Ini gara-gara teman saya. Jojo.
Sesungguhnya, rezeki kita adalah apa yang kita "makan" hari ini. Yang lalu sudah bukan rezeki, cuma pernah jadi rezeki. Itu sebabnya kita harus belajar move on. Yang akan datang itu belum menjadi rezeki. Itu sebabnya, ikhtiar dan doa harus senantiasa dilakukan.
Salah satu rezeki saya pagi ini adalah berada dalam lingkungan yang sangat keren. Hanya sebuah grup whatsapp alumni semasa saya kuliah sarjana. Saya dan mereka adalah keluarga yang senantiasa bersinergi, saling mendukung, saling membahagiakan, saling menguatkan, saling memberikan energi positif setiap hari.
Satu rutinitas, menjelang subuh selalu ada orang yang menghidupkan grup hanya sekadar dengan mengetikkan"hayu, ah!" atau sejenis itu. Satu rutinitas lain yang juga menjadi motivasi setiap hari adalah tulisan pendek yang disebut sebagai "embun pagi" oleh teman-teman satu grup yang di dalamnya mengandung kata-kata renungan agar kami selalu teringat untuk memantik semangat memperbaiki diri.
Rutinitas lain adalah cakapan-cakapan ringan yang kocak. Memang random, tapi cukup untuk membuat saya tertawa ketika mengingat kekonyolan kami semasa kuliah dulu. Bahagia memang sederhana, saya masih menyetujui ungkapan itu.
Saya lupa bagaimana caranya kami terhubung kembali. Namun, saya merasa berbahagia bertemu kembali dengan mereka. Untuk ukuran sebuah grup whatsapp, ini adalah grup yang terkategori aktif dengan konten pembahasan beragam, tetapi bagi saya grup ini sangat minim dengan kesia-siaan.
Mungkin hanya beberapa di antara kami yang dianggap lebih "berjaya" secara duniawi. Namun, kejayaan itu tidak mengundang ketakaburan, setidaknya itu yang saya rasakan. Kejayaan itu dibagikan kepada seluruh penghuni grup. Bahkan, undangan demi undangan bergantian hadir sehingga kami saling merasakan nikmat "rezeki materil" yang tadinya dianggap bukan milik kami seperti yang diceritakan dalam pesan whatsapp pagi ini.
Jika banyak teori menyebutkan arti empati, bagi saya ini adalah ejawantah teori tersebut secara hakiki. Kesulitan yang dirasakan satu orang anggota grup kami akan terkabarkan, menyebar dengan cepat. Berita itu akan mendorong kami untuk merapat, melakukan satu gerakan untuk memberikan dukungan apa pun yang kami bisa.
Jika pada bagian lain konten pesan whatsapp pagi ini menyebutkan ukuran matematis yang membuat kita stres, saya pun lagi-lagi setuju. Faktanya bahwa dukungan kami tidak dapat diukur secara matematis karena tentu hasil penghitungannya akan terasa sangat kecil, nyaris tanpa arti. Namun, jika boleh "gede rasa", kasih sayang kami sampai dengan paripurna penuh dengan makna.
Semoga demikian adanya. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H