Lihat ke Halaman Asli

Tetap Bertahan dalam KDRT…

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu ada seorang kerabat yang menjadi korban KDRT suaminya. Wanita tersebut dalam keadaan hamil dan ditendang oleh suaminya hingga wajah dan matanya bengkak. Terang saja saudara-saudaranya menjadi berang dan ingin menyeret suami ke meja hijau. Kejadian seperti ini sudah terjadi untuk kali kedua, belum termasuk bentakan, cemooh dan kata-kata tidak menyenangkan dari suami terhadap istrinya. Setelah beberapa hari, ternyata mereka akur lagi dan istri mau memaafkan suaminya. Saya menjadi bingung dan tidak habis pikir, semudah inikah penyelesaian masalahnya?

Melalui diskusi yang panjang, ternyata istri memiliki alasan untuk tetap bertahan. Alasan utama adalah anak. Mereka sudah memiliki seorang anak dan akan melahirkan anak kedua. Istri tetap mau bertahan demi anaknya,dan berharap suami akan berubah. Jika bercerai, anak akan kehilangan salah satu figure orang tua dan tidak baik untuk perkembangan mereka. Istri juga tidak mau mengambil resiko kehilangan anak jika suami ngotot terhadap hak asuh. Setelah bercerai dan jika menikah lagi, belum tentu pernikahan selanjutnya akan lebih baik.

Alasan kedua adalah indoktrinasi orang tua, bahwa bercerai hanya akan mencoreng nama baik keluarga. Toh pada zaman orang tua, istri dianiaya suami adalah hal yang biasa. Sebagai seorang istri harus bisa tabah dan bertahan. Kelak akan menikmati hasilnya setelah anak-anak tumbuh dewasa.

Selain alasan tersebut, tentu ada resiko yang mungkin timbul.. Resiko pertama, penganiayaan pertama dan kedua akan berlanjut pada penganiayaan ketiga dan selanjutnya jika tidak segera diatasi dan mendapat penanganan yang tepat. Suami dengan perilaku seperti ini tentu susah diarahkan untuk terapi, konsultasi dan sejenisnya.

Resiko ke dua, sakit fisik dan sakit hati yang dirasakan istri tentu akan sulit disembuhkan. Istri menjalankan peran tidak dari hati tetapi hanya kewajiban semata Hal ini membuat perilaku istri semakin cuek dan apatis terhadap suamidan bisa berakibat semakin buruk. Istri bertahan hanya demi anak dan suami akan dianggap sebagai orang asing yang berbagi kamar.

Resiko ketiga, anak-anak dalam keluarga seperti ini tentu memiliki pandangan negative dalam berumah tangga. Bagi anak laki-laki, perilaku ayahnya bisa saja ditiru pada saat dewasa. Sementara bagi anak perempuan, menjadi trauma melihat ibunya disakiti oleh ayahnya.

Bagaimana menurut kompasianer? Silahkan berbagi dari sudut pandang anda. Terimakasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline