Lihat ke Halaman Asli

Manset Renda Warna Ungu, Ajalah!

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tadi pagi kepasar. Sampe dipasar mutar-mutar nyari manset yang bahannya dari renda. Rencananya manset itu akan aku pake dipesta pernikahannya temanku yang namanya Een. Pestanya hari Sabtu tanggal 10 Januari 2015 ini. Baju yang udah kusiapin warnanya ungu modelnya kurung. Hanya aja lengannya cuma sesiku. Seper-berapalah gak paham juga aku.Dan aku nyarinya mesti yang warna ungu. Manset renda warna ungu. Biar cocok sama roknya dan juga baju.

Udah hampir sejam nanya-nanya, tapi belom juga nemu. Ada beberapa penjual yang bilang kalo itu manset udah gak ada lagi, maksudnya barangnya udah gak dipasok lagi. Kebanyakan toko yang kumasuki menawarkan manset biasa yang bukan renda. Kalo aku bayangin, kayaknya kurang pas bila nanti aku pake manset yang bukan renda. Aku nanya ketoko yang menjual pakaian wanita. Ada juga tadi nanya ketoko yang menjual jilbab dan mukena. Biasanya disana ada. Tapi jawabannya tetap sama. “Udah gak ada masuk lagi barangnya, Dek!” jawab seorang Ibu muda dengan logat minangnya yang khas. Sempat nanya juga ketoko yang menjual khusus pakaian dalam wanita dan pria. Ya siapa tau ada. Ternyata memang gak ada. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bertanya sebelum timbul keinginan untuk menanyakannya kepada tukang batu yang lagi memotong batu di jalan Bale Atu itu.

Sebelum aku ketempat parkiran sepeda motor, aku sempat masuk lagi kesalah satu lorong pasar yang aku belum masuki. Disana ada puluhan toko-toko kecil yang menjual pakaian wanita dan anak-anak. Saat hendak masuk kesalah satunya, aku dengar ada yang manggil namaku. Aku spontan menoleh. Ternyata dia temanku sewaktu SMA dulu. Sebelumnya sering ketemu juga. Namanya Mala. Dia duduk didepan tokonya. Akupun menghampirinya dan, setiap ketemu pasti heboh. Dia memang begitu orangnya, rame. Tanya kabar dan sebagainya. Aku juga sempat kasitau dia bahwa aku sedang nyari manset renda warna ungu. Tapi ditokonya juga gak ada. Sampe akhirnya dia nanya ke aku apa aku udah dengar kabar bahwa salah satu teman SMA kami dulu yang namanya Eta Martila udah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Aku yang baru aja dengar kabar ini dari Mala sontak shok. Sambil mengucap Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun aku terbayang wajahnya. Masih sangat jelas diingatanku perawakannya. Orangnya agak kurus semampai. Kulitnya putih. Dia cantik dan lembut. Kami sering sapa-menyapa ketika hampir selesai SMA.

Seingatku, pernah ketemu dia terakhir kali entah empat atau lima tahun yang lalu dipasar. Waktu itu dia lagi sama Ibunya yang juga guru mata pelajaran Bahasa Inggris kami waktu di kelas tiga SMA DUTA tahun 2006. Sekarang nama sekolah itu udah diganti. Tapi aku lupa namanya. Ibu itu, aku suka belajar sama beliau. Kebanyakan teman-teman dikelasku enggak, karena mereka gak ngerti dan gak suka pelajaran Bahasa Inggris. Jadi mereka sukanya minta jawaban dari aku kalo lagi ulangan atau latihan. Aku kasih aja, karena aku butuh melakukan hal yang sama ke mereka pada mata pelajaran akutansi. Simbiosis mutualisme.

Jadi waktu itu aku masih kelas tiga SMA, kalo gak salah pas semester I, aku terpilih untuk ikut kelas binaan. Kelas binaan ini seperti pemberian mata pelajaran tambahan yang dilakukan dilluar jam belajar. Artinya setelah pulang sekolah, aku sekolah lagi. Tempatnya digedung SMK I Kota Takengon. Pokoknya waktu itu aku dikasih uang jajan double oleh orang tua karena belajarnya sampe sore. Dan gak mesti pulang kerumah lagi. Karena rumahku lumayan jauh dari sekolah. Maksudnya kalo pulang ya mesti jalan lagi. Bisa dibayangkan seperti apa. Waktu itu belom punya sepeda motor. Yang punya juga masih bisa diingat pemiliknya siapa-siapa aja. Nah kalo dari sekolah asalku itu ke SMK nya bisa langsung naik angkot. Labi-labi, begitu orang sini menyebutnya.

Selama mengikuti sekolah binaan tersebut, aku jadi sering ketemu si Eta cs. Sebelumnya kami jarang bertegur sapa saat disekolah. Konon anak IPS cenderung “menyeramkan”. Jadi enggak begitu care, apalagi siswinya. Cuma beberapa aja yang dekat yang juga didasari faktor udah kenal sejak kecil. Disekolah binaan itulah awal pertama kali aku dan Eta cs bertemu dan bergabung. Mereka anak IPA. Aku dari IPS. Tapi aku pede karena stigma perbedaan siswa jurusan IPA dan IPS itu tidak berlaku didalam pemikiranku yang waktu itu masih ABG. Kelas kami disana berbeda. Tapi sering ketemu ketika jam istirahat. Kalo gak salah si Eta sering dapat juara umum disekolah. Dia juga aktif di OSIS dan ROHIS dan lain-lain. Memang dulu kebanyakan anak IPS agak apatis pada hal-hal yang begituan. Apalagi anak dari kelas tiga IPS II, kebanyakan mereka adalah juara kantin, bolos dan kentut didalam kelas.

Sejak itu, setiap kali bertemu Eta cs, dia pasti bilang “Hey jelek!”, dan aku membalas sapaan yang sama dengan yang dia bilang juga, Heyyy Jeleeekk! Dengan suara yang tentu saja tidak selembut suaranya. Waktu itu aku gak nyangka ternyata sang juara umum dan yang selalu berkutat dengan buku itu pandai juga bercanda. Aku dan seorang temanku yang bernama Alfi pernah berdiskusi mengenai kenaifan mereka (anak-anak IPA yang rajin-rajin dan disenangi guru) serta menanyakan apalah artinya masa muda bagi mereka yang kerjanya Cuma belajar dan belajar.

Lama tak bertemu Eta, hari ini aku bertemu dengan berita dukanya. Semoga Allah menerima amal ibadahnya, mengampuni dosanya, dan menempatkan ia ditempat yang lebih baik, Amiin. Terakhir kabar yang kudengar bahwa ia sudah menjadi dokter dan rencananya akan menikah dalam waktu dekat. Tanggal dan waktu sudah ditentukan dan dipersiapkan. Ternyata rencana Allah selalu dan pasti lebih baik meski dibungkus dalam kisah yang mengharukan. Yang aku percaya adalah, Almarhumah adalah orang yang baik semasa hidupnya.

Ya begitulah, adakalanya kabar duka yang kita dengar atas berpulangnya seseorang yang pernah kita kenal, membuat kita lebih sering mengingat mati dari biasanya. Adakalanya kabar duka itu jauh lebih bermanfaat bagi jiwa daripada kabar suka cita duniawi yang terkadang cenderung membuat kita menjadi riya. Pada hakikatnya, kita semua sedang menuju mati. Ini barangkali hanya tentang waktu. Karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kadangkala dunia membuat kita lupa akan tujuan itu. Jamanpun semakin meninabobokan kita dalam lelapnya angan, dan mimpi-mimpi indah nan semu. Namun mengingat mati terbukti mampu menyejukkan jiwa yang selalu haus akan embel-embel duniawi. Mengingat mati dan membayangkan seperti apa hari akhir. Pertanyaannya hanya satu; SIAPKAH? Sebab perkara maut tiada satu manusiapun yang punya kuasa untuk tau. Kapan dan dibumi manakah ruh ini akan terpisah dari raga. Aku nulis ini begini disini bukan hendak menggurui siapapun, tapi sedang mengingatkan diri sendiri melalui ini. Karena aku suka membaca kembali tulisan yang sudah aku tulis. Mudah-mudahan bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Selesai berbicara dengan Mala, akupun beranjak ke parkiran. Setelah bayar parkir seriburupiah sama abang parkir yang ramah, dan dulu sempat minta dicomblangin sama temanku Een, yang mau nikah ini. Hehe akupun melaju dijalan. Dijalan, mataku menangkap sesosok perempuan yang berambut panjang, berbaju putih, sedang menatap kosong kedalam ruko tua yang ternyata adalah sebuah bengkel tambal ban. Oh itu si Lina, teman kuliahku. Udah nikah dan punya anak satu. Ibu muda ini suka cuek dalam berpenampilan. Dia manggil aku dan akupun berhenti. Kebetulan. Si Een mengamanahkan sebuah undangan lisan kepadaku untuk si Lina ini. Ya udah, sempat bincang sebentar sambil kembali membahas tentang kabar duka Eta, Lina dan aku juga satu esem’a. Lina anak IPA, kalo gak salah IPA tiga. Kalo IPA tiga masih bisa dimaklumi oleh anak IPS.

Setelah selesai ngobrol aku cabut. Sementara Lina masi menunggu sepeda motornya dikerjai oleh abang tukang bengkel. Sebelum keluar dari area pasar, aku sempat mikir kalo aku gak bisa nemuin manset renda warna ungu itu, maka jalan keluarnya adalah aku harus akalin sendiri baju kurung yang lengannya cuma sesiku itu. Dengan penuh keyakinan dan tekad yang besar, akhirnya aku berhenti disebuah toko kain yang masih berada dijalan itu juga. Toko kain itu gak usah aku sebutin namanya. Yang jelas toko itu sebenarnya masih tergolong baru, cuma selalu tampak ramai pengunjung, pengunjung yang mau beli atau cuma liat-liat aja.

Nah aku berenti disana, ada tukang parkir lagi. Ya udah, artinya sebentar lagi aku mesti bayar parkir lagi. Aku masuk ketoko yang dijaga oleh beberapa orang laki-laki. Setelah milih-milih dan mencocokkan warnanya, aku beli kain bahan renda warna ungu gelap satu meter. Harganya tigapuluh ribu. Nanti ongkos menjahitnya aku perkirakan sekitar duapuluh ribu. Karena Cuma nambah lengan saja. Okeh deal. Aku kembali kerumah.

Sorenya, aku datangi rumah penjahit yang aku maksud. Setelah kujelaskan kepadanya model lengannya seperti apa, lalu aku menanyakan ongkosnya berapa. Ternyata perkiraanku gak meleset. Duapuluh ribu Rupiah. Aku memintanya untuk menyelesaikan ini pada tanggal 9.

Tepat ditanggal yang kusebutkan diatas, sore hari selepas hujan berhenti. Baju itupun selesai dikerjakan dengan hasil yang sangat memuaskan. Alhamdulillah. Besoknya aku sudah memakai baju tersebut dipesta perenikahan Een.

Waktu ijab qabul di KUA, Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang kami punya status yang sama. Sama-sama seorang isteri. Betewe, Een ini adalah orang yang ngenalin aku dengan laki-lkai yang kini jadi suamiku, waktu itu tahun 2009 saat aku masih kuliah. Tapi aku dan si Abang gak langsung dekat waktu itu. Waduuuu panjanglah ceritanya kalo aku mau paparkan. Intinya si Een adalah mak comblang antara aku dan suamiku sebelum kami memutuskan untuk menikah pada September tahun 2013 lalu.

Aku ingat setahun yang lalu saat aku kasitau Een kalo aku mau nikah, dia nangis. Dia bilang, dia gak punya teman yang singel lagi. Alasannya ngambang dikepalaku. Emang aku mo kemana? Saat itu aku berpikir semestinya dia senang karena tempat tinggal kami akan menjadi lebih dekat. Lebih sering bisa berkunjung dan main meski gak sesering dulu lagi.

Kini aku tau alasan kenapa waktu itu dia menangis. Karena tadi aku juga nangis waktu pernikahannya dinyatakan sah oleh semua saksi. Aku terharu. Teringat saat-saat kami jalan-jalan berdua, waktu kuliah dikampus, makan diluar, bercerita tentang hidup dan sebagainya. Semoga pernikahan itu menjadi ladang amal bagi keduanya. Semoga Allah menjadikan keluarga baru itu sakinah, mawaddah warahmah. Aamiin...

Aku baru sadar kalo catatan ini gak ada fokusnya.

Dan kini aku sedang bingung apakah diakhir tulisan ini aku mesti nyebut manset renda warna ungu lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline