Lihat ke Halaman Asli

Naik Gunung Gede, Mensyukuri Nikmat Sang Maha Arsitek

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan Meninggalkan Apapun Kecuali Jejak Jangan Mengambil Apapun Kecuali Kenangan Jangan Memetik Apapun Kecuali Hikmah dari Setiap Perjalanan (anonim)

Pagi itu, saya, Iqbal, Pimen, dan ketiga teman baru asal Cipanas duduk bersama di loteng rumah Pimen. Ketiga teman itu kemudian diketahui bernama Cepi, Enik, dan Bahtiar. Kami bersama menunggu kedatangan Iqra dari rumahnya di Cianjur. Agak lama nampaknya, dan memang lama kami menunggu hampir dua jam, dan kemudian dengan rambut kribonya yang terkuncir rapi dia datang.

Setelah yakin ikatan tali sepatu krisbow ukuran 42 saya kuat, saya pun pamit kepada orangtua Pimen. Sambil berdoa dalam hati, kami bertujuh naik angkot ke pos jaga Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) yang berada di kawasan Gunung Putri (1.450 mdpl) Setelah mengurus administrasi pendakian, kami pun melangkah di jalan setapak yang melewati perkebunan warga Pasir Kampung Desa Sukatani. Terlihat banyak tanaman wortel, lobak, sawi, dan brokoli segar dari kebun yang luas itu. Akhirnya, perkebunan berganti hutan saat memasuki kawasan berpohon tinggi dan lebat, udara pun menjadi jauh lebih sejuk dan teduh. Dan pastinya tanjakan semakin miring saja.

Di perjalanan kita melewati Legok Lenca (2.150 mdpl) dan Buntut Lutung (2.300 mdpl), serta akan menemui dua buah pondok masing-masing di Lawang Seketeng (2.500 mdpl) dan di Simpang Maleber (2.625 mdpl). Jalur mulai curam di sekitar Lawang Seketeng ini, dan Simpang Maleber terdapat simpangan jalan ke kiri, tetapi kita harus mengambil jalur lurus untuk menuju Alun-alun Surya Kencana.

Dari Simpang Maleber hingga Alun-alun, saya berjalan sendirian karena jauh tertinggal lima teman yang duluan, Enik pun jauh di belakang saya karena kewalahan membawa carrier yang berat. Saya menikmati kesendirian ini, meskipun kadang berpapasan dengan yang baru turun dari jalur Cibodas. Selalu ada waktu untuk berdialog dengan diri sendiri, Tuhan, dan berkhayal memiliki pacar vampire yang akan menerbangkan saya ke atas pohon tertinggi di hutan ini. Duduk di atas batu besar dan bernyanyi dengan riangnya.

oh Tuhan, hamba mohon dipertemukan lagi dengan suasana seperti ini di surga kelak, amin

Sekitar jam 3 sore, kami tiba di Alun-alun Surya Kencana, sebuah savana yang luas dengan edelweis yang menyebar di mana-mana. Kami makan dulu bekal kami di tengah savana yang mulai dituruni kabut, setelah kenyang kami berjalan mencari tempat istirahat yang teduh dan dekat dengan sumber air. Sebuah pancuran mata air segar pun ditemukan di ‘walungan’ yang mengalir di bawah tebing, kami mengisi botol-botol kosong untuk minum dan mengambil wudhu untuk shalat di bukit kecil di Alun-alun.

Pukul setengah 4 lebih, awalnya kami akan mendirikan camp di Alun-alun, namun kondisi spot yang tertutup pohon dari angin dipenuhi sampah yang dibuang pendaki-pendaki sebelumnya. Kami pun memutuskan meneruskan perjalanan sampai puncak pada jam 4. Jalur yang didaki kali ini adalah jalur terjal berbatu yang kami namakan TB (Tanjakan Bungah/Bahagia). Karena sangat melelahkan dan sulit dijangkau dengan tenaga naik biasa, terkadang saya harus memanjat dan menekukkan lutut supaya melewati bebatuan yang besar. Pukul lima sore, saat matahari akan tenggelam di ufuk barat, saya dan Iqra (yang ada di paling belakang rombongan) sampai di puncak Gunung Gede (2.958 mdpl).

Setelah mendirikan tenda dome, saya menyempatkan diri duduk di tepian kawah menatap sunset indah di belakang Gunung Pangrango (3.109 mdpl) yang terlihat jelas di seberang saya. Setelah gelap, kami memasak air, menyeduh kopi, mie instan dan mengemil cokelat. Saat Iqbal sudah ngorok, saya dan Iqra yang sama-sama sudah terbalut baju tiga lapis, kaos kaki juga tiga lapis, jaket, baju planel dan sleeping bag, muka tertutup, kami malah asyik mengobrol hingga larut malam.

Pukul 4 pagi, di luar sudah ribut karena ingin melihat sunrise, tapi saya tidur lagi dan bangun jam 6. Alhamdulillah, masih bisa mengabadikan sunrise baik dalam ingatan maupun di kamera. Setelah curhat dengan Pimen yang sedang memasak, Iqra dan Iqbal yang memutuskan masuk sleeping bag kembali, kami packing dan bersiap turun pada jam 9. Menyusuri pinggiran kawah lumayan menegangkan juga, walau seutas tambang dan kabel dapat dijadikan pegangan buat turun, tapi tanah yang bercampur dengan pasir membuat perjalanan agak licin. Yang edan, saat melewati jalur berbatu yang terjalnya hampir tegak lurus, kami menggunakan tambang untuk rappelling sampai bawah. Selanjutnya kita sampai di Batu Kukus ( 1.820 mdpl), dimana dapat kita jumpai sebuah pondok untuk berteduh.Pukul 12 siang, kami menjumpai wisarta air panas bersuhu 50 derajat Celcius, di sana kami memancing mie instan yang sudah diberi air bersih dan diikat menyerupai umpan pada kail. Satu jam kami istirahat, juga menunggu Iqbal dan Iqra mandi air hangat di sungai yang lebih tinggi. Setelah itu berjalan sekitar satu jam ke Panyangcangan Kuda, 0,3 Km dari pertigaan luas itu terdapat air terjun Curug Cibeureum, tapi saya memilih untuk tidak ke sana. Lalu, Rawa Gayang Agung (1.600 mdpl), yang merupakan padang rumput dan tanaman perdu menjumpai saya yang lagi-lagi jalan sendirian. Saya menemukan banyak sekali anggrek menjadi parasit pepohonan. Seperti yang diceritakan papan informasi TNGP, di hutan ini kita dapat menjumpai 200 jenis anggrek, dan beruntung sekali 4 di antaranya hanya terdapat di sini.

Menuju Kandang Badak dan melalui hutan tropika yang indah, kita juga akan dapati sebuah danau kecil yang dinamakan Telaga Biru (1.500 mdpl). Setelah melewati jalan, jembatan kayu, dan tangga-tangga besar dari batu kali, akhirnya tibalah kita di pintu gerbang Kebon Raya Cibodas di samping jalan lapangan golf. Di sana kami mendapati Owa Jawa (salah satu binatang dilindungi) pada pukul setengah 4 sore, kami pun mendapatkan angkot untuk kembali ke tanah air. Sebenarnya, ingin sekali mendatangi Lembah Mandalawangi yang terlewati saat naik angkot di Pasar Cibodas. Tapi, kaki pun rasanya sudah dibebani berkuintal-kuintal beban. Terima kasih TNGP

:D

, terima kasih Sang Maha Arsitek . Sayang sekali, hamba-hamba-Mu ini dzolim terhadap keseimbangan alam. Terbukti dengan tergeletaknya sampah-sampah anorganik, undegradable, dan beracun di sepanjang perjalanan. (Cipanas, 4-5 Juli 2011) dipost juga di facebook dan wordpress

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline