Lihat ke Halaman Asli

Anomali Demokrasi Dalam Pergerakan Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14054149351827889571

Pertama-tama, tulisan saya tidak bermaksud untuk menilai suatu organisasi sebagai organisasi yang salah atau suatu ideologi sebagai ideologi yang salah, saya hanya mencoba menjelaskan sekaligus mencoba memahami fenomena penegakan “Demokrasi” di Indonesia terkait dengan current affair.

Siang ini, ketika saya kembali dari kost teman saya di sekitar jalan Kusuma Negara, Yogyakarta, saya melihat gerombolan mahasiswa Papua ingin berdemo, biasanya di sekitar bilangan 0 Km, Yogyakarta. Kenapa saya bilang “biasanya?” karena memang demonstrasi mahasiswa Papua pro OPM ini sering dilaksanakan di Yogyakarta, poster-poster seperti “Indonesia Penjajah” “Referendum” dan “Boikot Pemilu” sudah lazim saya lihat dalam demonstrasi mereka. Sebenarnya saya sebagai warga pendatang agak “risih” melihat mahasiswa Papua pendukung kelompok separatisme ini berdemonstrasi di salah satu kota yang pernah menjadi ibukota negara Indonesia ini dengan menggunakan simbol-simbol separatis. Tapi saya melihat warga Yogyakarta biasa-biasa saja, dan aparat keamanan pun lepas tangan, sehingga simbol-simbol OPM sering bertebaran di Yogyakarta, jadi sebagai sesama warga pendatang, saya mencoba bertoleransi, seperti halnya tuan rumah yaitu warga Yogyakarta mentolerir hadirnya simbol-simbol OPM tersebut. Sambil melihat gerombolan tersebut, saya pun berlalu saja menuju kampus, setengah tidak peduli terhadap aksi tersebut, karena hari ini, matahari seakan berjalan lebih cepat dari motor saya.

Aksi Mahasiswa Papua pendukung OPM di Yogyakarta siang ini (15/7). Terlihat mahasiswa membawa simbol-simbol OPM

(Dok. pribadi)

Nah, pada demonstrasi edisi siang ini ada yang berdeda, aksi demonstrasi Mahasiswa Papua Pro OPM ini mendapatkan tentangan dari Paksi Katon, salah satu paguyuban masyarakat daerah Yogyakarta, “Kesabaran masyarakat Yogyakarta sudah habis tampaknya” pikir saya sambil melihat kerumunan massa AMP dengan massa Yogyakarta. Saya dengar, Paksi Katon membolehkan Mahasiswa Papua Pro OPM ini untuk berdemonstrasi tetapi dengan melepaskan simbol-simbol OPM. Jujur, saya agak bingung membaca berita ini, kenapa Paksi Katon yang bertindak? Bukan aparat keamanan?

Pada aksi AMP sebelumnya yang juga dihadang oleh Ormas masyarakat Yogyakarta, Polda DIY melalui Humasnya, AKBP Anny Pudjiastuti menjelaskan seperti yang dikutip oleh Tribun Jogja, Dia menjelaskan bahwa pihak kepolisian hanya bertindak sebagai pengaman ketika ada kegiatan masyarakat. Kepolisian tidak mempunyai kewenangan mengatur ketika ada orang atau kelompok massa menyampaikan pendapatnya. Hal itu dipertegas dalam UU RI no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam kasus ini, pihak kepolisian tidak bisa melarang Mahasiswa Papua Pro OPM dalam mengemukakan pendapat mereka, bila ini terjadi maka akan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan salah satu produk “unggulan” dari dibukanya demokrasi di negara ini setelah terkekang dalam penjara bernama “orde baru”. Bila kita berbicara tentang demokrasi pasti berbicara tentang HAM, bila berbicara tentang HAM pasti berbicara tentang kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat.

Di tengah usaha bangsa Indonesia, termasuk aparat kemanan, untuk membangun demokrasi di Indonesia, munculah organisasi-organisasi anti demokrasi yang bisa tumbuh subur di negara yang berdemokrasi. Sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai salah satu, organisasi dengan massa yang sangat besar, organisasi yang menolak demokrasi ini dibesarkan oleh demokrasi, ironis?. Diketahui masuk ke Indonesia tahun 1985, HTI tidak terlihat gaungnya sampai tahun 2000-an. Sifat orde baru yang selalu “memantau” pergerakan warganya, kalau tidak mau disebut “memata-matai, membuat organisasi semacam HTI tidak bisa tumbuh subur. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) pun begitu, sebagai salah satu organisasi pro OPM, organisasi ini juga menikmati kebebasan mengemukakan pendapat ala demokrasi. Kalau HTI adalah organisasi yang anti demokrasi, AMP merupakan gerakan dengan paham kiri, paham Sosialis-Komunis, yang merupakan kebalikan dari demokrasi. Hal ini disampaikan oleh Sonny Kembu salah satu pengurus AMP Kota Jakarta yang dikutip dalam http://tabloidjubi.com/hotspot/reports/view/995.

Saya kemudian berfikir, begitu banyak hal yang dibayar oleh rakyat Indonesia agar demokrasi di Indonesia terbebas dari belenggu orde baru, aktivis yang hilang, ekonomi yang ambruk sampai kondisi politik yang tidak menentu selama beberapa tahun, demi terbukanya kran demokrasi yang dengan ironisnya digunakan oleh organisasi-organisasi yang anti demokrasi. Bila ketika masa orde baru penghalang demokrasi adalah pemerintah, saat ini penghalangnya adalah lembaga masyarakat sipil.

Ah entahlah, tapi yang saya lihat saat ini adalah aparat keamanan yang mestinya menjaga berjalannya demokrasi menjadi ompong didepan para penentang demokrasi karena demokrasi itu sendiri. Miris…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline