Lihat ke Halaman Asli

Asa Keterwakilan Perempuan pada Pemilu 2024

Diperbarui: 11 Desember 2024   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (Peserta Aksi Penolakan PKPU No. 10 2023)

Pemilu 2024 sudah usai ditandai dengan dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang mungkin menyenangkan satu pihak dan mengecewakan pihak lainnya. Dari data yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, tercatat 297 perkara terregistrasi dan hanya 106 perkara yang ditindaklanjuti. Dari 106 perkara yang ditindaklanjuti tersebut, 44 di antaranya dikabulkan oleh Mahkamah dengan putusan yang bervariasi, mulai dari penyandingan data, penghitungan surat suara ulang (PSSU) hingga pemungutan suara ulang (PSU). 

Mencoreng Semangat Ramah Gender

Di antara permohonan yang diajukan, ada satu yang menarik bagi penulis, yaitu PHPU yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada pemilu legislatif dapil 6 Gorontalo. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian dengan memberikan putusan dilaksanakannya pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh dapil 6 Gorontalo. PHPU yang dimohonkan oleh PKS di dapil 6 Gorontalo sejatinya adalah permohonan yang ditunggu-tunggu oleh pegiat demokrasi. Tersebab hal ini adalah respon konstitusional terhadap KPU yang dengan sengaja mempersulit bahkan terkesan mendiskriminasi perempuan agar tidak mendapatkan hak untuk dipilih (right to be candidate).

Sedari awal tahapan kepemiluan dimulai, KPU seolah tidak memiliki itikad baik untuk memastikan tindakan afirmatif terhadap perempuan sebanyak 30% yang sesuai dengan undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu didasari dengan penafsiran serampangan KPU terhadap undang-undang ini, khususnya pasal 245 yang secara eksplisit menjelaskan bahwa daftar bakal calon tetap harus memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30%. Memang pasal ini hanya memuat secara umum hitungan persentase, sehingga dibutuhkan perincian bila mana terdapat angka-angka desimal yang muncul dalam penghitungan. Atas dasar tersebut KPU menerbitkan PKPU No. 10 tahun 2023 tentang pencalonan angggota dewan legislatif di semua daerah pemilihan. Dalam PKPU tersebut, singkatnya KPU mereduksi pasal 245, dengan memaksakan pembulatan ke bawah jika angka desimalnya kurang dari 0,5. Sehingga dengan ketentuan tersebut KPU melakukan diskriminasi yang berpotensi menurunkan jumlah DCT perempuan di berbagai dapil. Imbasnya angka keterpilihan anggota dewan perempuan akan berkurang dan mengakibatkan kebijakan pemerintah yang jauh dari prespektif perempuan dan ramah gender.

Mengapa tindakan afirmatif penting?

Pada dasarnya, hak memilih dan dipiih (to vote and to be elected) merupakan hak konstitusional setiap warga negara tanpa terkecuali. Namun atas dasar kesetaraan terkadang negara hadir dengan memunculkan kebijakan yang berbeda-beda. Seperti di Indonesia, pemerintah menetapkan 30% sebagai angka minimum keterwakilan perempuan di semua daftar calon tetap legislatif. Adanya kebijakan tersebut bukan di maksudkan sebagai diskrimiasi terhadap gender lainnya tetapi bentuk kebijkan terarah dalam mengakomodir kebutuhan dan keterwakilan perempuan dalam kontestasi pemilu serta memperbesar kesempatan perempuan untuk duduk sebagai pemangku kebijakan. Bahkan menurut Dahlerup -Pakar Politik dan Sosial asal Swedia-, menjelaskan setidaknya terdapat 4 alasan terkait keterwakilan perempuan itu sangat penting: 1) justice argument, kenyataan bahwa jumlah populasi perempuan sama banyaknya dengan laki-laki, 2) experience argument, bahwa ada pengalaman yang berbeda secara biologis dan sosial yang harus terwakili, 3) interest group argument, adanya kepentingan yang tidak bisa diwakilkan, 4) role models bagi perempuan lainnya. Semua itu bermuara pada kondisi sosial kaum perempuan yang pernah dan masih hidup dalam bayang-bayang sebagai masyarakat kelas dua, sehingga rawan sekali untuk menjadi korban dari berbagai tindak kriminal dan kekerasan sosial baik yang bersumber dari pelaku kultural maupun struktural.

Tindakan afirmatif sendiri menjadi penting bahkan dikesankan menjadi benteng terakhir bagi kaum perempuan. Jika mengacu pada kondisi sosial politik di negara-negara yang praktik demokrasinya belum mapan, maka regulasinya cenderung memberikan afirmasi kepada keterwakilan perempuan. Hal ini sebagai upaya nyata dalam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk terlibat dalam proses kebijakan. Di beberapa negara, afirmasi yang diberikan berbeda-beda tergantung kebutuhan dan pandangan negara terhadap posisi perempuan dalam kehidupan sosial politiknya, yang biasanya berkorelasi dengan kedewasaan berdemokrasi. Indoneisa sendiri, hemat penulis masih jauh dari kedewasan berdemokrasi yang ditandai dengan banyaknya ketimpangan sosio-gender yang terjadi di berbagai sektor terlebih politik dan kekuasaan. Regulasi yang kita gunakan masih sebatas pada pemenuhan kuota 30% untuk daftar calon tetap di setiap dapil. Tindakan afirmatif ini baru memastikan dan menampilkan kepada publik bahwa setidaknya terdapat perempuan di seluruh dapil yang tersedia. Namun 20 tahun lebih kita menggunakan sistem ini, angka keterwakilan perempuan dalam parlemen belum menyentuh 25% (tepatnya 22% untuk 2024). Tentunya hal ini menyiratkan bahwa tindakan afirmatif pemenuhan daftar calon tetap sebanyak 30% perlu ditinjau ulang dan diperbarui agar sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Solusi Kebijakan? 

Data yang diperoleh dari laman KPU, terdapat 128 caleg perempuan yang berhasil lolos menuju Senayan. Angkanya naik 2% dari pemilu 2019 yang menghasilkan 118 aleg perempuan. Meskipun angkanya naik dari tahun ke tahun (1999-2024), namun capaian menuju 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif dirasa terlalu lambat dan belum menemukan momentumnya. Terlebih dengan kasus inkompetensi yang dilakukan KPU, menjadi preseden buruk terhadap kinerja dan komitmen lembaga negara penyelenggara Pemilu yang seharusnya bisa menjadi wasit yang adil dalam setiap pertandingan.

Beberapa masukan yang seharunya bisa menjadi bahan diskusi bersama adalah, bahwa sistem keterwakilan DCT 30% harus diperbarui dari berbagai sektor; 1) harus adanya penegasan dari pembuat undang-undang agar mencantumkan sangsi yang tegas terhadap setiap pelanggaran dari sistem ini dan memetakan secara serentak ketentuan keterwakilan 30% perempuan pada setiap kegiatan kepemiluan yang ada, 2) memodifikasinya menjadi sistem keterwakilan 30% yang bersanding dengan sistem zipper murni dan diformalkan melalui ketentuan undang-undang, 3) menyandingkan sistem keterwakilan 30% dengan sistem reserved seat/ blocking seat untuk caleg perempuan. Khusus untuk yang ketiga ini, memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar dari pilihan lainnya, namun ada kerumitan tersendiri dalam mekanismenya. Karena harus memilih apakah dipadukan dengan sistem proporsional tertutup -dengan alasan adanya ketersediaan kursi yang dibagikan kepada partai politik- atau tetap dengan proporsional terbuka, dipadukan dengan ambang batas parlemen yang rendah sebagai impilaksi adanya pemilu dan menjaga kekuataan suara mayoritas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline