Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Kata Bapak: Bab Pagebluk

Diperbarui: 15 Mei 2020   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hampir lima jam berlalu setelah aku berbicara dengan bapak lewat telpon, hari ini. Tapi percakapan itu masih menempel di kepalaku. Lebaran ini bapak melarangku pulang. Meskipun sebenarnya, aku pun tahu peraturan yang jelas dari pemerintah tentang larangan mudik. Tetapi tetap kunyatakan sekali lagi agar bapak paham. Hasilnya di luar perkiraanku, bapak bahkan melarangku lebih keras. Bukan karena tidak kangen, padahal tidak jauh dan lama rumahku dari rumah bapak. Tapi bapak tetap melarang. Aku lega.

Di telpon, bapak bilang kalau mulai minggu lalu panen cabe rawit, tapi harganya jatuh. Juga bapak baru panen padi meski tidak banyak, karena tikus sudah lebih awal mengambilnya tanpa ijin. Untuk urusan tikus, bapak sudah pasrah. Karena hama itu  neko (datang sendiri). Sama dengan pagebluk ini, hama itu neko asal berdoa dan iktiar akan mereda tapi tidak bisa hilang. Ya sama seperti hama tadi.

Kami bukan orang berada, namun cukup untuk mencukupi kebutuhan. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan lauk cukuplah sayuran di sawah ada. Beras juga masih ada di Pendaringan. Karena, emak selalu mengatur agar pendaringan selalu ada sisa beras. Tidak boleh sampai habis. Itu ndak ilok ndak apik (tidak baik) katanya.

Saat pagebluk ini, orang-orang yang pesan masakan kepada emak juga berkurang bahkan tidak ada. Sesekali pernah ada yang datang, emak kesulitan mencari orang untuk membantunya. Meskipun tidak banyak kalau berbagi rejeki itu senang katanya. Akan tetapi, orang-orang yang biasanya diminta membantu pun tak kunjung datang. Hanya pesan sms yang menyampaikan kalau mereka tak bisa membantu karena persediaan bahan pokok ada banyak. Masih kata bapak, selama bulan puasa ini ada banyak orang bersedekah, dalam hati kusyukuri informasi yang kudapat dari bapak. Semakin banyak orang yang berbagi.

Alhasil, emak memasak pesanan masakan sendiri hanya dengan mbak iparku. Bapak bilang, banyak orang yang menerima sedekah dan dapat bantuan pemerintah di masa pagebluk ini. Jadi agak sulit mencari tenaga apalagi di sawah. Bapak berpesan padaku, lebih kuat nadanya waktu itu, "jadi jangan pulang, anggap saja ini puasa mudik". 

Di masa pagebluk ini banyak hal yang bisa kupelajari dari telpon dengan bapak hari ini. Pagebluk itu seperti hama menggerogoti padi petani tetapi nasi harus tetap tersedia di meja makan. Tidak bisa menghilangkan tikus nanti ekosistemnya tidak seimbang. Jadi, karena saya anak petani yang akrab dengan hama. Maka, saya akan berdamai dengan hama tetapi saya akan berusaha untu iktiar dan berdoa. Gusti mboten sare.

Park Royal, 15 mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline