Sebagai seorang lulusan ilmu murni sastra Indonesia, saya semestinya memampukan diri membagi dan memanfaatkan ilmu yang saya peroleh dari almamater saya sebagaimana mestinya.
Maka dengan bekal sedikit ilmu tentang bahasa dan sastra Indonesia, sejak awal saya memilih profesi sebagai guru.
Saya berupaya konsisten membelajarkan siswa tentang ilmu bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan kadar kepahaman saya.
Sungguh itu adalah hal yang sangat berat, begitu menantang. Tantangan terbesarnya adalah popularitas bahasa dan sastra Indonesia.
Salah seorang teman saya yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra itu kalah pamor dengan mata pelajaran eksakta atau ilmu sosial.
Bahasa dan sastra dianggap mata pelajaran sampingan, sekadar pengakuan sebagai seorang anak bangsa. Benarkah begitu? Jika ya, apa yang salah dari pernyataan ini?
Mari kita coba telaah dari kondisi para siswa, tentu tidak mungkin kondisi ini terjadi tanpa sebab. Bahkan, sangat mungkin ini sudah berlangsung begitu lama, termasuk ketika saya menjadi siswa. Beberapa poin yang saya temukan dari hasil analisis saya adalah sebagai berikut.
- Siswa belum sepenuhnya paham apa sebetulnya esensi belajar kebahasaan dan kesastraan.
- Baik guru maupun siswa masih memandang bahasa dan sastra dari satu sisi, yakni sebagai bidang ilmu yang seharusnya setara dengan bidang ilmu lain (silakan buka kembali buku filsafat Ilmu untuk mendalaminya). Namun, lebih jauh lagi rupanya para guru termasuk saya kerap alpa bahwa bahasa dan sastra dapat dijadikan cara atau media untuk memahami bidang ilmu lain bahkan semua ilmu.
- Bahasa dan sastra berada dalam kotak sebagaimana bidang ilmu lain yang juga berada dalam kotak-kotak yang berbeda. Dengan begitu, seolah pembelajaran terkesan segmental dan semakin jauh dari kesan holistik.
- Guru terkesan kurang menguasai ilmu bahasa dan sastra. Hal yang diajarkan cenderung terlalu banyak dan hanya berada dalam tataran permukaan saja. Padahal, siswa perlu memahami lebih mendalam.
- Guru masih belum sepenuhnya menunjukkan hubungan antarprasayarat dalam pembelajaran bahasa dan sastra, serta belum sepenuhnya pula menghubungkan secara logis antara teori dan praktik dalam pembelajaran kebahasaan dan kesastraan.
- Entah karena keterbatasan waktu, tenaga, atau hal lainnya, guru seolah tidak terlalu concern atau berfokus dalam memandang kedalaman pemahaman siswa melalui kualitas produk pembelajaran bahasa dan sastra.
- Pembelajaran cenderung sekadar melibatkan kognisi, tetapi kurang melibatkan emosi sehingga salah satu aspek penting dalam pembelajaran bahasa dan sastra, yaitu apresiasi, baik lisan maupun tertulis, masih belum terkesan tulus dan tuntas.
Apa yang saya tulis tersebut hanyalah sebagian dari banyak hal lainnya. Setidaknya hal-hal tersebutlah yang saya dan teman-teman lainnya alami sendiri.
Tujuh poin tersebut lebih bersifat empirik, tidak secara langsung berkaitan dengan teori kebahasaan atau kesastraan karena lebih cenderung bersifat aplikatif.
Saya kira, ketujuh masalah tersebut dapat diatasi ketika kita sebagai guru lebih memahami esensi belajar bahasa dan sastra.
Bahasa dan sastra bukan melulu persoalan menghasilkan produk kebahasaan atau kesastraan, melainkan lebih jauh dari itu.