Entah sudah dipikirkan baik-baik atau belum, yang terlihat Presiden Joko Widodo sudah melakukan pergantian Mendikbud Anies Baswedan.
Dalam kacamata sempit saya, pencopotan Anies Baswedan (AB) ini mengindikan dua hal penting.
Pertama, Presiden Joko Widodo memastikan maju kembali dalam Pilpres 2019. Gelagat ini sejatinya sudah dapat dibaca pada saat Munaslub Partai Golkar di Bali yang mengantarkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum. Melalui "operatornya" saat itu, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Jokowi "membeli" Golkar. Hasilnya tokcer. Dalam Rakernas I yang digelar Kamis (28/7), Golkar mendeklarasikan pencapresan Jokowi pada Pilpres 2019.
Dengan keyakinan akan maju kembali, Jokowi tidak lagi bergantung pada PDI Perjuangan. Sebagai "petugas partai," Jokowi kini memiliki "Kartu Jokowi Pintar" untuk berkata "tidak" pada telunjuk Megawati Soekarnoputri. Jokowi cukup punya kekuatan untuk itu.
Dengan realitas politik seperti itu, resafel dilakukan untuk membuat jalan bebas hambatan menuju Istana kembali. Jalan ini betul-betul harus steril dari berbagai rintangan dan hambatan. Tidak boleh ada kemacetan, apalagi sampai semacet, seperti di pintu tol Brexit saat mudik lalu.
Kedua, Anies Baswedan (AB) adalah calon presiden dalam konvensi Partai Demokrat. Meski bukan pengurus apalagi pimpinan partai politik, AB layak diperhitungkan.
Mari kita lihat "kekuatan" yang dimiliki AB saat ini dan berpotensi menjadi batu sandungan langkah-langkah politik Jokowi menuju Istana kembali.
Modal Politik
Modal Politik AB adalah saat dirinya lolos menjadi calon presiden dalam konvensi Partai Demokrat. Meski tidak memenangkan pertarungan, inilah modalitas politik AB saat ini dan cukup berpengaruh. Ia dilirik dan dipersepsi positif oleh Demokrat sebagai calon presiden setelah SBY lengser.
Bukan tidak mungkin, Demokrat akan mengusungnya kembali dalam pemilu presiden 2016 dan mengajak koalisi parpol lain di Senayan.
Modal Sosial
Modal sosial. AB memiliki modal sosial yang kuat. Sebagai pendiri Indonesia Mengajar, AB mengirim ribuan guru blusukan ke desa-desa di ujung-ujung negeri. Ini menginspirasi negara untuk menggerakkan guru-guru baru ke pelosok Indonesia. Saat AB menjadi Mendikbud, pengiriman guru-guru baru ini makin intens dijalankan. Namanya melambung (populer). Ia mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat.
Modalitas sosil lain yang membuat geger Istana adalah ketika AB menggerakkan jutaan orang tua murid pergi ke sekolah, mengantar anak-anaknya, pada hari, jam dan menit yang sama. Hanya dengan selembar kertas imbauan dan tulisan viral, AB terbukti mampu menciptakan rekayasa sosial untuk melakukan perubahan paradigma dan perilaku masyarakat.
Yang membuat pendukung Jokowi makin mempertebal stabilo perhatiannya pada nama AB karena tiba-tiba Menteri Yuddy (Men PAN RB) turut mengeluarkan kebijakan memperbolehkan PNS terlambat masuk kerja.
Hal ini hanya bisa terjadi ketika pejabat itu dipersepsi baik, memiliki tujuan dan arah yang baik, demi kepentingan dan kemaslahatan masyarakat serta dipercaya rakyat.
Pengaruh ini dianggap menggerogoti popularitas Jokowi. AB jauh lebih populer, bukan hanya dalam hitungan "pembicaraan" di media, tetapi juga di dalam rumah, di setiap keluarga Indonesia, dan di setiap isi kepala ayah, ibu, dan anak-anak (dari TK hingga anak SMU/SMK yang notabene adalah pemilih pemula).