Sebagai renungan bersama, terutama untuk diri pribadi dan orang-orang yang peduli terhadap transportasi di Indonesia, artikel berikut merupakan tulisan Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (NGO Transportasi) dan Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia.
Komitmen Politik
Pertama, mengenai persoalan-persoalan yang teridentifikasi menjadi faktor penyebab dari ruwetnya persoalan transportasi publik kita adalah rendahnya komitmen politik dari pengambil kebijakan. Rendahnya komitmen itu berdampak amat luas, dari soal perhatian yang kurang serius sampai pada masalah pendanaan yang terbatas. Tidak ada satu pihak pun (eksekutif maupun legislatif) yang secara serius berjuang untuk pengembangan angkutan umum massal ini. Ketiadaan komitmen politik itu mungkin disebabkan karena ketidak-tahuan mereka. Ambil contoh, penghapusan sarana transportasi umum di Jakarta berupa tram listrik pada masa Walikota Sudiro (1953-1960) hanya didasarkan pada pandangan Presiden Soekarno bahwa tram-tram tersebut tidak cocok dengan kesan kota modern, karena tram tersebut tidak berada di bawah tanah (Peter J.M. dan Manase Malo2007, hal. 246-248). Desakan untuk menghapus tram itulah yang memicu konflik antara Walikota Sudiro (representasi daerah) dengan Presiden Soekarno (representasi pusat). Presiden Soekarno pada saat itu melihat sarana transportasi tersebut tidak dari fungsinya, tapi dari aspek estetika belaka. Seandainya Soekarno melihat fungsi tram sebagai moda transportasi kota yang efisien, tidak berpolusi, dan tidak menggunakan BBM, tentu dia tidak akan menyarankan untuk dihapus, sebaliknya justru dikembangkan sehingga sampai sekarang mungkin masih menjadi moda transportasi publik di Jakarta yang sangat handal karena mampu mengangkut jumlah penumpang cukup besar.
Jebakan Motorisasi
Hilangnya tram lisrik menyebabkan Jakarta kehilangan moda transportasi massal yang handal. Moda transportasi massal yang ada pada itu (dekade 1960-an) tinggal berbasis motor, yaitu bus dan bemo. Sedangkan angkutan umum lain yang dominan adalah becak. Adapun kendaraan pribadi didominasi oleh sepeda. Di penghujung dekade 1960an produk Jepang, terutama berupa sepeda motor merek Honda dan Suzuki mulai membanjiri Jakarta. Arus motorisasi itu semakin kuat memasuki dekade 1970-an, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan berkembangnya industri otomotif.
Bank Dunia turut andil besar dalam mendorong motorisasi ini dengan memfasilitasi pembangunan jalan raya. Blok M – Kota yang dulunya dilayani tram kemudian digantikan dengan jalan raya. Jaringan tram dihapuskan. Sedangkan pembangunan jalan yang menghubungkan Cawang - Tanjung Priok dibiayai oleh Amerika Serikat (Ibid, hal.248). Perhatian besar Bank Dunia terhadap motorisasi itu tidak terlepas dari campur tangan pemilik saham, termasuk Jepang yang sangat diuntungkan dengan proses motorisasi di Indonesia. Mayoritas motor (baik roda empat maupun dua) yang menyesaki jalan-jalan di Jakarta adalah produk Jepang, seperti Daihatsu, Hino, Honda, Isuzu, Kawasaki, Mitsubishi, Nissan, Suzuki, Toyota, Yamaha, dll.
Proses motorisasi ini tidak terbendung lagi ketika negara secara sadar memfasilitasinya dengan membangun banyak jalan raya dan mulai tahun 1978 membangun tol Jagorawi, kemudian diikuti dengan pembangunan jalan tol lainnya, seperti Jakarta – Cikampek, Jakarta Tangerang, Cawang – Priok, Cawang – Bandara, dan sebagainya. Juga diikuti pembangunan jalan-jalan tol di luar Jakarta, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, dan Makasar.
Jebakan motorisasi itu semakin mencengkeram ketika industri otomotif Jepang mulai ekspansi dengan mendirikan pabrik di Indonesia. Krisis ekonomi Juli 2007 sampai dengan akhir 1999 sempat membuat pasaran industri otomotif khususnya sepeda motor dan mobil lesu, tapi mulai tahun 2000 industri tersebut bangkit kembali. Khususnya untuk produk sepeda motor, pertumbuhan mereka begitu cepat, karena paska krisis ekonomi itu sepeda motor dijadikan sebagai moda produksi dalam bentuk ojek bagi korban PHK. Mayoritas pengojek mulai akhir dekade 1990-an itu adalah korban PHK, mereka membelanjakan pesangonnya untuk membeli sepeda motor untuk ngojek. Kehidupan tukang ojek yang relatif lebih mapan daripada menjadi buruh pabrik itu mendorong orang desa untuk tertarik menjadi profesi ojek di Jakarta. Mereka kemudian rela menjual sapi, kayu jati, atau bahkan tanah (sawah/ladang) mereka untuk membeli sepeda motor sebagai ojek di Jakarta.
Belakangan, industri sepeda motor sendiri lebih kreatif dalam memasarkan produknya dengan mengetrapkan mekanisme kredit amat mudah, mereka bekerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti WOM Finance, FIF, Aldira, dan sejenisnya. Kesemuanya itu mempermudah orang untuk mendapatkan kredit sepeda motor. Itu yang terjadi pada tingkat swasta. Sedangkan pada tingkat pengambilan keputusan, sejak Orde Baru, terlebih paska reformasi, kita sesungguhnya memasuki Rezim Bina Marga, di mana program pembangunan jalan, entah itu jalan tol maupun non tol memperoleh perhatian besar daripada pembangunan infrastruktur untuk pertanian, perikanan, perkebunan, maupun peternakan yang sebetulnya semuanya itu akan membuat bangsa Indonesia hidup lebih mandiri. Rezim Bina Marga itu terasa sekali (justru) paska reformasi ini ketika seperti tahun lalu dan tahun sekarang ini anggaran untuk satu direktorat jendral (Bina Marga) di PU jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran satu departemen (Perhubungan) yang menangani empat jenis moda transportasi: jalan raya, kereta api, laut, dan udara.
Sinerginya antara inovatifnya swasta dalam mengembangkan produk otomotifnya dengan kebijakan pemerintah yang didominasi oleh Rezim Bina Marga itulah yang memicu pertumbuhan kendaraan bermotor begitu cepat dalam satu dekade terakhir.
Di sisi lain, percepatan pertumbuhan kendaraan bermotor itu telah mengorbankan moda transportasi lain, yaitu kereta api dan laut. Di Jakarta kita melihat sehari-hari pemandangan di mana jumlah penumpang KRL Jabodetabek yang begitu banyak tidak dapat terlayani semua sehingga harus naik di atas atap yang membahayakan jiwanya. Sedangkan buruknya transportasi laut terlihat dari panjang dan lamanya kasus antrean di Merak dan Bakauheni akibat keterbatasan prasarana maupun sarana angkutan laut.