Lihat ke Halaman Asli

Setia Tak Berujung

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ …..... bersabarlah sayang, Aku pasti kembali. Aku janji, bulan purnama Agustus akan datang “ SALMA masih penasaran dan kembali membaca surat yang dikirim kekasihnya dari Arab Saudi. ” …. bersabarlah sayang, aku pasti kembali. Aku janji, bulan purnama Agustus akan datang,”.” Akhirnya kekasihku Rahman pulang juga” desis Salma usai menyelipkan surat dari Rahman di bawah kasur tempat tidurnya. Salma masih teringat ketika Rahman berpamitan hendak merantau ke Arab Saudi. Saat itu lima tahun lalu juga bulan purnama. Rahman berujar kepada Salma, hendak menjadi TKI di Arab Saudi. Menjadi TKI dianggap Rahman sebagai salah satu jalan menghasilkan uang. “ Biarmi saya jadi TKI di Arab Saudi, mungkin sepulang dari sana nanti, saya sudah bisa melamarmu Salma,” kata Rahman saat itu. Salma bercucuran air mata bila mengingat peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam. Didalam kamarnya, Salma tidak bisa tenang usai membaca surat dari kekasihnya. Penasaran, diambilnya kembali sepucuk surat yang sudah di selipkan dibawah kasur merah jambu miliknya. Perlahan surat itu dibacanya kembali. Sesekali dibayangkannya wajah kekasihnya. Sambil menatap langit-langit kamarnya, Salma mencoba mengarahkan alur pikirannya ke bentuk muka Rahman, model hidungnya, dagunya, alisnya. Tapi tak satupun yang diingatnya pasti. Yang pasti hanyalah, Rahman masih kekasihnya. Salma tak pernah membayangkan kalau Rahman akan kembali. Sebagai seorang gadis desa, dia sudah tahu pasti yang namanya menunggu dan menantikan kekasih yang pergi merantau. Didesanya, bukan hanya Salma seorang yang selalu mengharapkan bulan purnama terjadi setiap hari. Banyak gadis didesanya bahkan rela menanti bertahun-tahun lebih lama darinya. Salma wanita tegar seperti tegarnya karang saat dihempas ombak. Bersedih ditinggal orang yang dicintai, hal yang pasti baginya. Namun, dia yakin bersedih tiada guna. Dia yakin Rahman akan datang dan berlari kemudian memeluknya. Pelukan kerinduan. Di kasur empuknya, dia kemudian merebahkan diri sambil mendekap surat milik kekasihnya. “Rahman akan kembali.” Salma membuka surat itu sekali lagi.Seolah kurang percaya. “Mana mungkin Rahman akan kembali, Salma. Coba pikir, kamu itu sudah dewasa. Sudah dua puluh tiga tahun. Indo'mu ini khawatir, jangan sampai tetangga-tetangga kita mengira kamu seorang gadis tua tak laku. Hanya karena menunggu Rahman seorang,”. Kata Indo'nya Salma beberapa bulan lalu. Kalimat Indo'nya ini selalu hadir dan berputar-putar di otaknya. Seakan akan selalu memaksanya untuk melupakan Rahman dan menerima pinangan pria lain. “Siapa yang bisa menjamin anakku, kalau pujaan hatimu itu juga selalu merindukanmu. Sekarang dengan lima tahun lalu sudah berbeda. Saat ini mungkin Rahman sudah bergelimang harta. Bahkan mungkin sudah menikah dengan gadis Arab,” Kata Indo'nya lagi. Salma dengan setia mendengar. Hal itu dianggapnya sekedar nasehat dari orang tuanya. Salma mantap tetap setia menunggu. Dia yakin kesetiaannya saat ini tengah diuji. Indo'nya Salma sudah uzur. Mungkin apa yang dikatakannya adalah sebuah harapan untuk bisa menimang cucu, di sisa umurnya. Ia kerap menatap dalam-dalam wajah anaknya. Salma hanya menunduk dan memandang lantai. Dilantai, Salma seolah-olah melihat bayangan Rahman. “Saya tahu hubungan kalian. Tidak pernah terbersit sedikitpun dihati Indo' untuk menghalangi hubungan cinta kalian. Indo' pun tahu arti dari sebuah kesetiaan. Hanya Indo' ingin, kamu pikirkan juga masa depanmu sebagai seorang perempuan. Kita kaum perempuan akan dianggap memiliki masa depan, bila menikah, mengandung, mengasuh dan membesarkan anak-anak kita,”. Dengan mimik serius, orang tua itu melanjutkan. “ Saya dan ambe'mu sudah tua nak. Mungkin tidak lama lagi akan menghadap Ilahi. Sebelum kembali ke tempat yang asli, kami ingin melihatmu bahagia. Segeralah menikah anakku,”. Mendengar ungkapan hati Indo'nya, Salma terenyuh. Setetes demi setetes air matanya meluncur. “ Saya akan membahagiakan Indo' dan Ambe, dengan duduk bersanding dipelaminan bersama kekasihku, Rahman,” kata Salma mantap. Orang tua itu hanya pasrah dan berharap, Rahman segera pulang dan melamar anaknya. Salma kemudian pamit dan berlalu. Dia hendak membuang rasa sepinya di taman favoritnya bersama Rahman lima tahun lalu. Taman purbakala Batu Pake Gojeng. “Semoga setiamu punya arti dan makna anakku. Sebenarnya saya berniat menjodohkanmu dengan seorang pemuda yang masih kerabat Ambe'mu. Namun saya tak ingin mengatakan itu. Saya tidak ingin sedihmu berkepanjangan. Saya tidak mau mengatur jodohmu karena kamu sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan,”. Kata Ibu Salma membatin. Dia duduk menyendiri di puncak Gojeng, sembari menggerayangi seisi kota Sinjai. Andai Rahman disampingnya, pemandangan seisi kota Sinjai dari puncak gojeng, pasti akan lebih indah diresapi. “ Tak sabar saya menunggumu. Bulan purnama tersisa dua pekan lagi, “. Harap Salma. WAJAHNYA tegang. Saat hakim memegang palu sidang dan bersiap mengetoknya, dia menunduk. Tak kuasa dia melihat hakim membacakan putusan dan mengetok palu sidangnya. “ ….. pengadilan memutuskan terdakwa dihukum penjara seumur hidup,” kata seorang hakim dengan bahasa Arab yang fasih. Bak langit runtuh, si Pemuda tergolek lemas dikursi pesakitan. Seolah tak ada lagi semangat hidup begitu mendengar putusan hakim, penjara seumur hidup buatnya. “Sabarlah Rahman, jangan menyerah. TKI lain akan berusaha membantumu menghubungi perwakilan negara kita disini,” Hibur salah seorang tenaga kerja Indonesia saat berpapasan dengan Rahman, yang digiring petugas ke mobil tahanan. “Kita harus melakukan pembelaan sobat. Kamu kan hanya membela diri,” Kata rekan Rahman lainnya yang juga TKI. “ Saya pribadi berterima kasih kepada kalian, sudah memberi semangat. Tapi jangan terlalu berharap pemerintah kita akan membantu. Banyak kasus dimana teman-teman kita sesama TKI yang menghadapi hukuman penjara, bahkan hukum pancung, kurang mendapat perhatian pemerintah,” kata Rahman pesimis. “Tapi ketika wartawan ramai memberitakan, barulah pemerintah kita turun tangan,” Sesalnya. Rahman perlahan memasuki mobil tahanan, sesekali menoleh kepada teman-temannya yang hanya bisa pasrah. Diruangan dua kali tiga, dari balik jeruji besi. Rahman menulis sepucuk surat. “ …. bukan bermaksud tak setia dan bukan bermaksud lalai janji. Tapi, kekasih hatimu ini tak bisa melewatkan bulan purnama bersamamu. Dua pekan lagi janji itu. Namun Tuhan berkehendak lain. Hari-hari terpaksa kulewatkan dari balik bui Arab Saudi. Saya hanya membela diri, saat majikan hendak memukulku. Apa salah kalo saya membela diri ? Pun majikanku hanya luka berat, tidak sampai meninggal dunia !,”. Dia berhenti sejenak sambil menghela nafas. Lalu melanjutkan tulisannya. “ .. saya merindukan se pelaminan denganmu Salma. Namun, hukuman seumur hidup ini buatku hanya duduk di pelaminan bui seorang diri. Hanya ditemani nyanyian cecak yang suaranya terkadang buatku itu bernada mengejek. Saya mungkin akan selamanya disini Salma, sampai roh tercabut dari jasadku. Ku tak ingin setiamu padaku tak berujung. Saya ingin setiamu berujung, namun bukan bersamaku,”. Menulis surat membuat dia sesaat menjadi lelaki cengeng. Air matanya tak tertahankan lagi. Rasa rindu pada orangtua, kekasih dan kampung halamannya bercampur aduk. Belum lagi sedih tak tertahankan berada di dalam bui seorang diri. Namun sedih teramat sangat dirasakan, karena tidak bisa memenuhi janjinya melamar sang kekasih pujaan hati. Dua lembar kertas sudah dihabiskan untuk suratnya. Namun itu belum cukup untuk mengumbar perasaannya saat ini. Dia pun melanjutkan goresan penanya. “ Kekasihku Salma... mungkin ini sudah digariskan olehNYA. Saya berharap kamu bisa bahagia meski tanpaku. Walau sakit rasanya, tapi kuyakin itulah cara buatmu bahagia. Agar setiamu pun berujung bahagia. Mungkin kamu paham maksudku dan saya yakin kamu akan dewasa menyikapinya,”. Air matanya kembali meluncur dan mengenai pinggiran kertas suratnya. Diujung tulisannya, Rahman menitip salam untuk Indo' dan Ambe'nya Salma sembari menyelipkan mutiara cinta untuk Salma kekasihnya. “ jangan menangis, kekasihku Salma. Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah, kita dapat bertahan terhadap derita dan pahitnya kesedihan serta ….. duka perpisahan. Salam sayang... kekasihmu, Rahman,”. Sejurus kemudian dia melipat kertas itu, dan meluncurkan kecupan ke bibir suratnya. Dia kemudian masukkan ke amplop putih gading. USAI membaca sepucuk surat, dia terjerembab dipelukan Indo'nya. Kucuran air matanya membanjiri kebaya Indo'nya. Orang tua itu juga sedih melihat anaknya hanya menangis dan menangis. Dia hanya bisa membelai-belai rambut anaknya seraya memintanya bersabar.” Sabarki' anakku Salma,” kata orang tua itu singkat. “ Saya cukup dewasa menerima kenyataan ini Indo'. Tapi biarlah saya menumpahkan tangis sedihku sejadi-jadinya, agar ringan derita hati ini,”Kata Salma, dengan nada sesenggukan, “. Salma kemudian bangkit dan duduk bersimpuh dihadapan Indo'nya. “ untuk kebahagian Salma, saya serahkan sepenuhnya sama Indo'. Namun saat ini saya memohon, Indo' bersedia menemani saya ke Batu pake Gojeng. Meski Rahman tak lagi disampingku, namun saya yakin bayangannya lima tahun lalu masih berbekas di bukit Gojeng. Saya ingin dia melihat kekasihnya ini sudah cukup dewasa menghadapi kenyataan,” pinta Salma pada Indo'nya. Dalam batin orang tua itu berharap, setia anaknya bermuara bahagia meski bukan dengan kekasihnya Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline