Lihat ke Halaman Asli

Stasiun Terakhir

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasa, hiruk pikuk manusia dengan berbagai kepentingannya memadati stasiun ini kala senja. Hilir mudik suara hentakan kaki , penjaja makanan, alunan bising rel yang beradu gesek dengan roda-roda kereta menjadi hiburan orkestra senja yang setia menemani para pananti harapan untuk tujuan terakhirnya. Kali ini Aku, Bumi dan Taring bersitegang dengan waktu untuk melakukan perjalan ke kota lain memenuhi nafsu muda kami. .ya sekedar jalan-jalan ke Kota yang dulu menjadi kota kelahiranku, Bandung.

Dalam perjalanan ini ada yg tidak biasa, bukan karena melawan 180 derajat perjalanan yang biasanya ke Timur. .hmmm entah lah. . . otak ini seperti mengingat memori beberapa waktu dulu

kau berada di tempat yang sama, arah tujuan sama, dalam kondisi berbeda, ya itu kau, kau seorang yang angkuh tapi bodoh tapi pintar, tidak menentu, matilah kau”. Lalu senyum sinis ini muncul sembari menghembuskan asap rokok. .

Ku jawabnya “diam kau otak, kau tak paham.. sudahlah berfungsilah seperti yang ku inginkan. .tugasmu hanya memikirkan apa yang indera lain tangkap, tak perlu kau ikut campur dalam masalah ini. . masih banyak hutan-hutan yang di tebangi dan bunga-bunga yang layu, serta anak kecil yang baru saja meminta minta, harusnya kau menjadi tandemku dalam melangkah agar aku menjadi manusia”

Di sela-sela pergunjingan masa lalu yang tak kunjung selesai antara otak dan empunya,

Bumi memandangiku berucap dia “Rokokmu habis, aku bakar rokok terkakhirmu Ra”.

Ya namaku Tara, lengkapnya Jelang Bangkit Nusantara, entah apa yang terfikirkan di benak Ayahku, memberi nama yang Aku anggap sedikti aneh ini. Mungkin pada jamannya berharap Aku sebagai awal dari perubahan bangsa ini yang tak lekas sembuh dari penyakitnya sampai sekarang, ya sampai sekarang !! negara ini tetap belum bangkit, nusantara masih sakit dari jaman ayahku menjadi mahasiswa, sampai aku yang sekarang menggantikan posisinya sebagai mahasiswa.

Waktu masih menunjukan pukul 16.25 di Stasiun Kota Pelajar ini, Ada sekitar 35 menit lagi untuk bergumam sembari menunggu kereta ekonomi yang benar-benar ekonomi. Pasar di atas gerbong sebutku, disana ratusan penjaja mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan memenuhi kewajiban umat manusia yang di beri anugrah Tuhannya untuk berusaha mempertahankan hidupnya di tengah-tengah pemerintahan yg di penuhi orang-orang gendut ini, tapi itu dulu sebelum perusahaan pemilik rel dan gerbong membunuh lahan mereka dengan kebijakannya yang tidak memberi solusi akan hidup mereka, ya ini Negara Ku !!

Kami memang tak bersuara satu sama lain. melihat Bumi, ya dia asik dengan buku dan rokok hasil sitaan masih di hisapnya dengan lahap, “seorang pemuda tampan yang egois akan pengetahuan” celetukku dalam hati, berbeda cerita dengan Taring pemuda berparas artis ini selalu menghabiskan waktunya dengan musik, hingga dia hafal semua musisi yang ada di dunia, dan satu sifat yang sudah melekat di namanya. Playboy Kampus !! memang perilakunya terhadap gadis-gadis kampus seperti namanya yang siap menerkam dan menggigit leher mangsanya hingga bertekuk lutut.

Di plataran stasiun tempatku duduk, Ternyata otak ini masih mengajak berdiskusi masalah subyejtif yang menjadikan Aku sebagai aktornya.  “hah. .! ayo Aku layani” gumamku.

Ya, cerita ini yang di maksud otakku, cerita anak muda sekarang tentang kegundahan terhadap perasaan, tepat di usiaku yang di ujung remaja. Kisah manis pahit seperti manusia lain di alam semesta raya ini. Manis teramat manis kisah itu, sampai sampai aku menghentikan langkah dan tak mau tau dunia yang terus berputar. Aku tak mau mengikuti dunia kala itu, karena dunia di ciptakan untukku dan dia, semua yang ada hanya pelengkap keindahan dunia yang ku buat bersama gadis cantik yang pernah menjadi partnerku dalam menjalani hidup. Dia seorang penggiat seni, pewaris kebudayaan bangsa, penari yang setiap lekuknya mampu menuliskan sejarah, gemulai gerakannyapun mampu membuat mengukir pahatan indah di kalbu lelaki beruntung yang bersamanya kala itu, yaitu Aku.

Lesya namanya, Indah Bukan ?”. celoteh bibirku lirih yang tenggelam oleh nyanyian Stasiun. . .

hahahaha, ingat kan kau sekarang ? Aku hatimu yang dulu menjadi tempat paling bahagia saat Kau bersamanya, Tempat yang paling nyaman untuknya waktu itu, tempat dimana kalian senang bermain berlarian dan bersendau gurau, dan tempat ini yang sekarang menjadi taman kosong yang sibuk menata karena hancur lebur oleh badai egoismu. .mengumpulkan lagi sisa-sisa bait puisi yang kamu tulis dulu, sayang sekali skenariomu gagal total, hancur sehancur-mancurnya, Matilah kau !! ”.

Menghela nafas dan melihat sekeliling menjadi jeda diskusi panjang 3 unsur dalam tubuh, aku aku dan aku, sambil merubah posisi duduk yang membuat nyeri di punggung seakan mengisyaratkan untuk berhenti sejenak mengenang masa lalu. . .

Jam masih menunjukan pukul 16.40 dan alat pengeras suara di stasiun itu mengabarkan bahwa kerata yang akan membawa kami terlambat satu atau dua jam…

hmmmmmm, Jancuk !” . kalimat khas Timuran ala Taring pun keluar, sejenak memecahkan suasana kejenuhan yang membelenggu. .

Aku mau beli rokok dulu, titip tas dan buku, kalian nitip apa ? ” tukas Bumi, sambil memandangi kita berdua. .

Tidak ada kata disana, hanya menggelengkan kepala pertanda tidak adanya jawaban terfikirkan di otak ku dan Taring untuk menjawab pertanyaan sepersekian detik itu.

Kau tak rindu ?” pertanyaan Taring yang  membuat tubuh ini seakan-akan tersetrum. .

Rindu akan apa ? apa yang kau maksud Ring ?”.

“dasar playboy dia pasti tahu apa yang aku fikirkan, sebelum aku berangkat memang bercerita tentang kisah manis stasiun terakhir ini kepadanya” . gumamku dalam hati.

“hahahaha, muka jelekmu itu gak bisa menipu Ra, jangan sebut aku playboy kampus kalau Aku tak mengerti perasaanmu sekarang”.

“Lesya, Ra ”. Tambahnya dengan wajah mengejek. . .

“aaahhhhhhhhhhh”. . . jawabku. .

Obrolan pun tak berlanjut saat Bumi datang dan memberi Kami minuman dingin. Kami kembali ke posisi masing-masing, Bumi bercumbu dengan bukunya dan Taring sibuk membual mentah dengan target barunya.

++++++++++++++++

Belum habis tentunya cerita tentang gadis belia itu. Sesampai tak segan-segan lagi aku mempersilahkan hati dan otakku untuk menceritakan kembali padaku semua tentangnya terdahulu, kenangan 2,8 tahun itu begitu membekas dalam pikiran, menggerogoti hal lain yang aku ingin fikirkan. Di paksanya mengalah dulu.  Ya mengalah untuk menyalahkan kelakuan liar hingga ku melepaskannya beberapa bulan lalu.

Gadis yang ku temui saat aku beranjak dewasa di bangku SMA ini memang tak pernah memberi ku ruang untuk mengalihkan pandangan terhadap gadis sebayanya sampai sekarang saat aku sudah tak bersamanya. Aku terbelunggu oleh rayuan indah yang menjadikan iri setiap angin yang menyapa. Kisah indah ini seperti kanvas yang melukiskan senja terpana. Pernah dimana Kita bersama mempikan Kota dimana stasiun ini berada. Melanjutkan study untuk merubah keadaan bangsa di Kota yang orang lain menyebutnya Kota cinta, dan aku mengiayakannya.

Lesya mengajarkan aku banyak hal, salah satunya membawaku terhadap seni yang di gelutinya, aku yang seorang pecandu revolusioner mampu bermain indah seperti tariannya yang mengajak setiap penikmat gerakannya terdiam, kala ada dia di sampingku.

Memberi Ku sekedar kecupan hening di kala kelelahan menghinggapi tubuh penakut ini saat berjuang melawan ketidak adilan. Sesampai aku pun suka menuliskan bait kata sederhana untuknya. .salah satu yang selalu aku ingat adalah saat baik puisi pengantar tidurnya yaitu “Selamanya” singkat namun bermakna, tidak bisa lagi aku berucap padanya sekarang walaupun jari ini ingin menuliskannya kembali, sekuat inginku untuk mengalahkan gerak roda kereta api.

Tentang Stasiun ini, hhmmmm . . . . .

Menjadi Stasiun terakhir aku diantar dan di jemputnya. . sebelum semunya kembali menjadi sekarang. Dia memberi ku senyuman pedih tanda tak rela saat aku melangkahkan kaki untuk mengaplikasikan keinginanku terhadap sebuah perubahan. Manja !! huh, sifat yang terindukan sekarang.

Wajah penuh kegelisahan itu !! Ucapan kesayuan itu !! bahkan kesabarannya saat menanti ku turun dari kereta yang merubah wajah cantiknya menjadi senyum, ceria dan tak terlupa manja !!

Sekarang fakta ini ku hadapi, dengan rasa yang sama seperti dulu. . berani aku menyebut tak pernah luntur. Walau selalu mengelak bila lingkunganku bertanya tentang kabar hatiku. .

Pernah kah kau padam api ?. .

Tak pernah, walau mengecil. .

Dan akan membara lagi bila datang waktunya. .

Logika berbicara antara fiksi dan realita. .

Mata lirih sayu terpana. .

Disana, kau terdampar dalam pulau baru yang indah. .

Ahh, biarkanlah sayang, sejarahmu, aku dan kita masih ku miliki. .

Sejarahmu, biarkanlah kita kembali bermain di hatiku, ruang ternyaman untukmu dulu. .

Menata bangku taman untuk kita duduk dan bersendau gurau. .

Bermain ayunan di taman dengan tawa pancaran bahagia sambil menanti senja. .

Saat senja tiba, kita akan kembali pulang dan bergandengan tangan. .

Kau memeluku erat, aku enggan melepasnya. .

Disana, Kau menangis dalam dekapan tangannya. .

Aahhh, biarkanlah sayang. .sejarahmu, aku dan kita masih bersamaku. .

Sejarahmu, tetaplah menari untukku karena aku akan selalu bertepuk tangan dengan senyum yang sama. .

Dunia ini masih milik kita, yang membiarkan kita bermimpi tentang anak-anak kembar kita kelak nanti. .

Mereka berlarian kecil di depan kita, sambil kau menyuguhkan teh hangat kesukaanku. .

Menikmati rumah sederhana kita nanti, melihat anak-anak kita berkembang dan memberi kita cucu yang lucu di hari tua nanti. .

Berbahagialah sayang. . .

++++++++++++++++

Tak di sangka, Kereta kami datang untuk di tengah-tengah percakapan imajinasi ini.

Sambil mengankat rangsel kami bergegas mencari tampat duduk yang telah kami pesan. .

Aku akan bercerita lagi”. .kata dari hatiku di fase ini. . .

Bersambung. . . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline