi lantaran sedih ditinggal pergi sang belahan hati. Itulah Bella Swan, wanita melankonis dalam sekuel Film Twilligh, New Moon. Atau kisah seekor anak ayam yang kebingungan dan sangat memprihatinkan karena ditinggal induknya mencari makanan. Setidaknya gambaran semacam itulah yang paling pas untuk mengilustrasikan bagaimana suasana hatiku saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah tempat yang kemudian hari aku kenal dengan nama Pondok Pesantren.
Maka tidak heran jika sebagian orang menempelkan kalimat “penjara suci” untuk sebutan lembaga pendidikan yang didesain berkamar-kamar hampir mirip sel tahanan ini. Lebih-lebih bagi santri baru yang sebelumnya belum pernah merasakan tinggal jauh dari orang tua.
Seperti aku 20 tahun yang lalu, saat pertama kali mengenal Pondok Pesantren dan menghabiskan hari-hariku dalam lingkaran baru yang sama sekali asing bagiku.
Deretan asrama yang berjajar-jajar, ubin-ubin kotak berwarna cokelat, tumpukan kitab yang sedikit berserakan, buntalan-buntalan sarung yang berbaur dengan kantong beras dan aroma gosong yang mengepul dari balik kantin belakang asrama, semuanya seperti potongan-potongan schene dalam sinema horor yang menakutkan.
Mungkin tak akan ada yang percaya, jika ketakutanku pada “mondok” ketika itu lebih menggelesihkanku ketimbang saat aku diantar ayah pergi ke dukun calak sebelah kampungku untuk disunat ujung dagingku.
Jika saja aku tidak ingat betapa aku meronta-ronta minta pulang waktu ayah “menilapku” sore itu, mungkin tak akan kucium punggung telapak Kang Jauhari yang saat itu dengan susah payah memegangi tanganku agar tidak “mberot” lari dari pondok sampai kemudian beliu mengajakku jalan-jalan dan menghiburku dengan sabar dan ikhlas.
Siapakah Kang Jauhari? Sabarlah dahulu, nanti kita akan kenal juga meskipun beliau tak mengenal kita. Yang jelas, masa-masa awalku di pondok sedikit aku ceritakan di sini agar kita tahu, setidaknya sebagian kecil alasan kenapa kita harus rela memondokkan anak-anak kita, atau adik-adik kita sebelum mereka mengenal dunia luar yang begitu liar, dan sebelum keasyikan pergaulan anak-anak sekarang lebih menggiurkan di mata mereka daripada bersabar menunggu jamaah di jerambah mushola sambil menghafalkan nadhoman; menunggu mbah yai rawuh ngimami.
Awalnya, aku sendiri merasa "musykil" dengan keputusan ayah mengirimkanku ke pondok pesantren. Di mana ketika banyak dari temanku melanjutkan study ke sekolah-sekolah Negeri yang begengsi, sementara aku harus berpisah dengan mereka dan lebih memilih dunia baru dengan teman-teman baru yang asing bagiku.
Yang aku ingat ketika itu, beliau hanya berkata “Wes tho seng penting manut wong tuo, belajar birrul walidain” spontan aku terdiam dan menurut saja meskipun dalam hati menggerutu “ah, pasti ini cuma alasan ayah saja, biar aku gak bisa bebas main layang-layang sepulang sekolah”.
Dan seperti ku kira sebelumnya, sejak masuk pesantren aku tidak lagi bisa bermain-main sebebas waktu di rumah dulu. Semua aktifitas musti dibatasi dengan jadual-jadual yang telah ditetapkan oleh pengurus. Jika dulu setiap hari aku bisa menghabiskan waktu berjam jam di depan televisi, saat di pondok jangankan nonton Doraemon mendengarkan Radio saja sudah merupakan pelanggaran tak termaafkan. Dan yang paling membuatku tidak kerasaan ketika itu, ialah jika tiba-tiba aku terbangun di tengah malam dan harus terjaga sendiri, rasanya semua memory selama di rumah mendadak berputar kembali. Kehangatan bersama ibu dan keluarga, asiknya bermain bareng teman-teman, sampai kelucuan kucing-kucing di rumahku seperti terlihat jelas sedang direplay dari layar proyektor dan memantul di dinding kamar.
Jika sudah begitu, biasanya tak lama lagi buliran-buliran air mata mengalir menjadi anak sungai dan tanpa sengaja membasahi buntalan sarung yang menjadi bantal tidurku. Dan manakala hampir mendekati “klimaksnya” mau gak mau aku pun berlari ke belakang asrama dan menangis sejadi-jadinya di sana. Begitulah setiap hari sampai akhirnya aku gak pernah lagi melakukannya lantaran suatu saat pernah dipergoki Kang Jauhari dan aku terpaksa berpura-pura sakit perut.
Sejak saat itu, aku menjadi akrab dengan Kang Jauhari. Meski usianya jauh lebih tua dariku, beliau tak segan-segan menemaniku bermain waktu itu. Dan karena beliau sekamar denganku tak jarang kujadikan tempat bertanya sekaligus mendengarkan keluhan-keluhanku, meladeni kenakalanku juga membimbing belajarku.
Kang Jauhari, adalah salah satu kakak pembimbing yang memang ditugaskan oleh pengurus pondok untuk mengawasi sekaligus mengarahkan santri-santri junior di tiap kamar di pondokku. Keberadaan Kang Jauhari sangat berarti bagi santri baru sepertiku. Karena tidak mudah melewati masa-masa adaptasi bagi santri yang belum pernah merasakan hidup di pondok sama sekali.
Satu hal aneh yang pernah saya dengar dari Kang Jauhari adalah pesan beliau “Kalau mau kerasan mondok, harus mau ikut roan (kerja bakti) di jumbleng kulon” Jumbleng kulon adalah sebutan untuk tempak buang air yang dibangun berjajar dan berbilik-bilik yang memanjang kearah barat. Dan benar, sejak saat pertama aku mengikuti nasehat Kang Jauhari, perasaanku menjadi sedikit nyaman dan lambat laun aku bisa melupakan ketergantunganku dengan rumah.
Sampai saat ini aku masih belum bisa menemukan rahasia di balik penuturan Kang jauhari tersebut. Apakah dengan melakukan “ritual” itu aku bisa menyatu luar dalam dengan dunia pesantren. Atau di tempat itulah sejatinya kebimbanganku hilang terbuang bersamaan dengan qodoil hajatku. Entahlah, yang jelas petuah ini sering kali aku praktekkan untuk menasihati santri baru yang kesulitan beradaptasi dan belum kerasan di pondok. Dan hasilnya, Alhamdulillah berhasil.
Sekarang, setelah bertahun-tahun di pondok, dan telah beberapa kali pindah untuk tabrrukan dari pondok ke pondok. Saya merasakan bahwa di pondok pesantrenlah pembinaan karakter benar-benar ditempa secara nyata. Pembiasaan hidup nriman, melatih diri menahan godaan nafsu dan emosi, dan membentuk kepribadian yang istiqomah hampir setiap hari ditekankan, bahkan sejak pertama kali para santri menginjakkan kaki di penjara suci ini.
Maka, betapa agung teladan Kiai-kiai sepuh terdahulu. Saat pertama kali seorang santri meminta izin kepada sang kiai untuk menjadi muridnya, bukan pengajian kitab yang mula-mula beliau berikan, tapi perintah untuk membersihkan gotakan, menimba air di kolam wudlu, atau menyalakan lampu setiap petang. Pelajaran yang bisa dipetik adalah, ketika kita telah menyiapkan diri untuk menerima ilmu dari guru, hal pertama yang musti benar-benar dipertimbangkan adalah kesiapan komponen tiga H; Heart, Head dan Hand. Yakni kesiapan Hati untuk ikhlas menerima ilmu yang disampaikan, tanpa pamrih. Kesiapan Kepala (otak) untuk berfikir dan mengkaji ilmu tersebut. Dan kesiapan tangan untuk selalu mengamalkan ilmu yang didapat.
Kira-kira seperti itulah korelasi pesan Kang Jauhari yang sampai saat ini masih saja saya ingat. Pesan yang mengantarkanku untuk kuat bertahan menghadapi hari-hari sulit saat pertama kali mondok. Dan mungkin pesan yang relevan untuk disampaikan kepada adik-adik kita yang saat ini barangkali sudah mulai asing dengan dunia pesantren. Atau kepada orang tua yang tidak tega melepaskaskan anaknya untuk mondok di usia dini.
Karena saat ini, Kebanyakan orang tua -kalaupun punya niatan untuk memondokkan anaknya- pasti menunggu setelah anaknya menyeleseaikan sekolah tingkat pertama atau bahkan SMA. Padahal bisa dibilang sangat jarang anak-anak yang mau memilih mondok setelah lulus SMP atau SMA. Maka disini saya baru bisa menangkap alasan kenapa ayah buru-buru memondokkanku sesaat setelah lulus sekolah dasar.
Aku sendiri sempat berpikir, bagaimana jadinya kalau dulu aku tidak langsung mondok setelah lulus sekolah dasar. Bisa jadi, aku gak bakalan mau dan memberontak karena sudah kadung nyaman menikmati asyiknya pergaulan remaja dengan segala kenakalannya seperti sekarang ini.
Dari sini, aku bisa merasakan masa-masa pahit harus berpisah dari orang tua di usia yang masih belia. Sehingga saat giliran adik-adikku harus mengikuti jejak kakaknya masuk ke pondok pesantren aku bisa menularkan pengalamanku, dan menyampaikan pesan kepada mereka untuk mencari teman yang baik, setidaknya seperti Kang Jauhari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline